ArtikelPendidikanTafsir

Menjaga Hakikat Ahlul Qur’an: Rangkaian Nasihat Rasulullah ﷺ untuk Ummat

15 Mins read

Pengertian Ahlul Qur’an adalah mereka yang mencintai Al-Qur’an dan Hadis, menelaahnya dan maknanya, serta mengerjakan apa yang telah mereka pelajari darinya. Ahli Al-Qur’an adalah mereka yang mewarisi kitab Allah dengan penuh tanggung jawab, membaca Al-Qur’an dengan kebenaran bacaannya, baik dari segi tajwid maupun makna.

Mereka mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, meyakini keselarasan dan kesempurnaan isi Al-Qur’an tanpa ada pertentangan. Selain itu, mereka menganalisis dan menerapkan kehalalan serta pengharaman berdasarkan wahyu Allah, menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan mereka dengan penuh keimanan dan pengamalan.

Ada beberapa bagian dari hamba yang memiliki keutamaan-keutamaan, masing-masing memiliki kedudukan yang sangat mulia dan istimewa dalam pandangan Allah SWT. Keutamaan ini mencerminkan nilai-nilai utama dalam agama Islam, yaitu keteguhan dalam iman, kecintaan terhadap Al-Qur’an, dan kepemimpinan yang saleh dalam Masyarakat. Mereka itu antara lain;

1) Pemuda Islam
Pemuda dalam Islam memiliki peran yang sangat vital, baik dalam menjaga keutuhan agama maupun dalam membentuk masa depan umat. Mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan dakwah dan menjaga nilai-nilai Islam di tengah tantangan zaman. Nabi Muhammad SAW memberikan perhatian besar kepada pemuda, seperti yang terlihat dalam sabdanya: “Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya… salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah” (HR. Bukhari dan Muslim). Pemuda yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, menjaga diri dari kemaksiatan, serta aktif dalam kegiatan keagamaan, mendapatkan keutamaan besar dari Allah. Mereka adalah harapan untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat dan merupakan pelita yang menerangi jalan bagi generasi selanjutnya.

2) Ahlul Qur’an
Ahlul Qur’an adalah mereka yang mencintai, menghafal, mempelajari, dan mengamalkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an bukan hanya sekadar bacaan, tetapi menjadi petunjuk hidup yang menjadikan pemeluknya lebih dekat dengan Allah SWT. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. Bukhari). Keutamaan Ahlul Qur’an sangat besar, karena mereka diberi pemahaman yang mendalam tentang wahyu Allah dan berusaha untuk hidup sesuai dengan petunjuk-Nya. Allah SWT sendiri memuliakan orang-orang yang menjaga dan melestarikan Al-Qur’an, sebagaimana dalam Surah Al-A’raf (7:204), yang mengatakan, “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”

