KeislamanSejarah

Mu’awiyah Pendiri Bani Umayyah

4 Mins read

Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di Mekah, 602 dan wafat di Damaskus, Rajab 60 H/680 M. Dia adalah bangsawan Quraisy, pendiri dan khalifah pertama Dinasti Umayyah (41-61 H/661-680 M). Nama lengkapnya adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Manaf. Sebagai keturunan Abdi Manaf, Mu’awiyah mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Mu’awiyah lahir di zaman Jahiliyah. Dia menganut agama Islam pada hari penaklukan kota Mekah tahun 629, bersama-sama dengan Tokoh Quraisy lainnya. Karier dimulai ketika di diangkat oleh Al Khulafaur Rasyidin sebagai panglima pasukan Angkatan perang (632-661). Ia ditugaskan untuk merebut wilayah Palestina, Suriah dan Mesir dari tangan Romawi yang menguasai kawasan itu sejak tahun 63 SM.

Mu’awiyah agak terlambat memeluk Islam bahkan termasuk salah satu yang pernah melakukan banyak kekejaman terhadap orang Islam. Akan tetapi, prestasi-prestasi yang dicapainya setelah masuk Islam membuat umat Islam ketika itu melupakan hal-hal yang perlu dilakukannya sebelum memeluk agama Islam.

Ambisi politiknya sudah terlihat ketika dia baru saja masuk Islam. Dia selalu bersaing dengan pamannya yaitu Hasyim. Wibawanya di mata kaum Quraisy memang tidak pernah rendah. Selain keturunan bangsawan, dia juga kaya dan mempunyai pengaruh luas di masyarakat. Atas dasar itulah, dia merasa pantas menjadi pemimpin di dalam dunia di
Islam.

Mu’awiyah mendirikan Dinasti Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus. Dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeseran pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Perpindahan ibukota tersebut terjadi melalui proses yang panjang dan didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu’awiyah.

Mu’awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama yaitu mulai masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sampai masa khalifah yang terakhir Ali bin Abi Thalib. Selama masa kekuasaannya dia mencapai banyak keberhasilan terutama penaklukan jumlah kota penting di kawasan Asia Tengah seperi Kabul, Herat, dan Gazna.

Dalam bidang pemerintahan ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat seperti pelayanan Pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur- gubernur di daerah.

Pengangkatan dirinya sebagai pemegang pucuk pemerintahan berlangsung melalui proses yang panjang bermula dari terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan dan digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib. Semula Mu’awiyah mempunyai ambisi untuk menggantikan Utsman bin Affan tetapi gagal karena Ali bin Abi Thalib telah dibaiat.

Meskipun demikian, Mu’awiyah tidak kehabisan akal dalam merongrong pemerintahan khalifah keempat ini. Dia menuntut Bela atas kematian Utsman bin Affan tetapi Ali bin Abi Thalib tidak segera mengindahkan seruannya. Di samping itu, kebijakan Ali bin Abu Thalib yang terlalu cepat memecat gubernur-gubernur dan pejabat-pejabat pemerintahan yang diangkat Utsman bin Affan di depan serta pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Utsman bin Affan kepada keluarga-keluarganya mengakibatkan meletusnya suatu pertempuran dahsyat yang dikenal dalam sejarah dengan Perang Siffin.

Ketika Ali bin Abi Thalib sudah hampir memenangkan peperangan tersebut, Mu’awiyah bersama kelompoknya mengusulkan gencatan senjata dan meyakinkan menyelesaikan dengan proses Tahkim ( menggunakan hakim). Tahkim antara pihak Ali bin Abi Thalib dan pihak Mu’awiyah dilangsungkan dengan masing-masing pihak mengirimkan utusannya.

Pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Asy’ari sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amar bin Ash. Perundingan kedua Hakim ini dimenangkan oleh Amar bin Ash dengan cara yang licik. Menyetujui cara-cara yang dilakukan pihak Mua’wiyah sehingga peperangan antara keduanya meletus lagi.

Semenjak terjadinya peristiwa tahkim itu, sebagian pasukan Ali memisahkan diri karena tidak setuju dengan tahkim tersebut. Kelompok yang memisahkan diri menamakan dirinya sebagai kelompok Khawarij. Sebaliknya, tentang Mu’awiyah masih kuat kan tetap utuh.

Akhirnya kemenangan jatuh di tangan Mu’awiyah terutama karena kematian Ali di tangan salah seorang kaum Khawarij yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada 24 Januari 661. Mu’awiyah menggunakan kesempatan ini untuk menyusun strategi dengan baik dalam rangka mengambil alih kekosongan pemerintahan.

