Menghukum Pencuri Miskin
Ngoekoem dateng tijang ingkang ngrekaos pangaoeripoen (Menghukum orang yang hidupnya susah).
Menghukum pencuri miskin | Sumber gambar merdeka.com |
Allah telah menitipkan harta kepada umat manusia. Harta titipan tersebut menjadi hak bagi pemiliknya untuk digunakan sebagaimana mestinya. Dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, banyak sekali keterangan yang memberikan penjelasan mengenai sikap kita terhadap harta, baik harta yang menjadi milik kita, maupun orang lain. Aturan penggunaan harta, cukup rinci. Prinsipnya, harta harus didapat dari jalan yang halal, serta dikeluarkan ke jalan yang juga halal.
Bagi pemilik harta, agar menggunakan uang secara baik. Sementara bagi orang lain, tidak diperkenankan mengambil harta saudaranya dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum syariat, seperti mencuri, korupsi, manipulasi, riba, judi dan lain sebagainya.
Perolehan harta dengan cara-cara seperti itu diharamkan. Pelakunya berhak untuk mendapatkan hukuman setimpal. Bagi pencuri yang mengambil harta orang lain secara tidak halal dan sampai pada kadar tertentu, maka ia bisa dikenai hukuman hudud, yaitu dipotong tangannya. Bagi para perampok, dalam kondisi tertentu bisa dikenai hukuman mati dengan disalib. Hukuman mati, juga bisa diberlakukan kepada para koruptor yang telah merampok uang rakyat.
Hukuman potong tangan bagi para pencuri yang telah mengambil harta orang lain dalam kadar tertentu, diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya sebagai berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Mâidah:38-39)
Meski para pencuri harus mendapatkan hukuman setimpal, namun dalam kondisi tertentu bisa ditangguhkan. Hal ini jika pencurian tersebut belum memenuhi standar yang berlaku, seperti mencuri sedikit saja, atau dia mencuri dalam kondisi sangat terpaksa. Hukuman hudud tidak berlaku bagi mereka yang kelaparan dan terpaksa harus mencuri untuk menyelamatkan jiwanya.
Hal ini pernah terjadi pada masa Umar bin Khatab. Di masa beliau, pernah ada seseorang yang melakukan tindakan pencurian. Waktu itu, sedang terjadi musim paceklik sehingga mengakibatkan gagal panen. Pencuri itu berhasil diringkus dan dihadapkan kepada Khalifah Umar bin Khatab ra.
Umar bin Khatab RA tidak serta merta memberikan hukuman potong tangan kepada seorang pencuri. Umar bin Khatab RA mempertanyakan dulu, apa sebab yang melatarbelakangi dan menyebabkan orang tersebut melakukan tindak pencurian. Dari penelusuran tersebut, diketahui bahwa seseorang tadi mencuri karena terpaksa.
Ia dan keluarganya dalam posisi butuh makan. Hal ini bisa dimaklumi, karena waktu itu kondisi sedang paceklik. Panas berkepanjangan mengakibatkan para petani gagal panen. Dengan kondisi seperti itu, Umar lantas membuat keputusan bebas kepada pencuri. Ia tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
Apakah Umar bin Khatab RA menggugurkan nas? Tentu saja tidak. Apa yang dilakukan Umar bin Khatab RA sesungguhnya karena sikap Umar bin Khatab RA yang memahami ruh, spirit dan maqashid nas. Umar bin Khatab RA tidak membaca nas secara literal, atau sekadar memahami nas dengan tinjauan semantik saja. Karena jika pemahaman literal tanpa melihat ruh dari hukum syariah, pencuri, siapapun ia dan bagaimanapun kondisinya, asal sudah mencapai batas minimal, maka ia dapat dikenakan hukum potong tangan.
Bagi Umar bin Khatab RA, hukum potong tangan tidak serta merta bisa diterapkan. Ada persyaratan yang cukup ketat agar seseorang bisa dipotong tangannya, di antaranya adalah bahwa ia mencuri bukan karena terpaksa karena untuk menyambung hidupnya.
Bahkan pencuri seperti, justru harus mendapatkan santunan dan perhatian. Ia harus mendapatkan hak dari baitul mal. Penghidupannya sesungguhnya mendapatkan dijamin negara. Bukankah di negeri ini berlaku, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, seperti klausul pada Pasal 34 ayat (1) UUD 1945?
Pencuri juga tidak dipotong tangan ketika kondisi negara dalam keadaan kelaparan. Hal ini, karena terdapat kemungkinan bahwa pencuri melakukan tindak kriminal karena kebutuhan mendesak.
Kecuali jika terdapat pengakuan dari dirinya, atau ada indikasi tertentu yang menunjukkan bahwa ia mencuri bukan karena terpaksa dan bukan karena kebutuhan, maka ia layak untuk mendapatkan hukuman potong tangan. Terkait gugurnya hukuman bagi pencuri karena faktor di atas, terdapat kaedah yang umum digunakan oleh ulama ushul yaitu:
الحدود تدرأ بالشبهات
Hudud dapat dihindari karena adanya syubuhat.