3) Imam yang Saleh
Imam yang saleh adalah pemimpin yang adil, bijaksana, dan menuntun umat menuju jalan yang diridai oleh Allah. Mereka tidak hanya memimpin dalam aspek sosial dan politik, tetapi juga memberikan teladan dalam ibadah dan akhlak. Imam yang saleh menjaga agama dan mengedepankan keadilan dalam setiap keputusan yang diambil, baik dalam masalah agama maupun kehidupan sosial. Rasulullah SAW menyebutkan dalam sebuah hadis, “Imam adalah pelindung yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR. Muslim). Imam yang saleh adalah figur yang diharapkan dapat membimbing umat untuk selalu berada di jalur yang benar, mengajarkan ilmu agama, dan menjaga masyarakat dari perpecahan dan kerusakan. Mereka adalah ujung tombak dalam menjaga stabilitas agama dan sosial di masyarakat.
Keutamaan tiga kelompok ini (pemuda Islam, Ahlul Qur’an, dan Imam yang saleh) mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki pemuda yang kuat dalam iman dan amal, cinta terhadap Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, serta kepemimpinan yang adil dan bijaksana dalam masyarakat. Setiap kelompok ini memiliki peran yang saling melengkapi dalam membangun masyarakat yang sesuai dengan tuntunan Islam. Mereka adalah contoh yang harus diteladani dalam upaya mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT.
Selain itu, ciri-ciri dari Ahlul Qur’an adalah mereka membaca Al-Qur’an dengan ketepatan, ketelitian, dan dengan rasa takut serta harapan akan pahala dari Allah. Dalam konteks ini, membaca Al-Qur’an diibaratkan seperti melafalkan anak panah, yang menggambarkan dua hal: ketepatan dan kecepatan. Seperti anak panah yang meluncur tepat sasaran dan tidak meleset, mereka melafalkan setiap huruf dan ayat Al-Qur’an dengan penuh kesungguhan, tanpa ada kelalaian ataupun kekeliruan. Mereka membaca dengan penuh konsentrasi dan keinginan yang tulus untuk mendapatkan ridha Allah.
Mereka juga tidak melampaui batas dalam cara mereka membaca Al-Qur’an, baik dari sisi tajwid, makhraj, maupun pemahaman terhadap isi Al-Qur’an. Mereka berusaha untuk memelihara keindahan bacaan dengan memperhatikan setiap huruf dan tanda baca, serta memahami makna dari setiap ayat yang mereka baca. Ini adalah ciri khas dari Ahlul Qur’an yang tidak hanya fokus pada lafadz, tetapi juga mendalami isi Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup.
Ahlul Al-Qur’an dengan kesungguhan ini juga selalu menyegerakan amal shaleh. Mereka tidak menunda-nunda kesempatan untuk melakukan perbuatan baik dan senantiasa bersegera dalam meraih pahala. Seperti halnya ketika seseorang berusaha menembus sasaran dengan cepat dan tepat, mereka tidak membiarkan waktu berlalu tanpa berusaha untuk menambah amal ibadah yang mendekatkan mereka kepada Allah. Mereka tahu bahwa setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang berharga untuk meraih ridha-Nya.
Tidak menunda-nunda amal baik adalah ciri khas orang yang serius dalam mengejar pahala. Dalam hal ini, mereka menyadari bahwa kesempatan untuk berbuat baik sering kali datang begitu singkat, dan menunda-nunda hanya akan merugikan diri mereka sendiri. Dalam banyak hadis, Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar umatnya tidak menunda-nunda amal kebaikan, seperti dalam sabda beliau: “Jika kamu diberi kemudahan untuk melakukan amal baik, janganlah menundanya” (HR. Bukhari). Mereka yang melafalkan Al-Qur’an dengan kesungguhan, senantiasa siap dan bersegera dalam setiap kesempatan untuk berbuat kebaikan, apalagi yang berhubungan dengan agama dan ibadah.
Secara keseluruhan, gambaran ini menunjukkan bahwa mereka yang membaca Al-Qur’an dengan sepenuh hati tidak hanya melakukannya dengan cepat dan tepat, tetapi juga dengan penuh perhatian dan pemahaman. Seperti anak panah yang melesat ke sasaran, mereka bertujuan untuk menembus ketenangan dan keberkahan dalam hidup, dengan amal shaleh yang terus menerus disegerakan tanpa menunggu waktu yang sempurna. Kecepatan dan ketepatan mereka dalam beramal merupakan refleksi dari keimanan yang mendalam dan kesadaran penuh akan nilai setiap amal dalam rangka meraih pahala dan mendapatkan ridha Allah SWT.

Bahkan dalam konteks yang berakar dalam perbincangan tentang kesesatan dan takfir di kalangan umat Islam, penting untuk dicatat bahwa jarang sekali di antara para ahli Al-Qur’an dan Hadis yang terjerumus ke dalam kesesatan atau mengkafirkan sesama Muslim tanpa alasan yang jelas dan sah. Sebagai ahlul ilm, mereka biasanya lebih berhati-hati dalam menyatakan seseorang telah keluar dari Islam, karena mereka memahami bahwa perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fiqh dan tafsir tidak otomatis mengarah pada takfir. Oleh karena itu, sikap hati-hati dan cermat dalam menetapkan takfir dan menilai kesesatan sangat penting agar tidak terjatuh pada tindakan yang tidak berdasarkan ilmu yang benar.

Dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ini, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa matahari akan terbit dari arah barat, yang merupakan fenomena alam yang sangat luar biasa dan bertentangan dengan hukum alam yang biasa kita saksikan. Fenomena ini menunjukkan bahwa semua hukum alam yang ada saat ini akan terbalik, dan hanya Allah yang memiliki kekuasaan atas seluruh ciptaan-Nya.
Hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah raḍiyallāhu ‘anhu tentang matahari yang terbit dari arah barat dan lama malam yang berlangsung tiga malam adalah salah satu tanda besar kiamat yang menandakan perubahan besar dalam alam semesta. Fenomena ini hanya dapat dipahami dengan benar oleh orang-orang yang bertauhid dan ahli Al-Qur’an, yang memiliki keimanan yang kokoh dan pemahaman yang dalam tentang ajaran Islam. Oleh karena itu, umat Islam diajak untuk senantiasa memperkuat iman, mempelajari Al-Qur’an, dan mempersiapkan diri menghadapi segala tanda-tanda kiamat dengan ketenangan dan kesiapan yang penuh.
Bagian terakhir hadis ini menyebutkan bahwa fenomena ini hanya dapat dipahami atau diketahui oleh orang-orang yang bertauhid dan ahli Al-Qur’an. Hal ini mengandung makna bahwa keimanan yang kuat dan pemahaman yang mendalam terhadap wahyu Allah adalah kunci untuk memahami fenomena besar ini dan menyikapinya dengan benar.
• Orang-orang yang bertauhid, adalah mereka yang memiliki keyakinan yang benar tentang keesaan Allah, yang tidak terpengaruh oleh kebodohan atau kesesatan. Mereka akan mampu memahami peristiwa besar ini sebagai bagian dari takdir Allah yang harus diterima dengan penuh iman.
• Ahli Al-Qur’an, adalah orang-orang yang mempelajari, menghafal, dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Mereka adalah individu yang memiliki pemahaman mendalam tentang wahyu Allah, dan dengan pemahaman mereka ini, mereka akan bisa melihat bahwa fenomena tersebut adalah bagian dari tanda-tanda kiamat yang telah diberitakan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Dalam konteks ini, orang-orang yang bertauhid dan ahli Al-Qur’an tidak hanya akan mengetahui bahwa kiamat sudah semakin dekat, tetapi mereka juga akan memiliki ketenangan hati dan keyakinan yang mantap dalam menghadapi tanda-tanda kiamat tersebut. Mereka tidak akan terperangah atau terkejut, melainkan mereka akan menghadapinya dengan sikap sabar, penuh harapan akan rahmat Allah, dan penuh kesiapan untuk bertemu dengan-Nya.

Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada iri hati kecuali pada dua hal: seseorang yang telah Allah ajarkan Al Qur’an, lalu ia membacanya siang dan malam, dan tetangganya mendengarnya.” (HR. Bukhari). Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai yang diberikan kepada orang yang mempelajari dan membaca Al-Qur’an, terlebih jika mereka membacanya dengan ketulusan hati dan kesungguhan, sehingga suara bacaan mereka dapat menggugah hati orang lain. Hal ini menggambarkan keutamaan membaca Al-Qur’an bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memberi manfaat bagi lingkungan sekitar.
“Allah lebih memperhatikan orang yang memiliki suara yang bagus dalam Al-Qur’an daripada pemilik pelacur terhadap pelacurnya.” (HR. Ibnu Majah). Ini menegaskan bahwa suara yang indah dalam membaca Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah, bahkan lebih dari hal-hal yang dianggap negatif atau tercela dalam masyarakat.
Dari al-Muhajir bin Habib, Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai para ahli Al-Qur’an, janganlah kamu melembutkan Al-Qur’an, dan bacalah Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh di malam hari.” Ini mengajarkan kita untuk membaca Al-Qur’an dengan kesungguhan dan keikhlasan, serta menjadikannya sebagai amalan utama di malam hari sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tidak hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai ibadah yang harus dilakukan dengan penuh ketekunan dan rasa hormat.
Hadis-hadis yang disebutkan di atas menekankan keutamaan orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an, serta betapa besar manfaat yang mereka peroleh. Dalam hadis pertama yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa iri hati yang dibenarkan hanya ada pada dua hal, salah satunya adalah pada orang yang diajari oleh Allah Al-Qur’an, lalu ia membacanya siang dan malam. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang senantiasa membaca dan menghafal Al-Qur’an, serta mengamalkannya dengan penuh keikhlasan, memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah, bahkan menjadi objek kekaguman orang lain. Keindahan dan keberkahan yang muncul dari bacaan Al-Qur’an menjadikannya sesuatu yang layak untuk dicontoh, yang bahkan bisa menumbuhkan rasa iri hati dalam konteks positif bagi mereka yang menyaksikan keistimewaannya.

