Sumber gambar : Dwicondrotriono.com |
Tarjih merupakan salah satu cara menyelesaikan dua
atau lebih dalil yang salin berbeda atau bertentangan. Secara bahasa, Tarjih
berarti menguatkan atau memberatkan. Menurut Ibnu Hajib dan Al-Amidi, dua orang
ahli Ushul Fiqih, Tarjih didefinisikan sebagai membandingkan dua dalil yang
bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya.
atau lebih dalil yang salin berbeda atau bertentangan. Secara bahasa, Tarjih
berarti menguatkan atau memberatkan. Menurut Ibnu Hajib dan Al-Amidi, dua orang
ahli Ushul Fiqih, Tarjih didefinisikan sebagai membandingkan dua dalil yang
bertentangan dan mengambil yang terkuat di antara keduanya.
Ulama Madzhab
Hanafi mendefinisikan Tarjih sebagai kelebihan suatu dalil dari dalil yang
lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, dua
dalil yang bertentangan itu mempunyai kekuatan yang sama. Untuk memilih mana
yang akan dimenangkan diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.
Hanafi mendefinisikan Tarjih sebagai kelebihan suatu dalil dari dalil yang
lainnya, sedangkan dalil itu sendiri tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, dua
dalil yang bertentangan itu mempunyai kekuatan yang sama. Untuk memilih mana
yang akan dimenangkan diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.
Hakikat dan tujuan definisi itu sama, yaitu menguatkan
salah satu dalil dari dua dalilyang sama untuk diamalkan. Kedua dalil yang
bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yaitu Zanni (tidak tegas). Munculnya dua
pertentangan dalil ini dimungkinkan oleh pandangan para Mujtahid (ahli ijtihad)
ketika mereka membahas dalil-dalil yang ada.
salah satu dalil dari dua dalilyang sama untuk diamalkan. Kedua dalil yang
bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yaitu Zanni (tidak tegas). Munculnya dua
pertentangan dalil ini dimungkinkan oleh pandangan para Mujtahid (ahli ijtihad)
ketika mereka membahas dalil-dalil yang ada.
Namun mereka sepakat bahwa
pertentangan yang dimaksud bersifat zahir (lahir) saja karena Syari’ (pembuat
hukum yakni Allah) tidak mungkin menurunkan dua kitab atau perintah/larangan
yang satu sama lain salin bertentangan.
pertentangan yang dimaksud bersifat zahir (lahir) saja karena Syari’ (pembuat
hukum yakni Allah) tidak mungkin menurunkan dua kitab atau perintah/larangan
yang satu sama lain salin bertentangan.
Ada beberapa cara yang ditempuh dalam mentarjih atau
menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan. Tarjih adakalanya
beretentangan dengan Nash dan ada kalanya menyangkut pertentangan dalam Kias.
Terhadap penyelesaian dua nas yang
bertentangan, para ulama mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan.
menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan. Tarjih adakalanya
beretentangan dengan Nash dan ada kalanya menyangkut pertentangan dalam Kias.
Terhadap penyelesaian dua nas yang
bertentangan, para ulama mengemukakan beberapa langkah yang dapat dilakukan.
Pentarjihan terhadap salah satu nas dapat dilakukan
dari empat sisi yaitu (1). Tarjih dari sisi sanad (rangkaian penutur Hadis sampai
pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, (2).Tarjih dari segi matan (teks,
untaian kalimat hadis itu sendiri), (3). Tarjih dari segi hukum yang dikandung
oleh Hadis dan (4). Tarjih dilakukan dengan indikator pendukung dari luar atau
dalil lain.
dari empat sisi yaitu (1). Tarjih dari sisi sanad (rangkaian penutur Hadis sampai
pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, (2).Tarjih dari segi matan (teks,
untaian kalimat hadis itu sendiri), (3). Tarjih dari segi hukum yang dikandung
oleh Hadis dan (4). Tarjih dilakukan dengan indikator pendukung dari luar atau
dalil lain.