Di sini, yang dimaksudkan dengan syubuhat adalah ketidakjelasan kondisi pencuri karena faktor-faktor di atas. Kaedah tersebut diambil dari oleh hadis Rasulullah SAW:
ادرؤوا الحدود بالشبهات عن المسلمين ما استطعتم فان وجدتم المسلم مخرجا فخلوا
Hindarilah hukuman-hukuman dari orang-orrang islam semampumu. Apabila engkau menemui jalan keluar (selain had), maka bebaskanlah mereka. (HR. Tirmidz)
Maka sangat miris ketika kita membaca berita bahwa pada tahun 2015, terdapat kasus hukum yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun. Dia adalah Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 ribu subsider 1 hari hukuman percobaan.
Nenek Asyani divonis bersalah setelah ia didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dijadikan tempat tidur. Sementara itu, si Nenek beralasan bahwa batang pohon jati yang ia tebang diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam.
Atau cerita seorang nenek warga Banyumas, Jawa Tengah, divonis oleh majelis hakim dengan hukuman 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa menjalani kurungan tahanan. Nenek bernama Minah tersebut didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat) di perkebunan milik persuhaan PT Rumpun Sari Antan pada tahun 2009 lalu.
Hukum, sesungguhnya tidak sekadar bicara soal benar salah. Ada sisi moral dan kemanusiaan yang berada di balik hukum sehingga hukum tidak dapat dijatuhkan secara hitam putih. Motif pelaku tindakan kriminal, menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan dan menjatuhkan suatu hukuman. Seperti halnya Umar mengancam untuk menghukum orang yang kecurian, karena si pencuri adalah orang miskin yang kelaparan.
Selain faktor motif, ada standar minimal atas barang yang dicuri. Batas minimal harta yang dicuri sehingga seseorang dapat dipotong tangan adalah 3 dihram atau sepertempat dinar. 1 dinar sekitar 1.400.000,- (1 juta empat ratus ribu rupiyah).
Jika seperempat dinar, bearti setara dengan 350 ribu. Ia mencuri bukan karena kebutuhan, namun mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup sekunder. Ia mencuri untuk bermegah-megah dan bermewah-mewah, seperti yang kita saksikan pada para koruptor negeri ini.
Atau para pencuri yang memang melakukan tindakan pencurian sudah menjadi profesinya. Ia hidup hanya bergantung dari tindakan kriminal yang diharamkan agama dan malas untuk bekerja. Ia mencuri karena faktor narkotika dan rekan-rekannya sesama preman dan geng. Barang yang dicuri, juga tersimpan rapi, seperti di rumah, di tempat penitipan seperti bank, atau mencuri account, membobol ATM, dan modus lainnya.
Saat ini banyak pencuri yang jauh lebih mengerikan. Mereka tidak mengambil uang dengan kisaran sebesar 350 ribu, namun jutaan, milyaran bahkan trilyunan rupiah. Mereka adalah para pejabat korup yang semestinya dapat hidup berkecukupan dari gaji bulanan.
Namun karena sikap tamak dan jiwa materialistisnya, gaji besar serasa kecil. Itulah akibat sikap tamak dan upaya untuk menumpuk harta dengan hidup bermewah-mewah. Mereka ini adalah para pejabat yang untuk meraih kekuasaan, dilakukan dengan cara yang tidak baik.
Dia mengeluarkan hingga milyaran rupiah, sehingga ketika menjadi pegawai pemerintahan, yang dipikirkan oleh dirinya adalah upaya untuk mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. Tidak ada jalan lain bagi mereka selain mencuri dan merampok uang negara.
Jika dibandingkan dengan batas minimal pencurian yang hanya sekadar 350 ribu, maka sesungguhnya mereka sudah tidak layak lagi menyandang gelar pencuri. Mereka tidak masuk orang yang hukumannya dipotong tangannya. Mereka adalah para perampok uang rakyat.
Dalam Islam, perampok, hukumannya sangat berat, yaitu dibunuh dan disalib dengan dipotong tangan dan kakinya. Hal itu, karena mereka telah melanggar amanah, mengkhianati rakyat dan negara. Dengan prilaku korup ini, jutaan masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Hukuman perampok sebagaimana firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Maidah: 33)
Di negeri ini, terlalu banyak para perampok uang negara. Ratusan kepada daerah banyak yang terjaring KPK. Sayangnya, hukuman yang dijatuhkan kepada mereka, rasanya tidak setimpal. Akibatnya korupsi tetap menjadi budaya dan profesi menggiurkan.
Barangkali, korupsi yang menjadi momok masyarakat akan berkurang jika mereka mendapatkan hukuman mati dengan disalib. Orang akan berfikir seribu kali untuk mengambil harta negara, apalagi sampai jumlahnya trilyunan rupiah. Kapankah hukuman mati bagi par koruptor dapat diterapkan di negeri ini?
(Syarah Akoid Doel Iman, Karanganipun Kijai Ahmad Dahlan Pembangoen Moehammadijah, Kawedalaken dening: R Haiban Hadjid, saking idinipoen H. Siradj Dahlan)
Di tulis oleh: Ustaz Wahyudi Abdurrahim