Maka begitu banyak nasihat-nasihat penting dari Rasulullah ﷺ kepada para ahli Al-Qur’an, yakni untuk memperbanyak zikir dan shalat, dua amal ibadah yang sangat dicintai oleh Allah -Ta’ala-. Rasulullah ﷺ menekankan pentingnya dua hal ini, karena keduanya memiliki nilai yang luar biasa dalam mendekatkan seorang hamba kepada Sang Pencipta. Penekanan terhadap perbanyak zikir dan shalat ini menunjukkan bahwa seorang Muslim, terlebih mereka yang termasuk dalam kalangan ahli Al-Qur’an, tidak hanya dituntut untuk mempelajari dan menghafalkan wahyu Allah, tetapi juga untuk menghidupkan hati mereka dengan dzikir dan memperbanyak ibadah kepada Allah dalam bentuk shalat.

Rasulullah ﷺ bersabda “Wahai ahli Al-Qur’an, laksanakanlah salat witir, karena Allah mencintai salat witir.” Diriwayatkan dari hadits Abu Bashrah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menambah salat kalian, yaitu salat witir, maka salatlah di antara salat isya dan salat subuh.” Sebaliknya, bagi mereka yang merasa yakin akan bangun di akhir malam, maka dianjurkan untuk menundanya, karena dianjurkan untuk menundanya, berdasarkan hadis dari Jabir radhiyallahu’anhu bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang merasa bangun di akhir malam, maka hendaklah ia salat di akhir waktu, karena sesungguhnya salat di akhir waktu itu dihadiri oleh para malaikat dan itu lebih utama.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).
Hadis ini mengajarkan tentang keutamaan salat di akhir malam atau yang dikenal dengan salat tahajjud. Rasulullah ﷺ menekankan bahwa barang siapa yang bangun pada akhir malam yaitu pada waktu yang lebih dekat dengan fajar maka hendaklah ia mengerjakan salat pada waktu tersebut. Waktu akhir malam, terutama sebelum subuh, adalah waktu yang sangat mulia dan penuh berkah. Dalam hadis ini, disebutkan bahwa salat yang dilakukan pada waktu tersebut di hadiri oleh para malaikat, yang menunjukkan bahwa amal ibadah yang dikerjakan di waktu tersebut memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah. Malaikat yang hadir adalah saksi bagi hamba Allah yang bangun dan beribadah, memberikan berkah dan rahmat pada setiap langkah mereka.
Selain itu, salat di akhir malam juga dikenal lebih utama karena pada saat tersebut hati lebih tenang dan khusyuk, jauh dari gangguan dan keinginan duniawi. Para ulama menjelaskan bahwa waktu ini adalah waktu yang paling dekat dengan Allah, karena pada waktu ini tidak banyak orang yang bangun untuk beribadah, sehingga salat yang dikerjakan di waktu ini lebih ikhlas dan lebih tulus. Ini juga merupakan waktu yang penuh dengan rahmat dan ampunan, karena Allah SWT sering kali turun ke langit dunia pada saat tersebut, mendekatkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berdoa dan memohon ampunan.

Pesan yang terkandung dalam sabda Rasulullah ﷺ adalah nasihat untuk menjadi seorang ahli Al-Qur’an yang tidak hanya memahami wahyu Allah, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu memperbanyak zikir dan shalat. Dengan memperbanyak zikir, hati kita akan senantiasa terhubung dengan Allah, dan dengan memperbanyak shalat, kita menunjukkan rasa cinta dan ketaatan kita kepada-Nya. Shalat witir, sebagai salah satu bentuk ibadah sunnah yang sangat dicintai Allah, merupakan penutup yang sempurna bagi ibadah malam hari dan menjadi sumber syafaat bagi pelakunya. Oleh karena itu, setiap Muslim seharusnya berusaha untuk menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan dzikir, agar mendapatkan keberkahan, kedamaian, dan keridhaan Allah SWT.

Selanjutnya, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa Allah lebih memperhatikan orang yang memiliki suara indah dalam membaca Al-Qur’an daripada hal-hal duniawi yang dianggap berharga. Ini menegaskan betapa pentingnya menghiasi bacaan Al-Qur’an dengan suara yang baik, karena hal tersebut mencerminkan rasa cinta dan penghormatan yang mendalam kepada kitab Allah. Di samping itu, Rasulullah ﷺ mengingatkan para ahli Al-Qur’an untuk tidak melembutkan bacaannya dengan cara yang tidak sesuai, dan agar mereka membacanya dengan sungguh-sungguh, terutama di malam hari. Bacaan yang khusyuk dan penuh penghayatan di malam hari memiliki kedudukan yang sangat tinggi, karena itu adalah waktu yang penuh berkah dan keutamaan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pembacaan Al-Qur’an harus dilakukan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, tidak sekadar rutinitas belaka.

Oleh karena itu, hal yang paling penting bagi seorang mukmin adalah mencapai asal mula keimanan, dan untuk mendapatkan lebih banyak lagi dengan amal saleh, menyampaikan kebenaran, dan menyampaikan kesabaran dengan belajar dengan orang-orang beriman, bertemu dengan ahli Al-Qur’an, dan menanggung apa yang dihasilkan dari membawa kebenaran :
Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa tidaklah suatu kaum berkumpul di tempat tersebut untuk membaca Kitab Allah dan mempelajarinya melainkan Allah akan menurunkan ketenangan di hati mereka (HR. Muslim, No.3074). Ketenangan yang dimaksud di sini adalah ketenangan batin, yang hanya bisa dirasakan oleh seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah melalui bacaan dan pemahaman terhadap Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa ketika seorang hamba Allah berkumpul dengan sesama umat untuk mempelajari ajaran-ajaran-Nya, Allah akan memberikan kedamaian dan ketenangan jiwa yang meliputi seluruh hati mereka.
Selain itu, kumpulan orang yang berkumpul untuk mempelajari Al-Qur’an juga mendapat rahmat Allah. Dalam proses belajar, mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang wahyu Allah, tetapi juga merasakan kehadiran berkah dan pertolongan-Nya. Ketenangan ini juga merupakan salah satu karunia spiritual yang datang dengan mendekatkan diri kepada Allah, mengingatkan hati dan pikiran dari kesibukan duniawi, dan membantu umat Islam untuk menguatkan iman serta memperbaiki akhlak mereka.
Penting untuk diingat bahwa kegiatan ini juga merupakan bentuk ibadah yang sangat mulia, karena mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya adalah salah satu cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa orang yang mengajarkan Al-Qur’an adalah orang yang mendapat pahala yang terus mengalir, karena setiap huruf yang dibaca atau dipelajari akan mendatangkan pahala bagi orang yang melakukannya. Ketenangan yang turun juga menciptakan suasana yang kondusif untuk mendalami ilmu agama dan mempererat tali persaudaraan sesama Muslim.

Diceritakan bahwa Allah menghinakan Fir’aun dan para pasukannya disebabkan karena keangkuhan dan kesombongan mereka yang tidak mengakui keberadaan Allah SWT. Allah menghinakannya dan menaklukkannya, dan Allah mewariskan negeri itu kepada Musa dan kaumnya sesudahnya untuk mewarisinya dengan rampasan perang, karunia, kebun-kebun, harta benda dan tempat yang terhormat, dan kami wariskan pula kepada Bani Israil (QS. al-Syu’araa: 59). Ini semua adalah karena karunia, nikmat, kemurahan dan kasih sayang Allah.
Lihatlah, wahai saudaraku Muslim yang tercinta, bagaimana Allah memberikan kemenangan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengabulkan doa-doa mereka ketika mereka bersandar kepada-Nya dan kemudian meningkatkan ketergantungan mereka kepada Tuhan mereka dan ketaatan mereka kepada Rasul-Nya sebagai sarana bagi-Nya, diberkati dan ditinggikan-Nya, untuk mengabulkan doa-doa mereka. Ini adalah contoh-contoh hidup yang luar biasa yang berbicara tentang kebenaran dan ketulusan yang Allah Ta’ala berikan di dalam Al-Qur’an-Nya, kitab terakhir, bukan untuk dilewatkan begitu saja tanpa nasihat atau pertimbangan, tetapi untuk mengikuti teladan orang-orang sebelum kita dengan perbuatan baik dan doa-doa mereka kepada Allah Ta’ala.
Kemenangan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman adalah hasil dari ketaatan, doa-doa yang tulus, dan ketergantungan mereka kepada-Nya. Allah memberikan contoh melalui kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an, seperti kisah Fir’aun yang dihancurkan karena keangkuhannya dan bagaimana Allah mewariskan negeri yang besar kepada Musa dan Bani Israil sebagai ganjaran atas keimanan dan ketundukan mereka kepada-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa karunia dan kemenangan Allah diberikan kepada mereka yang bersabar, beriman, dan selalu memohon kepada-Nya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Sebagai umat Muslim dan ahli Al-Qur’an, kita diajak untuk meneladani orang-orang beriman sebelumnya dengan melakukan amal baik, berdoa dengan keyakinan, dan memperkuat ketergantungan kita kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat akan jawaban Allah terhadap doa-doa kita, kita harus terus berusaha untuk hidup dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati, karena hanya melalui itu kita bisa meraih keberkahan, kemuliaan, dan kemenangan yang hakiki. Allah SWT memberikan teladan ini melalui kisah-kisah dalam Al-Qur’an untuk mengingatkan kita agar senantiasa berpijak pada jalan yang benar dan selalu bersandar pada kekuatan-Nya dalam setiap aspek kehidupan kita.