Tarjih dari segi sanad oleh Imam Asyaukuni (ahli ushul
fiqih) dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, tarjih dilihat
dari segi rawi. Misalnya, sanad yang mempunyai banyak rawi lebih dikuatkan
daripada sanad yang rawinya sedikit; tarjih dilakukan terhadap sanad yang salah
satu rawinya lebih adil, lebih takwa dan lebih kuat ingatannya atau lebih
dipercayai daripada sanad yang rawinya tidak demikian.
fiqih) dikatakan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, tarjih dilihat
dari segi rawi. Misalnya, sanad yang mempunyai banyak rawi lebih dikuatkan
daripada sanad yang rawinya sedikit; tarjih dilakukan terhadap sanad yang salah
satu rawinya lebih adil, lebih takwa dan lebih kuat ingatannya atau lebih
dipercayai daripada sanad yang rawinya tidak demikian.
Kedua, tarjih dari segi yang diriwayatkan itu sendiri.
Misalnya, lebih mengutamakan Hadis Mutawatir (yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang menurut akal mustahil mereka akan berdusta;Mutawatir) daripada
hadis yang tingkatannya hanya masyhur (yang diriwayatkan oleh beberapa orang
saja). Demikian juga hadis yang masyhur lebih dikuatkan daripada hadis yang
sifatnya ahad (yang diriwayatkan oleh satu orang).
Misalnya, lebih mengutamakan Hadis Mutawatir (yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang menurut akal mustahil mereka akan berdusta;Mutawatir) daripada
hadis yang tingkatannya hanya masyhur (yang diriwayatkan oleh beberapa orang
saja). Demikian juga hadis yang masyhur lebih dikuatkan daripada hadis yang
sifatnya ahad (yang diriwayatkan oleh satu orang).
Ketiga, mentarjih dari sisi cara menerima hadis.
Misalnya, lebih menguatkan hadis yang diterima melalui pendengaran langsung
dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada hadis yang hanya didapati
dalam tulisan.
Misalnya, lebih menguatkan hadis yang diterima melalui pendengaran langsung
dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada hadis yang hanya didapati
dalam tulisan.
Tarjih dari segi matan oleh Al-Amidi dapat dilakukan paling
tidak dengan beberapa cara. Misalnya, matan yang sifatnya melarang lebih
didahulukan daripada matan yang sifatnya menyuruh, matan yang menguatkan
perintah lebih didahulukan daripada yang sifatnya boleh saja, matan yang
menguatkan hakikat lebih didahulukan daripada majas (kiasan), dan matan yang
khas lebih didahulukan daripada yang umum.
tidak dengan beberapa cara. Misalnya, matan yang sifatnya melarang lebih
didahulukan daripada matan yang sifatnya menyuruh, matan yang menguatkan
perintah lebih didahulukan daripada yang sifatnya boleh saja, matan yang
menguatkan hakikat lebih didahulukan daripada majas (kiasan), dan matan yang
khas lebih didahulukan daripada yang umum.
Tarjih dari segi hukum yang dikandung oleh nas,
misalnya lebih mendahulukan Nas yang sifatnya melarang daripada yang
membolehkan dan lebih menguatkan nas yang sifatnya menetapkan hukum daripada
yang menafikannya.
misalnya lebih mendahulukan Nas yang sifatnya melarang daripada yang
membolehkan dan lebih menguatkan nas yang sifatnya menetapkan hukum daripada
yang menafikannya.
Adapun Tarjih melalui
faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan ahli Madinah (penduduk Madinah)
atau amalan Al-Khulafa ar-Rasyidin (keempat khalifah pertama) dari amalan orang
lainnya dan lebih mengutamakan dalil yang didukung Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak
atau Kias daripada dalil yang tidak didukung sama sekali oleh dalil lain.
faktor luar, misalnya lebih mendahulukan amalan ahli Madinah (penduduk Madinah)
atau amalan Al-Khulafa ar-Rasyidin (keempat khalifah pertama) dari amalan orang
lainnya dan lebih mengutamakan dalil yang didukung Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak
atau Kias daripada dalil yang tidak didukung sama sekali oleh dalil lain.
