KULIAHALISLAM.COM – Jainisme (bahasa Sanskerta: जैनधर्म – Jainadharma, bahasa Tamil: சமணம் – Samaṇam) merupakan sebuah agama dharma. Jaina bermakna penaklukan. Agama Jaina bermakna agama penaklukan. Dimaksudkan penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam kelola hidup manusiawi. Agama Jaina itu dibangun oleh Nataputta Vardhamana, hidup pada 559-527 SM yang beroleh panggilan Mahavira yang faedahnya pahlawan agung.
Marmer, patung batu Jain Theerthankar di Kuil Jain di Benteng Jaisalmer, Jaisalmer, Rajasthan, India, Asia. Gambar : Istockphoto.comSejarah Ajaran Jainisme |
Imam Syahrastani dalam kitabnya “Al Milal wa An-Nihal” menyebutkan secara lengkap tentang agama Jaina. Menurutnya, Jaina menganut ajaran tidak berbicara (berdiam diri) adalah yang suci dari segala yang suci dalam ajaran agama Hindu, lebih mulia dari kematian itu sendiri. Dan cara inilah tujuan terakhir agama Jaina dan keikhlasan kepada Dewa Langit.
Tidak berbicara atau berdiam diri dan kematian Suci keduanya menjadi buah bibir penduduk kota Pisala, Ibukota Kerajaan Magada di India Utara pada tahun 572 SM. Pada suatu hari tersebar berita tentang kematian Raja Siryama dan Ratu Trisala yang keduanya telah bertekad akan menikmati kematian Suci dengan melaparkan diri.
Rakyat Magada bukannya bersedih seperti pada umumnya ketika mereka mendengar raja dan ratu mereka mangkat malah sebaliknya seluruh rakyat kerajaan Magada bahagia, memohon kepada para dewa agar diberikan kesempatan mati dalam kematian yang mulia seperti kematian Raja dan Ratu.
Namun ada seseorang dari penduduk yang menangis yaitu seorang pemuda bernama Viradamana, anak kedua dari Raja Siryama dan saudara bungsu dari Raja yang baru. Pemuda itu bersedih dengan menyandarkan kepalanya di dada saudaranya sambil menangis dan berkata ” Saudaraku kesedihan telah menyelimuti diriku atas kematian orang tua kita. Tidak ada keinginan yang dapat memaksakan untuk mengendalikan diriku. Aku bersumpah bawa selama dua belas tahun akan mengabaikan kepentingan tubuhku, agar aku merasakan sesuatu yang menimpa diriku baik itu yang turun dari langit atau dari manusia atau binatang buas“.
Raja mencoba untuk membujuknya seraya berkata ” Wahai Vira, apakah masuk akal Kalau engkau meninggalkan aku sendirian menduduki tahta dan mengatur negara seperti yang kau lihat, sedangkan kematian orang tua kita masih melekat pada benakku dan benar orang banyak ? “. Bujukan sang Raja terhadap Pangeran Viradamana tampaknya diterima sehingga Viradamana bersedia tinggal bersama saudaranya.
Namun dua tahun sesudah itu Pangeran Viradamana meninggalkak Istana dan kota Pisala. Sesudah dua tahun berlalu janji itu tetap dilaksanakannya. Sesudah dua tahun Pangeran Viradamana meninggalkan istana saudaranya, ia tiba di pintu gerbang istana dan bertemu dengan para pendeta yang berjalan sambil meminta-minta sehingga jalan-jalan di kota Pisala penuh dengan para pendeta.
Pengeran Viradamana kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian pendeta dan bergabung bersama para pendeta. Ia bersumpah yang isinya : Semenjak hari ini dan untuk selama dua belas tahun aku bersumpah menahan diri dari berbicara dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun Selama aku masih hidup”.
Selanjutnya mulailah dia berjalan berkelana ke seluruh negeri sebagai pendeta di India. Dia berkelana sebagai pendeta baru tanpa berbicara yang dahulunya tidak pernah terbayangkan. Pada waktu itu dia terpikir masa lalunya demikian juga tentang ramalan para peramal tiga puluh tahun yang lampau ketiga ibunya Ratu Trisala tertidur diistananya, ia bermimpi sebanyak lima belas kali.
Dalam mimpinya itu ia melihat hal yang aneh yang belum pernah dilihatnya. Dalam mimpinya yang pertama ia melihat seekor gajah putih. Dalam mimpinya yang kedua ia melihat banteng putih. Dalam mimpinya yang ketiga ia melihat singa putih yang sedang berbaring di tanah dan pada mimpi yang keempat ia bermimpi bertemu dengan Dewa Sri.