Al-Ajri rahimahullah menyebutkannya bahwa: “Ketahuilah wahai ahli Al-Qur`ān, wahai ahli ilmu, wahai ahli Sunnah dan peninggalannya, sebagaimana diperintahkan Allah bahwa setelah amal ada iman yang harus dijaga. Allah tidak memasukkan mereka ke dalam surga hanya dengan iman saja, tetapi Dia (Allah) menggabungkannya dengan amal saleh, yang dengannya Dia memberikan kesuksesan kepada mereka, sehingga tidak ada seorang pun yang sempurna imannya sampai dia beriman dengan hatinya, mengucapkan dengan lisannya, dan beramal dengan anggota tubuhnya.
Pernyataan ini menekankan pentingnya keselarasan antara iman dan amal dalam kehidupan seorang Muslim. Allah SWT tidak hanya mengharapkan keimanan di hati seseorang untuk memasukkannya ke dalam surga, tetapi juga mengharapkan adanya amalan saleh yang didasari oleh iman yang benar. Dalam Islam, iman bukan hanya sekadar keyakinan di dalam hati, tetapi juga harus diungkapkan melalui ucapan (lisannya) yang mencerminkan keimanan tersebut, dan diwujudkan melalui perbuatan yang sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menegaskan bahwa iman tanpa amal ibadah yang nyata tidak akan sempurna. Begitu pula, amal tanpa niat yang benar dan tulus karena Allah tidak akan diterima. Oleh karena itu, seorang Muslim harus menjaga keseimbangan ini—memiliki iman yang kokoh, mengucapkan yang benar sesuai dengan wahyu, dan beramal dengan baik sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini tercermin dalam firman Allah yang menyatakan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah mereka yang akan meraih kesuksesan (QS. Al-Asr: 1-3).
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan bahwa seseorang tidak akan dianggap sempurna imannya sampai ia melaksanakan semua kewajiban agama dengan penuh keikhlasan dan tidak terlibat dalam perbuatan yang dilarang. Jadi, keseluruhan ajaran ini menggambarkan bahwa iman yang sejati adalah iman yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, baik dalam keyakinan, ucapan, maupun perbuatan.

Jika diperhatikan dengan seksama pada zaman ini, sungguh mengherankan orang-orang yang mengenakan pakaian orang-orang Al-Qur’an dan menggunakan nama-nama orang-orang beriman. Mereka mengarang-ngarang kebohongan dan mengada-ada. Mereka tidak takut akan rasa malu dan aib. Mereka telah mencapai tingkat kebodohan yang lebih rendah dari orang-orang Yahudi dan Kristen, dengan mengklaim bahwa Syariat Islam menghalangi mereka untuk maju. Mereka mengklaim bahwa Syariat Islam menghalangi mereka untuk maju. Itu tidak cocok untuk orang-orang di zaman ini. Di zaman sekarang, kita sering melihat individu atau kelompok yang mengklaim diri mereka sebagai ahli Al-Qur’an atau “muslim sejati” namun, pada saat yang sama, melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka mengenakan pakaian Islami, menggunakan nama-nama Islami, namun dalam perilaku dan sikapnya, mereka tidak menunjukkan rasa takut terhadap Allah atau malu atas tindakan yang salah. Sebagai contoh, banyak yang mengaku memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia dengan mengatasnamakan Islam, namun mereka justru terlibat dalam praktik korupsi, ketidakadilan, atau bahkan menyebarkan kebohongan dan fitnah demi kepentingan pribadi atau politik mereka.
Fenomena ini semakin jelas terlihat dalam dunia politik, di mana beberapa individu atau kelompok yang menggunakan identitas Islam sebagai politik identitas seringkali mengedepankan kepentingan kelompok mereka, meskipun harus mengorbankan prinsip-prinsip ajaran Islam yang sesungguhnya, seperti kejujuran, integritas, dan keadilan. Padahal, Islam menekankan pentingnya akhlak yang mulia dan kejujuran dalam segala aspek kehidupan.

