Sejarah Islam mencatat bahwa sejak masa awal perkembangannya, umat Islam mengalami perpecahan yang melahirkan berbagai golongan atau firqah. Fenomena ini tidak hanya dipicu oleh perbedaan pandangan politik, tetapi juga oleh keragaman interpretasi akidah dan keyakinan teologis.
Beberapa golongan yang paling menonjol dan sering disebut dalam sejarah awal Islam adalah Murji’ah, Khawarij, Syiah, dan Mu’tazilah. Setiap kelompok memiliki karakteristik unik, doktrin, serta kontribusi tersendiri dalam perkembangan pemikiran Islam.
Terlebih lagi tentang masalah kepemimpinan yang merupakan salah satu topik sentral dalam sejarah dan teologi Islam dan perbedaan tajam antara dua golongan besar dalam Islam yakni Sunni dan Syiah. Salah satu ayat yang sering menjadi landasan diskusi adalah QS. Al-Maidah ayat 55:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمۡ رَٰكِعُونَ
Artinya: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat seraya mereka rukuk.”
Menurut beberapa riwayat, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang melibatkan Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa suatu ketika, saat sedang melakukan salat, Ali mendapati seorang pengemis meminta bantuan di masjid.
Dalam keadaan rukuk, Ali memberikan cincinnya sebagai sedekah kepada pengemis tersebut. Kejadian ini dianggap menjadi latar belakang turunnya ayat ini untuk menunjukkan keutamaan Ali bin Abi Thalib sebagai seorang yang memiliki sifat dermawan dan kesalehan yang tinggi.
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menjadi titik tolak perdebatan teologis dalam Islam. Ayat yang sering dihubungkan dengan konsep kepemimpinan dalam Islam, baik dari segi spiritual maupun politik.
Terdapat beragam penafsiran dalam ayat ini yang mencerminkan perspektif ideologis dan teologis seorang mufassir. Dua tafsir klasik, yaitu Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Razi (Sunni) dan Tafsir Al-Qummi karya (Syiah), menawarkan pendekatan yang sangat berbeda dalam memahami ayat ini.
Ali bin Ibrahim al-Qummi (307 H) yang menganut mazhab Syi’ah Imammiyah Itsna Asy’ariyah dalam karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Al-Qummi, Al-Qummi menafsirkan surah Al-Maidah ayat 55 bahwa yang dimaksud ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ (orang-orang yang beriman) adalah Sayyidina Ali dan mengklaim bahwa imam (pemimpin) orang-orang mukmin setelah Rasulullah SAW adalah sayyidina Ali dengan argumen hadis yang diriwayatkan Abi Jakfar berkata bahwa ketika Rasulullah SAW sedang duduk bersama beberapa orang Yahudi, termasuk Abdullah bin Salam (seorang tokoh Yahudi yang kemudian memeluk Islam), turunlah ayat tersebut.
Rasulullah SAW kemudian keluar ke masjid, di mana beliau bertemu dengan seorang peminta-minta. Peminta-minta itu menyebutkan bahwa ia telah menerima sedekah dari seseorang yang sedang salat. Ketika Rasulullah mendekati orang tersebut, ternyata dia adalah Ali bin Abi Thalib, yang sedang rukuk dalam salatnya.
Riwayat ini memberikan narasi bahwa ayat tersebut turun sebagai bentuk pengakuan terhadap tindakan Ali bin Abi Thalib, yang memberikan cincin kepada seorang peminta-minta saat sedang rukuk.
Dalam pandangan Syiah, hal ini menunjukkan keutamaan dan kepemimpinan Ali yang diakui langsung oleh Allah SWT melalui wahyu-Nya. kalangan syiah menggunakan ayat ini untuk membuktikan adanya imam, menyebut bahwa imam tersebut adalah Ali bin Abi Thalib.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka yang menerima ayat ini sebagai dalil keimaman. Disisi lain, juga terdapat banyak riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib, khususnya terkait peristiwa ketika beliau memberikan zakat kepada seorang pengemis saat sedang rukuk dalam salat. Oleh karena itu, surah Al-Maidah ayat 55 secara khusus merujuk kepada Ali bin Abi Thalib dan menunjukkan bahwa beliau adalah imam umat yang memiliki wewenang penuh.
Sebaliknya, Fakhruddin Al-Razi (607 H) dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menentang penafsiran Syiah tersebut. Ar-razi berargumen Jika kata wali dimaknai sebagai pemimpin dalam ayat ini, maka akan muncul kesulitan dalam menjelaskan konteks historis.
Ketika ayat ini turun, Ali bin Abi Thalib belum memiliki otoritas eksekutif atau kedudukan sebagai pemimpin umat, karena Rasulullah SAW masih hidup dan memegang kepemimpinan sepenuhnya.
Oleh karena itu, jika wali dimaknai sebagai pemimpin, maka ayat ini tidak akan berlaku secara langsung pada saat itu. Sebaliknya, jika wali dipahami sebagai pencinta dan penolong, makna ini lebih relevan dan sesuai dengan kondisi yang berlaku saat ayat tersebut diturunkan.
Lebih jauh, memaksakan makna wali sebagai pemimpin atau penguasa akan membuat ayat ini terkesan keluar dari konteks pembicaraan. Ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya berbicara tentang larangan berloyalitas kepada musuh-musuh agama, bukan tentang penunjukan kepemimpinan.
Dengan demikian, memasukkan gagasan tentang otoritas atau imamah dalam ayat ini dapat dianggap sebagai menyisipkan tema yang tidak relevan ke dalam struktur pembicaraan, yang bertentangan dengan keindahan dan kohesi bahasa Al-Qur’an.
Dengan analisis ini, pandangan yang mengartikan wali dalam ayat tersebut sebagai pencinta dan penolong lebih kuat, baik secara bahasa, konteks, maupun kronologi. Makna ini lebih koheren dengan tema keseluruhan ayat-ayat dalam QS. Al-Maidah, yang menekankan loyalitas dan hubungan cinta kepada Allah, Rasul, dan sesama orang beriman.
Al-Maidah ayat 55 menunjukkan bagaimana perbedaan teologi dan pendekatan metodologis memengaruhi interpretasi ayat Al-Qur’an. Tafsir Mafatih al-Ghaib dan Tafsir Al-Qummi tidak hanya memberikan wawasan tentang konsep kepemimpinan, tetapi juga mencerminkan keindahan dan kekayaan pemikiran dalam tradisi Islam. Perbedaan ini seharusnya menjadi sarana dialog, bukan perpecahan, untuk memahami keragaman dalam tafsir Al-Qur’an.