Kemudian dalam mimpi-mimpi selanjutnya, dia melihat kalungan bunga, kemudian melihat bulan purnama yang memancarkan cahaya warna putih perak ke permukaan bumi, ia melihat matahari yang bersinar berwarna pelangi, ia melihat dua ekor ikan yang melambangkan kebahagiaan, ia melihat dua buah cupu berisi air ia melihat sebuah danau yang penuh dengan kembang Lotus yang dikelilingi tembok, pada mimpi yang ke dua belas, ia melihat sebuah mahligai di langit yang dikelilingi bidadari sambil menari dengan diiringi musik.
Dalam mimpi yang ke tuga belas, dia melihat sebuah kembang yang sangat besar dan dihiasi dengan batu permata indah. Dan pada mimpinya yang terakhir Ratu Trisala melihat sebuah singgasana cantik yang bertahtahkan intan dan yakut diatasnya duduk seorang raja yang hampir-hampir tidak kelihatan dari atas singgasana itu ia mengatur seluruh negeri di alam ini.
Ratu Trisala sangat cemas terhadap apa yang dilihatnya dalam mimpi tersebut. Dia mengundang para peramal keistananya. Semua peramal bersepakat bahwa akan lahir seorang bayi yang kemungkinan menjadi seorang raja atau seorang yang sangat suci.
Raja sangat bahagia mendengar amalan itu namun tidak melakukan sesuatu terhadap putranya sebagaimana dilakukan oleh ayah Budha yang melarang anaknya keluar istana agar anaknya tidak melihat penderitaan masyarakat di luar istana. Bahkan Raja Magada memberi kebebasan kepada putranya dan tidak mencampuri nasib putranya.
Pada hari ke dua belas dari kelahirannya, putra yang baru lahir itu dimandikannya dan diberi nama Viradamana yang berarti “Bertambah”. Karena semenjak Viradamana lahir, harta dan kekayaan keluarga aja semakin bertambah baik emas,perak, gandum maupun permata. Sesudah beberapa tahun bertambah dewasa, Viradamana diajarkan dan dilatih untuk memanah dan menunggang kuda di bawah bimbingan seorang pelatih serta diajarkan pula cara menguasai kuda dan gajah yang galak.
Mahavira
Pada suatu hari Pangeran Viradamana bermain-main di halaman istana dengan anak-anak para pejabat menteri. Karena begitu asiknya bermain mereka tidak mendengar suara gajah yang meraung-raung sedang lain menyeberang halaman istana dan sesudah dekat mereka terkejut melihat seekor gajah yang sedang mulai menuju tempat mereka bermain sambil mengayun-ayunkan belalainya.
Ketiga Gajah itu mendekati dan hampir menginjaknya dengan telapak kakinya,, Pangeran mengelak sedikit dengan cepat ia memegang belalai gajah, kemudian Gajah itu tiba-tiba menjadi jinak. Sejak itu, dia dijuluki sebagai “Mahavira (Pahlwan Besar)”. Ketika ayah dan ibunya meninggal dalam keadaan suci pada saat dia berusia dua puluh delapan tahun tahun. Dia sangat bersedih dan bersumpah untuk tidak mempedulikan kepentingan jasmaninya selama dua belas tahun dan selama itu pula ia tidak pernah berbicara.
Dia terus berpuasa dan tidak pernah kembali ke istananya maupun ke keluarganya bahkan bertekad terus menjadi pendeta dan menggembara ke seluruh negeri untuk menyampaikan ajarannya kepada orang yang pernah ditemui pada masa puasanya yang cukup panjang itu. Mahavira berpendapat bahwa sepanjang hidup manusia adalah penderitaan, kelahiran juga penderitaan dan berusaha mencapai apa yang diinginkan juga merupakan penderitaan.
Dia berpendapat bahwa penderitaan di dunia ini berasal dari keinginan. Banyak orang merasa apa yang sudah ada di tangannya masih kurang karena mereka ingin yang lebih banyak lagi. Seseorang yang sudah memiliki banyak makanan, Hatta atau kedudukan tinggi masih saja ingin yang lebih banyak lagi karena itu keinginan tersebut menjadi sumber penderitaan. Untuk lepas dari penderitaan, dia mengajarkan agar manusia melepaskan keinginannya, pada saat manusia sudah mampu untuk melepaskan diri dari keinginannya maka dia akan mampu mempersiapkan diri untuk mencapai Nirwana yang merupakan kebahagiaan rohani terbesar.
Jalan Menuju Nirwana Menurut Jainisme
Banyak orang ingin mengetahui bagaimana mencapai Nirwana ? Dia mengajarkan bahwa untuk mencapai Nirwana ada tiga hal yang mesti dilakukan. Pertama adalah kepercayaan yang benar. Kedua, pengetahuan yang benar dan yang ketiga tingkah laku yang sempurna.