Ibnu Batutah berkata: “Saudara-saudaraku, wahai para ahli Al Qur’an dan pembawa Hadis, janganlah kalian mencari tahu apa yang tidak mampu dilakukan oleh akal kalian, dan janganlah kalian menanyakan apa yang tidak ditanyakan oleh para ulama kalian yang saleh.” Pernyataan Ibnu Batutah ini mengandung nasihat yang sangat dalam mengenai batasan pengetahuan dan pentingnya mengikuti petunjuk para ulama dalam memahami hal-hal yang bersifat ghaib atau yang tidak bisa dijangkau oleh pemikiran manusia biasa. Ibnu Batutah mengingatkan agar para ahli Al-Qur’an dan pembawa Hadis tidak terjebak dalam spekulasi atau pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat dan melampaui kemampuan akal manusia, yang bisa menyesatkan dan menyebabkan kebingungan dalam beragama.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din menulis bahwa umat Islam harus berhati-hati dalam menggali hal-hal yang tidak jelas dalam agama. Menurutnya, banyak orang yang hanya ingin memperdalam hal-hal yang tidak relevan, yang justru bisa mengarah pada keraguan dan kebingungan dalam beragama. Al-Ghazali menegaskan bahwa yang lebih penting adalah memahami dasar-dasar agama, yaitu tauhid, shalat, zakat, dan ibadah lainnya yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, seorang ulama kontemporer, juga menekankan bahwa kebanyakan perbedaan pendapat dalam Islam muncul ketika umat Islam mengabaikan jalan yang lurus dalam beragama dan mencoba mencari jawaban-jawaban atas hal-hal yang tidak ada dalam nash (Al-Qur’an dan Hadis). Beliau mengingatkan bahwa banyak permasalahan yang dapat diselesaikan dengan mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak perlu berusaha untuk menggali hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidak ada tuntunannya. Beliau juga menyatakan bahwa: “Jika Ahli Al-Qur’an tidak memiliki kebaikan, maka umat yang lain juga tidak akan memiliki kebaikan.”

Oleh karena itu, barang siapa yang menunjukkan perwalian atau mengaku sebagai Ahul Qur’an namun tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban atau menghindari hal-hal yang dilarang bahkan mungkin melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hal tersebut maka tidak seorang pun dapat mengatakan bahwa orang tersebut adalah wali Allah. Mereka tidak membedakan diri mereka dengan manusia dalam perkara-perkara lahiriah yang mubah, tidak pula membedakan diri mereka dengan mengenakan pakaian selain pakaian jika keduanya mubah, tidak pula mencukur, memendekkan, atau memanjangkan rambut jika itu mubah, akan tetapi mereka ada pada seluruh umat Muhammad ﷺ jika mereka tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang melakukan kesesatan dan kemaksiatan secara terang-terangan, dan mereka ada pada ahli al-Quran, ahli ilmu, ahli jihad.
Seseorang tidak dapat dianggap sebagai wali Allah hanya berdasarkan tampilan lahiriah atau perbuatan yang bersifat mubah, seperti pakaian atau gaya rambut. Wali Allah adalah mereka yang menjaga kewajiban agama dan menghindari larangan, serta berperilaku sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tidak terlibat dalam kesesatan atau kemaksiatan terang-terangan dan berada dalam lingkungan yang saleh, termasuk ahli Al-Qur’an, ahli ilmu, dan ahli jihad. Perwalian sejati tercermin dari ketaatan dan akhlak yang baik, bukan sekadar penampilan lahiriah.
Jadi, marilah, wahai orang-orang yang beriman, marilah, wahai ahli Al-Qur’an, marilah kita mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang beriman sebelum kita. Marilah kita melakukan amal-amal yang baik yang dapat diterima dan memuaskan. Kita melakukannya dengan penuh keyakinan dan penyerahan kepada Allah, memohon kepada-Nya dan percaya pada setiap petunjuk-Nya.


DAFTAR PUSTAKA
Abd Aziz bin Baz. Fatawa Islamiyyah. Vol. 5. Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1995.
Abu al-Muzaffar, al-Isfarayini. Tabshir Fi Ad-Din Wa Tamyiz. Lebanon: ’Alim al-Kitab, 1983.
al-Ajurri. Akhlaq Ahlul Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985.
al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001.
Alu Syeikh, Abd Latif. Mishbah Al-Dholam Fi Ar-Rad. Riyadh: Wizarah al-Syan al-Islamiyyah, 2003.
al-Ghamidi, Ahmad bin ’Athiyyah. Al-Iman Baina as-Salaf Wa al-Mutakallimin. Vol. 1. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, 2002.
al-Hakami, Hafidz bin Ahmad bin Ali. Ma’arij al-Qobul Bi Syarh Salim al-Wushul Ila Alim al-Ushul. Vol. 3. ad-Dammam: Dar Ibn al-Qayyim, 1990.
al-Halimi, Husain bin Hasan. Al-Minhaj Fi Syu’ab al-Iman. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
Hayah bin Muhammad bin Jibril. Al-Atsar al-Waradah an ’Umar Bin Abd al-’Aziz Fi al-’Aqidah. Vol. 2. al-Madinah al-Munawwarah: ’Amadah al-Bahst al-’Alamy bi al-Jami’ah al-Islamiyyah, 2002.
ar-Rifa’i, Abu Ghazwan. Al-Masyru’ Wa al-Mamnu’. Vol. 1. Beirut: Dar Lebanon li Thaba’ah wa an-Nasyir, 1979.
as-Syafi’i, Yusuf bin Yahya. ’Aqidah Ad-Durari Fi Akhyar al-Muntadzir. al-Ardan: Maktabah al-Manar, 1989.
Ibnu Taimiyyah. Majmu’ al-Fatawa. Vol. 4. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
al-Khiyath, Abdullah. Ma Yajibu an Ya’rafahu al-Muslim ’an Dinihi. Vol. 1. ar-Risalah al-Ammah li idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah, 1423.
al-Maghrawi, Abu Sahal Muhammad. Musaw’ah Mu’aqif al-Salaf. Vol. 10. Mesir: al-Maktabah al-Islamiyyah li-Nasyir wa at-Tawzi’, n.d.
Muhammad Shuqar, Syahat. Kasyfu Syubhat As-Sufiyyah. Vol. 1. Mesir: Maktabah Dar al-’Ulum, n.d.
Sa’id Hawwa. Al-Asas Fi as-Sunnah Wa Fiqhiha. Vol. 3. Mesir: Dar al-Salam, 1992.
al-Salafi, Abu Habtallah. Tahdzir Ahlul Iman an Al-Hukm Bighairi Ma Anzala Ar-Rahman. Vol. 1. al-Madinah al-Munawwarah: al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1986.
al-Suramary, Jamaluddin. Nahj Al-Rasyad Fi Nadzm al-’Itiqad. Arsalah Muhaqaqah lil Maktabah as-Syamilah, 2014.

Baca...  Sejarah Awal Mula Perkembangan Aliran Wahabi Hingga Ajaran-ajarannya
3 posts

About author
Guru Sekolah SD Islam Al Azhar 46 Grand Depok City, Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta Selatan: Fakultas Ushuluddin Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Jakarta Selatan .
Articles
Related posts
Pendidikan

Pendidikan Karakter Sebagai Perlindungan Bagi Anak Broken Home

5 Mins read
Refleksi selama mengikuti mata kuliah pendidikan karakter, membuat ketertarikan untuk membahas topik yang erat kaitannya dengan pendidikan karakter sebagai perisai perlindungan bagi…
Pendidikan

Pengembangan Sikap Ilmiah dalam Pendidikan Karakter Siswa di MTs Mamba'ul Huda

3 Mins read
Refleksi selama mengikuti perkuliahan pendidikan karakter, membuat ada sedikit ketertarikan untuk membahas topik yang memliki keterkaitan dengan pendidikan karakter yaitu pengembangan sikap…
Pendidikan

Mudah Terpengaruh Hoax Karena Media Sosial

1 Mins read
Jika kita ketahui penggunaan media sosial ini sangat digemari hampir oleh seluruh kalangan masyarakat, terutama di kalagan para remaja, usia 17 tahun…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights