KULIAHALISLAM.COM – Menurut Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya “Menyingkap Tabir Ilahi” menyatakan bahwa Al Mukmin terambil dari kata “amina”. Semua kata yang terdiri dari huruf-huruf alif, mim, dan nun, mengandung arti “pembenaran” dan “ketenangan hati”. Seperti antara lain “iman”, “amanah”.
Amanah adalah lawan dari kata khianat, yang melahirkan ketenangan batin, serta rasa aman karena adanya pembenaran dan kepercayaan terhadap sesuatu, sedang iman adalah pembenaran hati dan kepercayaan terhadap sesuatu.
Prof. Quraish Shihab menyatakan, Agama mengajarkan bahwa amanat/kepercayaan adalah atas keimanan, berdasarkan hadis, “Tiada iman bagi yang tidak memiliki amanah.” Amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan sakinah (ketenangan batin), selanjutnya ini melahirkan keyakinan.
Dalam Al-Qur’an, kata “mukmin” terulang sebanyak 22 kali, dan hanya sekali yang menjadi sifat Allah SWT, yaitu dalam ayat 23 surat Al-Hasyr. Azzajjaj, pakar bahasa Arab dalam bukunya “Tafsir Asma Al Husna” menyebutkan bahwa beberapa pendapat tentang makna mukmin sebagai sifat Allah. Allah menamai dirinya mukmin karena Dia menyaksikan keesaan-Nya sesuai firman-Nya.
Dalam Q.S Al Imran ayat 18 disebutkan “Allah menyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah”. Azzajjaj menyatakan bahwa ada juga yang berpendapat, kata ini jika menyifati Allah maka ia berarti “Dia yang memberi rasa aman dari siksa-Nya, siapapun yang tidk wajar menerima siksa.”
Imam Asy-Syinqithi berpendapat Al Mukmin bermakna pembenaran Allah akan keimanan hamba-Nya yang beriman dan ini mengantar kepada diterimanya iman mereka serta tercurahnya ganjaran kepada mereka. Atau dapat juga dipahami sebagai pembenaran terhadap apa yang dijanjikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Penulis (M. Quraish Shihab) cenderung memahami kata mukmin dalam arti pemberi rasa aman. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah adalah pemberi rasa aman, dalam Q.S Al An’am ayat 82 disebutkan “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Memang banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menginformasikan dihilangkannya rasa takut dari qalbu orang-orang yang taat kepada-Nya dan bahwa dengan iman dan amal saleh, Allah menukar rasa takut dengan rasa aman. “Siapa yang takut kepada Allah, Allah menjadikan segala sesuatu takut kepadanya dan siapa yang tidak takut kepada Allah, Allah menjadikan dia takut kepada segala sesuatu.” Demikian kata-kata hikmah.
Ungkapan lain menyatakan “Kalau pemeliharaan Tuhan telah tertuju padamu, maka tidurlah, karena ketakutan telah beralih menjadi ketenangan”. Ketenangan yang dirasakan itu oleh Al-Qur’an dinamai dengan As-Sakinah”. Dalam Q.S Al Fath ayat 4 disebutkan “ Dia (Allah) yang menurunkan sakinah/ketenangan batin ke dalam hati orang-orang yang beriman agar bertambah keimanan mereka di samping keimanan yang sebelumnya telah tiada.”
Selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab menanyakan bahwa, pakar-pakar bahasa menegaskan bahwa kata “sakinah” tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah adanya gejolak. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidak pastiaan, akan berakhir dengan “sakinah” yakni ketenangan dan ketentraman dengan berlangsungnya pernikahan.
Itu sebabnya, Al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah agar pasangan mendapatkan sakinah/ketenangan dan ketentraman (antara lain Q.S Al A’raf ayat 189 dan Ar Rum ayat 21).
Al Mukmin dalam Pandangan Imam Al Ghazali
Menurut Imam Al Ghazali, mukmin adalah yang kepadanya dikembalikan rasa aman dan keamanan melalui anugerah tentang sebab-sebab perolehan rasa aman dan keamanan itu, serta dengan menutup segala jalan yang menimbulkan rasa takut. Tidak dapat digambarkan adanya rasa aman kecuali dalam situasi ketakutan dan tidak pula ketakutan kecuali saat adanya kepunahan, kekurangan atau kebinasaan.
Allah sebagai mukmin, adalah Dia yang tidak dapat tergambar dalam benak siapapun, adanya rasa aman dan keamanan bersumber dari-Nya. Hujjatul Islam ini selanjutnya memberi ilustrasi tulisnya kurang lebih sebagai berikut
“Seandainya seorang sendirian sedang dikejar-kejar musuhnya, dan ketika itu dia tergeletak di satu jurang, tidak dapat menggerakan tubuhnya karena kelemahannya, kalaupun dia mampu menggerakannya, dia tidak memiliki senjata, kalaupun dia memiliki senjata, dia tidak mampu melawan musuhnya sendirian, bahkan walau dia memiliki bala tentara untuk membelanya, dia tidak merasa aman dari kekalahan.”
Kemudian datang siapa yang mengalihkan kelemahannya menjadi kekuatan dan mendukungnya dengan bala tentara dan senjata, maka ketika itu ia memperoleh rasa aman dan keamanan dan ketika itu juga yang memberinya itu dinamai mukmin yang sesungguhnya.