Jika yang bertentangan itu antara Kias dan Kias, maka
dapat ditarjih dari empat sisi pula yaitu dari segi asl (pokok atau dasar),
dari segi furuk (peristiwa hukum yang akan ditentukan hukumnya), dari segi
‘illah (sebab)dan dari faktor luar. Tarjih dari segi asl, misalnya Kias yang
hukum asalnya didasarkan dengan dalil Qat’I (jelas, nyata) lebih didahulukan
daripada Kias yang sifatnya khusus lebih didahulukan daripada Kias yang
sifatnya umum.
dapat ditarjih dari empat sisi pula yaitu dari segi asl (pokok atau dasar),
dari segi furuk (peristiwa hukum yang akan ditentukan hukumnya), dari segi
‘illah (sebab)dan dari faktor luar. Tarjih dari segi asl, misalnya Kias yang
hukum asalnya didasarkan dengan dalil Qat’I (jelas, nyata) lebih didahulukan
daripada Kias yang sifatnya khusus lebih didahulukan daripada Kias yang
sifatnya umum.
Tarjih dari segi furuk dapat dilakukan misalnya lebih
mendahulukan Kias yang furuknya paling akhir datang daripada Kias yang furuknya
datang lebih dahulu atau dengan cara mendahulukan Kias yang ‘Illah (sebabnya)
diketahui secara Qat’I (jelas) daripada Kias yang ‘Illahnya hanya didasarkan
pada Zanni (tidak tegas).
mendahulukan Kias yang furuknya paling akhir datang daripada Kias yang furuknya
datang lebih dahulu atau dengan cara mendahulukan Kias yang ‘Illah (sebabnya)
diketahui secara Qat’I (jelas) daripada Kias yang ‘Illahnya hanya didasarkan
pada Zanni (tidak tegas).
Tarjih dari segi ‘Illah dapat dilakukan dengan cara :
(1). Melalui penetapan ‘illah, misalnya lebih menguatkan ‘Illah yang Qat’I,
seperti ‘Illah yang langsung ditunjuk Nas atau yang disepakati daripada ‘Illah
yang ditetapkan melalui yang Zanni dan (2). Dari segi ‘Illah itu sendiri,
misalnya lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat diukur dengan Kias dan
lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat dikembangkan daripada Kias yang
‘Illahnya terbatas pada kasus itu saja.
(1). Melalui penetapan ‘illah, misalnya lebih menguatkan ‘Illah yang Qat’I,
seperti ‘Illah yang langsung ditunjuk Nas atau yang disepakati daripada ‘Illah
yang ditetapkan melalui yang Zanni dan (2). Dari segi ‘Illah itu sendiri,
misalnya lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat diukur dengan Kias dan
lebih menguatkan Kias yang ‘Illahnya dapat dikembangkan daripada Kias yang
‘Illahnya terbatas pada kasus itu saja.
Tarjih berdasarkan faktor luar, misalnya menguatkan
Kias yang ‘Illahnya didukung oleh ‘Illah lainnya. Al-Amidi dan Imam
Asy-Syaukani adalah dua orang ahli Usul Fikih yang membahas secara luas
permasalahan Tarjih. Al-Amidi mengulas Tarjih dalam bukunya “al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam (Mengokohkan Dasar-Dasar Islam) dan Imam Asy-Syaukani dalam bukunya “
Irsyad al-Fuhul (Petunjuk Orang-Orang Pandai).
Kias yang ‘Illahnya didukung oleh ‘Illah lainnya. Al-Amidi dan Imam
Asy-Syaukani adalah dua orang ahli Usul Fikih yang membahas secara luas
permasalahan Tarjih. Al-Amidi mengulas Tarjih dalam bukunya “al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam (Mengokohkan Dasar-Dasar Islam) dan Imam Asy-Syaukani dalam bukunya “
Irsyad al-Fuhul (Petunjuk Orang-Orang Pandai).
Sumber : Ensiklopedia Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta.