Sebagai umat Islam yang tinggal di Indonesia, kita harus selalu bersyukur kepada Allah SWT. karena berkat rahmat-Nya kita dapat hidup di negara ini yang kita cintai. Sebagai umat Muslim, kita bebas melaksanakan ibadah dengan aman dan nyaman di negeri kita saat ini, tanpa ada larangan dari siapa pun.
Bukankan sudah mafhum bahwa aturan agama dan negara bekerja sama. Belum lagi tentang undang-undang perkawinan, pengadilan agama, penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal, serta peribadatan haji di Makkah yang dimediatori oleh pemerintah. Apakah kita mengakui atau tidak? Tentu saja hal-hal seperti ini sangat mendukung keislaman kita di bumi ini.
Belajar dari kehidupan Nabi Muhammad
Anda tahu! Nabi selama hidup di Makkah dan Madinah berada dalam lingkungan sosial yang beragam. Ada yang Muslim dan ada yang kafir. Di Makkah, Nabi dilecehkan, dihina, diludahi, dilempari batu saat shalat, dianggap berbohong, bahkan didakwa sebagai tukang sihir. Selama tiga belas tahun, Nabi tetap tenang dalam situasi ini tanpa melawan.
Seperti halnya di Madinah. Tidak semua orang di Madinah adalah Muslim sepenuhnya. Selain itu, ada beragam suku dan kabilah. Semua orang dapat hidup bersama Nabi.
Bahkan, dalam kisah terkenal tentang kembalinya Nabi ke rahmatullah, seorang Yahudi masih menggadaikan pakaian zirah atau baju perang Nabi. Ini menunjukkan bahwa Nabi dapat bekerja sama dengan mereka dalam urusan yang berkaitan dengan struktur sosial kemasyarakatan.
Dalam hal tauhid, jelas bahwa Nabi selalu mengajak untuk mengesakan Allah SWT. tidak hanyut atau terbawa oleh masyarakatnya. Namun, ketika Nabi memegang kekuasaan, ia tidak segera menghancurkan semua orang kafir di lingkungannya.
Yang tak kalah pentingnya untuk dikatakan bahwa Nabi menolak tawaran malaikat untuk menimpakan gunung Uhud kepada orang-orang yang menentangnya. Nabi mengatakan bahwa anak-anaknya mungkin masuk Islam jika orang tua mereka tidak. Padahal, Nabi mungkin berdoa dengan cara yang sama seperti Nabi Nuh supaya umatnya tenggelam atau tertimpa bencana besar. Namun, ia tidak melakukannya.
Begitu juga sahabat Umar bin Khattab, yang sebelumnya sangat menentang Islam, Khalid bin Walid yang menentang Islam dengan ganas, dan Wahsyi, budak yang membunuh paman Nabi Muhammad saat perang Uhud, akhirnya juga masuk Islam karena akhlak-Nya. Selain itu, Umar bin Khattab menjadi mertua-Nya dan juga menjadi khalifah kedua setelah wafatnya. Di kemudian hari, Khalid bin Walid menjadi panglima perangnya bagi umat Islam.
Belum lagi paman Nabi, Abu Thalib, yang secara lahiriah tidak beriman hingga wafat. Selama hidupnya, Abu Thalib sangat dikenal, dan dia sering menjadi pelindung dakwah Nabi di malam hari.
Bahkan, selama hidupnya, Nabi tidak pernah membenci atau memusuhi pamannya karena kekafirannya. Salah satu paman beliau, Abu Lahab, diperangi karena memerangi Nabi Muhammad, bukan karena tidak iman kepada Allah SWT.
Pada masa Nabi, peperangan tidak terjadi hanya karena perbedaan agama. Contohnya, dalam konsep kewarganegaraan, ada beberapa orang yang disebut sebagai kafir harbi yang mengancam keselamatan orang Muslim; ada juga kafir dzimmi yang harus dilindungi oleh pemerintah karena mereka mengikuti undang-undang masyarakat yang berlaku dan tidak melawan agama Islam. Kafir dzimmi berhak atas hak perlindungan dari orang Muslim.
Bukan permusuhan antara Muslim dan non-Muslim yang menyebabkan perang Badar. Sebaliknya, itu adalah kelompok Nabi yang ingin mengembalikan hak-haknya yang telah dirampas kafir Quraisy di Nakhlah, yang terletak di dekat sumur Badr. Dari awal, kelompok Nabi tidak siap untuk perang karena diserang oleh sekitar seribu pasukan kafir Makkah, dengan teman sekitar 312 orang dan 2 pasukan berkuda.
Nabi dan para sahabatnya mendapat kemenangan dari Allah SWT. meskipun saya berhadapan dengan tiga atau empat orang. Demikian juga perang Uhud. Ini tidak terjadi hanya karena alasan agama, tetapi karena kafir Makkah ingin membalas dendam atas kekalahan mereka dalam perang Badar.
Selain itu, contohnya adalah perang Khandaq dan perang Parit. Selain mengganggu kehidupan Madinah dari luar, Nabi dan penduduknya juga menghadapi embargo ekonomi. Atas usul Salman Al-Farisi, Nabi dan para sahabat bergotong royong membuat parit untuk mengelilingi kota Madinah agar kuda perang yang dibawa musuh dapat masuk dengan mudah. Mereka memutuskan untuk terjun ke parit terlebih dahulu agar musuh dapat mengendalikannya. Selain embargo, ada juga perang karena orang kafir melanggar janji perdamaian.
Itu atinya, peperangan yang terjadi pada masa Nabi tidak disebabkan oleh rasa agama semata. Sebab, dalam hal keyakinan, Muslim di Indonesia harus benar-benar percaya bahwa Islam adalah agama yang benar. Namun, kita harus berinteraksi atau bermuamalah dengan baik dengan siapa saja, apa pun keyakinannya, dalam konteks sosial. Demikianlah Nabi menunjukkan.
Setidaknya, dari sini kita bisa belajar bahwa sebagai warga negara Indonesia, kita semua harus menahan diri untuk tidak terpengaruh oleh perasaan keagamaan, ras, atau suku karena contoh seperti ini. Di Indonesia, syariat agama kita dilindungi oleh undang-undang dan kita diberi kebebasan. Dengan demikian, mari kita terus menjaga Indonesia. Wallahu a’lam bisshawaab.