Semula ada upaya dari pihak Hasan putra Ali untuk menuntut balas kematian ayahnya. Akan tetapi, Hasan menyangsikan kemampuan diri dan kekuatan yang dimilikinya sehingga pada akhirnya dia bersedia mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah dengan syarat-syarat berikut : Pertama, Mu’awiyah tidak menaruh dendam pada seorang pun dari penduduk Irak, karena Irak merupakan pendukung Ali bin Abi Thalib. Kedua, Mu’awiyah menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka. Ketiga, pajak tanah negeri Ahwaz (sekarang Khuzistan, Iran) diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun. Keempat, Mu’awiyah membayar kepada saudaranya Husein, 2 juta Dirham. Kelima, pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak daripada Bani Abdul Syams karena jasa-jasanya terhadap Islam dan karena mereka lebih dahulu masuk Islam.

Bagi Mu’awiyah semua persyaratan tersebut tidak menjadi masalah. Yang penting baginya adalah Hasan mengakuinya sebagai khalifah. Hasan dan Husein bersama penduduk Kufah membaiat Mu’awiyah ketika dia berkunjung ke sana pada bulan Rabiul awal 41 H. Karenanya tahun tersebut dalam sejarah Islam dikenal dengan “Tahun Persatuan”.

Dengan berdirinya Dinasti Umayyah maka sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemilihan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun tanpa melalui pemilihan. Urusan Agama diserahkan kepada para ulama. Ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh Khalifah.

Meskipun demikian, peranan Mu’awiyah dalam menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa pemerintahannya banyak daerah yang dikuasai umat Islam. Ada daerah yang penting ditaklukannya antara lain Turki dan Armenia. Kedua daerah ini berarti bahwa kekuasaan Bizantium.

Selanjutnya dia juga berhasil menguasai Laut Tengah dan kekuatan armadanya tidak tertandingi waktu itu. Dengan armada-armada tersebut pasukannya dapat menguasai pulau-pulau di sekitar Arkhabil (Archipel) yang terletak di Yunani, Turki dan P. Kreta dan berani menentang kekuasaan Bizantium.

Tidak puas dengan penyerbuan di wilayah timur ini, pasukannya mengalihkan penaklukan ke arah barat dan berhasil menguasai Afrika Utara, Andalusia, bahkan sampai ke Perancis pada masa-masa berikutnya. Selain menambah memperluas wilayah Islam, dia juga berjasa dalam mengembangkan wawasan pemikiran umat Islam. Umat Islam memperoleh banyak tambahan pengetahuan dari daerah yang direbut terutama dari kota-kota penting antara lain pengetahuan filsafat dan ilmu itu.

Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, dia mencalonkan putranya yaitu Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya jika dia meninggal. Pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679 M.

Untuk rencana itu dia melakukan berbagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat. Rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak terutama pemuka-pemuka seperti Abdullah bin Umar, Husein bin Ali Bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas bin Abdullah bin Zubair.

Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah tidak diangkat melalui penunjukan melainkan melalui musyawarah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh khalifah khalifah sebelumnya. Sementara itu ada pula tokoh-tokoh yang tidak berani menolak usulan Mu’awiyah.

Tokoh-tokoh masyarakat yang dekat dengan Mu’awiyah tetap mempunyai pandangan yang lebih luas. Mereka menasehati Mu’awiyah agar tidak tergesa-gesa menunjuk Yazid sebagai putra mahkota dengan pertimbangan bahwa Yazid memiliki sifat tidak serius dan menganggap remeh semua urusan.

Upaya Mu’awiyah untuk menghadapi para penentang usulannya adalah dengan mendekati para penentang tersebut satu persatu. Setelah Mu’awiyah wafat terhadap Yazid diulangi lagi. Setelah dibaiat, Yazid menginstesikan gubernur-gubernur yang diangkatnya supaya memberikan tindakan tegas terhadap para penentangnya.

172 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanSejarah

Sejarah Kekuasaan Dan Politik Di Mekah

8 Mins read
Kuliahalislam.com-Mekah merupakan kota suci umat Islam, tempat berdirinya Ka’bah tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam dan tempat…
KeislamanPendidikan

Hakikat Mukminat Menurut Ahli

2 Mins read
Mukminat bentuk jamaknya dari kata “Mukmin” yang artinya mungkin atau boleh, lawan katanya pasti, harus atau wajib. Dalam ilmu kalam, alam (…
Keislaman

Apa Hukum Berbicara? Ini Jawaban Imam Abi Zakaria An-Nawawi dan Imam Al-Ghazali

2 Mins read
Pada dasarnya, dalam pandangan syariat Islam, segala sesuatu yang tidak dilarang secara spesifik hukumnya adalah mubah atau boleh. Prinsip ini berlaku juga…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Opini

Jalan Sunyi Menuju Tuhan

Verified by MonsterInsights