Tingkah laku yang utama ialah melakukan wasiat yang lima yaitu jangan membunuh makhluk hidup atau mengganggunya dengan ucapan, pikiran atau perbuatan. Wasiat yang kedua yaitu jangan mencuri. Wasiat yang ketiga adalah Jangan berdusta dan wasiat yang keempat adalah Jangan melakukan kejahatan atau sesuatu yang menarik nafsumu. Wasiat yang kelima yaitu jangan menginginkan sesuatu apapun.
Dia menolak sistem kasta dan mengingkari pemujaan terhadap patung. Menurutnya patung tidak ada gunanya dan tidak dapat menyelamatkan seseorang. Dia berpendapat bahwa pohon kayu, air dan api memiliki roh. Kalau seseorang hidup dalam kejahatan maka dia akan dilahirkan kembali namun rohnya akan dimasukkan ke dalam tubuh babi dan katak.
Dia juga berpendapat bahwa di bawah permukaan bumi ini ada neraka yang terdiri dari tujuh tingkatan dan setiap tingkatan di bawah lebih mengerikan dari yang di atasnya. Manusia yang jahat maka ketika mati, rohnya akan dilemparkan ke dalam neraka yang tingkatannya paling bawah. Pada saat usia mencapai 70 tahun, dia pergi ke suatu tempat yang bernama Buva.
Disanalah Dia menderita sakit keras dan merasa tidak lama lagi hidup. Sebelum dia meninggal dunia, Dia memberikan nasihatnya yang terakhir yaitu janganlah kamu membunuh binatang sekalipun untuk dimakan, jangan membunuh binatang yang sangat kecil sekalipun seperti nyamuk yang menghisap darahmu atau semut yang menggigitmu. Jangan pergi berperang, jangan membunuh setiap penyerangmu, jangan menginjak ulat di jalan karena ulat itu juga mempunyai roh.
Selanjutnya dia pun meninggal dunia dan jenazahnya diperabukan di Buva, negara bagian Bihar di India. Tempat itu kemudian dianggap suci oleh pengikut-pengikutnya. Wasiat-wasiatnya kemudian dijadikan menjadi kitab suci yang mereka namakan “Agamas” yang berarti wasiat-wasiat yang menjadi kitab suci agama Jaina.
Menurut pemeluk agama Jaina, Mahavira bukanlah satu-satunya pendiri agama ini. Menurut mereka pendiri yang sebenarnya dari agama ini ada dua puluh empat tokoh. Pelopor yang pertama adalah Dewa Adinath yang muncul lebih dari satu juta tahun yang lalu sedangkan pelopo yang terakhir adalah Mahavira yang meninggal pada tahun 480 SM. Para pendeta Jaina telah menyampaikan ajarannya kepada umat manusia setelah jutaan tahun yang lampau.
Mereka selalu menegaskan kepada masyarakat bahwa agama Jaina adalah agama abadi yang tidak ada awal dan akhirnya, setiap pendirinya tidak memiliki kelebihan dari yang lainnya kecuali dari sisi penyingkapan tabir sampai mereka dapat menyampaikan rahasia ajaran agama Jaina pada masyarakat.
Bunuh Diri adalah Nikmat Menurut Jainisme
Apabila seseorang pemeluk agama Jaina melazimi latihan kejiwaan dengan secara ketat dan penuh kesungguhan selama 12 tahun, kepadanya diperbolehkan menikmati bunuh diri dan merasakan nikmat bunuh diri dengan melafalkan dirinya. Inilah yang menjadi cita-cita dari semua pemeluk agama Jaina. Agama Jaina memperbolehkan bunuh diri dan tidak boleh dilarang khususnya melalui cara melemparkan diri yang seperti itu melambangkan kemenangan roh atas keinginan hidup yang buta.
Karena kematian menurut ajaran agama ini adalah pemutus perbuatan yang mungkin merugikan makhluk hidup yang lain dan mungkin mempengaruhi masuknya roh ke dalam tubuh yang lain. Kematian dikarenakan lapar menurut ajaran agama Jaina menunjukkan bahwa seseorang telah mencapai ke derajat zuhud tingkat tinggi dan kesederhanaan, membebaskan roh dari kehidupan ini serta tidak memaksanya hidup yang sama di masa yang akan datang.
Penyelamatan yang seperti ini tidak mudah dilakukan dan dari itu dapat dipahami bahwa roh manusia tidak akan bersatu dengan roh universal. Tetapi berpindah ke alam abadi Yang tempatnya seperti sebuah pulau. Inilah yang dimaksud dengan sebagian ajaran agama Jaina tentang hidup di dunia. Ajaran agama ini berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua makhluk atau dua unsur yaitu “Jiva” yang perasaan dan “Ajiva” yang bukan perasaan.