Menurut Imam Al Ghazali, manusia adalah makhluk yang secara fitrah lemah dengan berbagai ancaman yang dihadapinya baik ancaman duniawi dan ukhrawi. Hanya Allah yang dapat memberinya rasa aman dan keamanan yakni pada saat ia berlindung ke dalam benteng yang disiapkan-Nya.
Benteng itu ialah keyakinan akan keesaan-Nya, sebagaimana sebuah Hadis Qudsi “La Ilaha Illa Allah adalah benteng-Ku, siapa yang masuk kebenteng-Ku, maka ia telah memperoleh keamanan dari siksa-Ku.”
Manusia yang meneladani Allah dalam sifat ini, akan mampu memberi rasa aman dari ketakutan yang bersumber dari diri peneladanan kepada semua makhluk-makhluk Allah, bahkan setiap yang takut mengharap kiranya memperoleh dukungan dari sang peneladanan guna menolak kebinasaan yang dapat menimpa pihak lain baik menyangkut diri, agama atau dunia mereka.
Namun tentunya sebelum dia mampu melakukan hal tersebut, terlebih dahulu dia sendiri harus memiliki rasa aman dan ketenangan batin atau dalam istilah Al-Qur’an yaitu memiliki sakinah.
Cara Memperoleh Sakinah Menurut Muhammad Quraish Shihab
Prof. Muhammad Quraish Shihab menyatakan, sakinah baru diperoleh setelah melalui beberapa fase. Fase pertama adalah mengosongkan kalbu dari segala sifat tercela dengan jalan mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat.
Kemudian memutuskan hubungan dengan masa lalu yang kelam, dengan penyesalan dan dengan pengawasan ketat terhadap diri menyangkut hal-hal mendatang, disusul dengan mujahadah/perjuangan melawan sifat-sifat jiwa yang tercela dengan sifat-sifat yang terpuji, seperti kekikiran dilawan dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme dengan pengorbanan, sambil memohon bantuan Allah dengan berzikir mengingat-Nya.
Pada akhirnya, ini mengantar seseorang untuk menyadari bahwa pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik, tidak menghendaki untuk dirinya kecuali apa yang dikehendaki-Nya, tidak juga mengharapkan sesuatu, kecuali apa yang diharapkan-Nya.
Saat itulah, ia memasuki benteng yang disiapkan Allah dan sejak itu pula kecemasan, betapapun hebatnya akan berubah menjadi ketenangan dan ketakutan betapapun mencekamnya akan beralih menjadi ketentraman. Itulah tandanya bahwa Sakinah telah bersemayam di dalam kalbu.
Sakinah, bukan sekadar telihat pada ketenangan lahir, yang tercermin pada kecerahan air muka, karena yang ini bisa muncul akibat keluguan, kebodohan, tetapi ia terlihat pada kecerahan air muka yang disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus yang dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.
Ketika itu, seseorang pada tahap ini telah menguasai dan memimpin sisi dalamnya sehingga tercipta keserasian dan keharmonisan antara semua unsur yang berbeda bahkan yang bertentangan dengan jiwanya.
Ketenangan dan ketentraman itulah antara lain yang menjadikan seseorang bersedia mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadinya walaupun ia sendiri berada dalam kesulitan. “Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan” (Q.S Al Hasyr ayat 9).
Karena itu Rasulullah SAW mengingatkan “Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Para sahabat bertanya “Siapa wahai Rasulullah ?”. Nabi menjawab : Yang tidak memberi rasa aman tetangganya dari ganguannya. (H.R Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Rasa aman pihak lain itu terjamin walaupun yang bersangkutan tidak hadir bersamanya, sehingga ia tidak menyebut kejelekan walau kejelekan itu benar-benar disandang oleh saudaranya. Demikian buah dari upaya meneladani sifat Allah AlMukmin.
Muhammad Quraish Shihab mengakhiri tulisannya ini dengan Doa
“Ya Allah, Engkau telah menganugerahkan kepadaku rasa manisnya iman dan rasa aman, sehingga aku bersaksi bahwa aku telah meraih sebaik-baiknya nikmat berkah anugerah dan kebaikan-Mu. Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan, dia memerangi kami.
Ya Allah, nampakanlah kepadaku cahaya nama-Mu Al Mukmin sehingga aku merasa tenang dan bahagia dengan-Mu ketika menyendiri ataupun disaksikan orang lain, pada lahir maupun batinku, karena semua nikmat nurani merupakan percikan dari penampakan nama-Mu. Semua rasa aman dan keamanan adalah curahan anugerah-Mu.
Kepada-Mu Ya Allah berpulang segala urusan, wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib. Ya Allah terangilah keimananku dengan secercah cahaya penampakan-Mu. Sinarilah zikirku/ingatanku dari hidayah dan pemeliharan-Mu, sungguh keadaanku tidak luput bagi-Mu, maka ya Allah peliharalah iman dan rasa aman itu. Semoga salawat/rahmat dan kasih sayang tercurah kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat beliau. Amin”.
Sumber : Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya “Menyingkap Tabir Ilahi : Asma al-Husna Dalam Prespektif Al-Qur’an” terbitan Lentera Hati.