Jiva adalah yang mempunyai kecerdasan dan ketentraman serta keyakinan yang menjadi bagiannya yang terbesar. Namun apabila roh bersatu dengan jasad maka ia kehilangan sifat-sifat di atas karena aktivitasnya terbatas volume Jiva yang ada pada tubuh manusia.
Ajiva adalah materi yang bentuknya berbeda-beda juga sesuai dengan ruang dan waktu. Kedua ini adalah materi yang mempunyai sifat gerak dan diam. Karena itu unsur alam ini secara rinci ada enam : roh, materi, ruang, waktu, gerak dan diam.
Tuhan dan Dewa Serta Setan
Penganut agama Jaina Menutup Mulutnya
|
Kendatipun pemeluk agama Jaina tidak meyakini adanya langit yang abadi namun mereka mempercayai semua dewa, setan dan jin seperti yang dikenal dalam agama Hindu. Dewa berbeda dengan manusia namun dia tidak kuasa atas segala sesuatu dan tidak mempunyai kelebihan. Dewa adalah bagian dari dunia sekalipun mempunyai kekuatan tertentu Namun tidak lebih penting dari yang lainnya.
Dewa tidak mampu mencapai kelepasan atau keselamatan apabila tidak melalui proses yang dilewati oleh manusia ialah melalui kelahiran. Kelepasan hanya dimiliki oleh manusia. Sekalipun sebagian Dewa pada suatu saat dimuliakan dan sebagian kecil disembah seperti yang diajarkan dalam agama Hindu.
Patung Gommateshwara adalah patung setinggi 17 meter yang terletak di Bukit Vindyagiri di Shravanbelagola di negara bagian Karnataka, India. Patung ini dipersembahkan untuk Bahubali, tokoh dalam agama Jainisme yang berhasil mencapai keadaan “Kevala Gyana” atau “maha mengetahui”. Patung ini dibangun sekitar tahun 983 M dan merupakan salah satu patung tertinggi di dunia. Pembangunan patung ini diperintahkan oleh menteri dan komandan dari Dinasti Ganga, Chavundaraya. Di sekitar patung ini terdapat kuil-kuil Jain yang disebut “basadi” dan beberapa gambar Tirthankara.
Pemeluk Jainisme Terpecah
Pada tahun 79 Masehi, penganut Agama Jaina terpecah menjadi dua kelompok. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang telanjang. Semenjak tahun itu penganut agama Jaina terdiri dari dua kelompok yaitu Satya Nubara yaitu kelompok yang mengenakan pakaian putih. Kelompok kedua adalah Diyamabara ya itu kelompok yang tidak berpakaian sama sekali (telanjang). Tetapi pada saat ini hanya golongan pendeta saja yang tidak berpakaian sama sekali (telanjang).
Jumlah penganut agama Jaina tersebar luas di India. Sebagia besar menetap di India Utara sepanjang Sungai Gangga dan di kota Kalkuta. Pada mulanya mereka tidak mempunyai kuil namun pada saat ini mereka mempunyai banyak Kuil yang di dalamnya ada patung Mahavira dan patung pendiri agama Jaina lainnya.
Mereka memiliki jumlah yang sangat kecil di India namun memiliki pengaruh yang sangat luas. Pada umumnya mereka bekerja berniaga terutama di bidang keuangan dengan membungakan uang dan penukaran uang asing yang menurut mereka tidak mengganggu makhluk lain. Usaha-usaha ini membuat mereka kaya dan memperoleh kedudukan yang baik dalam masyarakat India. Kekayaan mereka tidak mereka boroskan untuk membangun dan mengembangkan arsitektur.
Kewajiban Penganut Agama ini yang harus dilakukan setiap hari adalah berbuat baik kepada orang lain tanpa memikirkan balasan yang diperbuat oleh orang yang ditolongnya. Pada saat di kuil, mereka tidak berdoa untuk meminta kekayaan maupun kemewahan duniawi melainkan hanya meminta masuk nirwana. Mereka selalu berdoa dengan berkata
“Kepada Jainandara Sri Santi yang menjadi sesembahan seluruh alam semesta dan memberi kedamaian dan kegembiraan, aku menundukkan kepalaku yang hina ini agar engkau memberikan keselamatan dan kedamaian yang kekal bagi seluruh makhluk yang ada di persada bumi. Segala yang kuinginkan terkabul berkat limpahan karunia-Mu demikian pula karunia-Mu yang besar ialah masuk ke dalam Nirwanamu“.