Setelah melihat berita di media massa itu, lalu satu-persatu pesan masuk ke grup yang salah satu penulis ikuti. Pesan singkat tersebut mengabarkan, Melihat muncul berita wafatnya tokoh bangsa yang menyuarakan kebenaran pluralisme dan kebhinekaan tersebut, membuatku tak berkata-kata, lalu terkejut kaget seolah-olah tak percaya sang Guru Bangsa tersebut memang betul wafat berpulang ke Rahmatullah.
”Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat, tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15, di RS PKU Muhammadiyah Gamping,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangan tertulis, Jumat.
Haedar juga berharap Buya Syafii meninggal dalam kondisi husnul khatimah dan diampuni segala kesalahannya.
”Semoga beliau husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan di kuburnya, dan ditempatkan di jannatun na’im. Mohon dimaafkan kesalahan beliau dan doa dari semuanya. Pemakaman dan lain-lain, informasinya menyusul,” ujar Haedar.
Penulis yang masih belia, dengan semangat belajar yang sangat tinggi, memperdalam wacana ilmu pengetahuan dan meningkatkan wawasan intelektual dan interaksi sosial karena berjumpa dengan dunia baru, lingkungan baru dan kawan-kawan baru membuatku ingin membaca karya-karya Tokoh Bangsa, baik buku-buku karya nya, artikel di media massa maupun dialektika di ruang publik. Untuk terus mengetahui subtansi ilmu, dan mengikuti forum diskusi ketika menginjakan kaki di universitas.
Ketika masuk ke gerbang universitas itulah, membuatku bebas mengembara mencari ilmu, perpustakaan kampus, perpustakaan kota dan toko-toko buku pun dikunjungi demi untuk mengatasi rasa haus akan ilmu pengetahuan dan dahaga wawasan kemasyarakatan.
Dalam proses menimba ilmu, mencari referensi dan forum diskusi bahkan keluar masuk perpustakaan kampus, perpustakaan kota, dan seterusnya. Penulis bisa mengakses fasilitas yang tersedia, membaca majalah mingguan, melahap berita dan artikel di koran bahkan membaca jurnal-jurnal berkualitas terbaru. Namun, dalam proses tersebut penulis merasa ikut tergelitik, terinspirasi dan resah gelisah karena membaca artikel yang terbit di kolom pojok, bagian atas sebelah kanan, itu adalah rubrik resonansi salah satu buat penulis tetap Republika. Penulis tetap rubrik resonansi itu adalah Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Sejak membaca artikel-artikel di rubrik kolom resonansi itulah yang membuat penulis tertarik untuk mencari, membaca dan mendalami buku-buku karya dan pemikiran Ahmad Syafi’i Ma’arif. Seiring waktu, pengetahuan penulis tentang beliau baik dari dimensi biografi, karya-karya dan pemikiran beliau semakin jelas dan luas terkait kiprah beliau dalam kontribusi pemikiran, menyuarakan kebenaran dan keadilan bahkan menjaga kesatuan kebhinekaan dalam konteks masyarakat dan negara.
Biografi singkat Buya Syafi’i
Ahmad Syafii Maarif, kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, pada 31 Mei 1935, adalah dosen FPIPS IKIP Yogyakarta. Pernah mengajar di IAIN Sunan Kalijaga (tingkat S1 dan Pasca Sarjana), Universitas Islam Indo nesia (tingkat S1), Universitas Sebelas Maret Surakarta (tingkat S2), dosen tamu di Universitas IOWA (1986), dosen kontrak di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1992), dosen tamu di Institute of Islamic Studies, Uni versitas McGill, Kanada, 1993-1994. Pendidikan menengahnya ditempuh di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau dan Yogyakarta, kemudian melanjutkan ke Universitas Cokroaminoto Surakarta sampai sarjana muda (1964). Tamat FKIS IKIP Yogyakarta (1968), belajar sejarah di Universitas Illinois Utara (1973), dan mendapatkan gelar M.A. dalam ilmu sejarah dari Universitas Ohio, Amerika Serikat (1980). Gelar Ph.D. dalam bidang pemikiran Islam diperolehnya dari Universitas Chicago (1983) di bawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman (alm.). Mulai belajar menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di atas setengah abad, pada berbagai media-massa: surat kabar, majalah, dan jurnal. Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh LP3ES, Pustaka Salman, Salahuddin Press, dan IAIN Sunan Kalijaga Press. Dalam organisasi kemasyarakatan, pernah aktif di HMI, GPII, dan Muhammadiyah. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 terpilih sebagai salah seorang anggota PP Muhammadiyah periode 1990-1995 dan diangkat sebagai bendahara, kemudian sekretaris organisasi Islam terbesar itu. Perhatiannya terhadap ilmu terutama terpusat pada lima bidang: agama, filsafat, sejarah, politik, dan kebudayaan.
Karya-karya
Beberapa buku yang beliau tulis adalah Peta Bumi Intelektualitas Islam di Indonesia, Pergumulan Islam dan Politik, Al-Qur’an dan realitas umat, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, mencari autentisitas dalam dinamika zaman, menerobos kemelut refleksi cendekiawan Muslim, memoar anak kampung, dan titik-titik Kisar perjalanan hidupku.
Karya tulis yang pernah dipublikasikan antara lain ialah Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975), Dinamika Islam (Shalahuddin Press, 1984), Islam, Mengapa Tidak? (Shalahuddin Press, 1984), Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Shalahuddin Press, 1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (LP3ES, 1985), Islam dan Politik (IRCISOD, 2018), dan Membumikan Islam (IRCISOD, 2019).
Karya-karya diatas inilah yang membuat penulis untuk terus-menerus membaca, menggali dan meneliti buah pemikiran nya agar bisa memetik subtansi gagasannya sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan. Jadi, dari sekian hasil karya dan artikel beliau. Yang membuat penulis tersihir adalah ketika membaca artikel nya tersebut yang berjudul Agama dan Ketulusan. Artikel tersebut bagus dan relevan karena merefleksi gejolak sosial dana agama yang dikelilingi aksi terorisme, radikalisme, ekstrimisme dan sebagainya. Karena itu, penulis penting menampilkan kembali artikel tersebut sebagai refleksi bersama dalam ekspresi kita beragama dan menghormati buah pemikiran seorang tokoh Muhammadiyah, cendekiawan Muslim dan Guru Bangsa yang peduli kondisi masyarakat Indonesia ini.
Agama dan Ketulusan
Mengapa agama atau agama-agama perlu membicarakan ketulusan? Apakah ketulusan itu? Dapatkah hubungan antara para pemeluk agama berlangsung dengan baik dan aman tanpa ketulusan? Inilah beberapa pertanyaan kunci, di samping kemungkinan munculnya pertanyaan lain yang relevan.
Pengertian Ketulusan dan Implikasinya
Ketulusan berasal dari akar kata tulus, berarti kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Biasanya juga digandeng dengan kata ikhlas sehingga menjadi tulus ikhlas yang artinya suci hati, jujur. Perkataan ikhlas berasal dari Bahasa Arab dengan akar kata kb/sh, yang berarti murni, suci, tidak bercampur, bebas. Ikhlasé (Arab) berarti pengabdian yang tulus (sincere devotion), ketulusan, kejujuran.
Perkataan sincere (Latin: sincerar) berarti suci bersih, dipercaya, bebas dari tipuan dan kepura-puraan, jujur, tulen, murni, dan terus terang’. Menurut Al-Qur’an, para nabi dan rasul adalah mereka yang tulus ikhlas, bebas dari segala macam penyakit busuk hati, berpura-pura, dan segala penyakit yang dapat meruntuhkan bangunan fitrah manusia. Begitu juga semua pemeluk agama diperintahkan Tuhan untuk berhati tulus dalam memahami dan menjalankan agama masing-masing. Tanpa ketulusan, agama tidak mempunyai makna apa-apa di hadapan Tuhan, menyebabkan akan menyesatkan orang banyak dan diri sendiri. Tampaknya hampir tidak ada peradaban umat manusia yang tidak mengenal arti ketulusan dengan pema haman yang relatif sama. Agama kemudian mempertegas dan mentransendenkan makna kandungan perkataan ketulusan itu.
Seorang yang tulus bila memberikan sesuatu kepada orang lain tidak berharap balasan apa pun kecuali rida Allah, bukan rida manusia. Dalam bahasa Al Qur’an, “Sesungguhnya kami memberimu makan semata-mata karena keridaan Allah; tidak lah kami berharap balasan apa-apa darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.” Sikap iman semacam ini tentu juga dimiliki oleh agama-agama lain selain Islam, karena pemberian tanpa pamrih boleh jadi sepenuhnya berasal dari doktrin Langit, meski setelah sampai di bumi sering mengalami distorsi karena kenisbian dan kelemahan manusia. Pemberian tanpa pamrih adalah bentuk ketulusan sejati.(Ahmad Syafi’i Ma’arif Agama dan Tantangan Ketulusan, Hlm 21).
Ketulusan sejati sulit dijumpai dalam peradaban modern yang sekuler, jika bukan ateistis. Namun, agama jelas tidak akan menyerah pada tantangan duniawi ini. Dalam tradisi monoteisme Ibrahim, Islam adalah yang termuda setelah yudaisme dan Kristen. Oleh sebab itu, kami harus belajar sebanyak-banyaknya kepada pengalaman “agama kakak” dalam menghadapi serbuan sekularisme ateistis itu.
Saudara kandung ketulusan adalah kejujuran (honesty, truthfulness). Semua agama mengajarkan kejujuran, meski penganutnya belum tentu jujur. Kejujuran adalah buah iman yang tulus. Ia adalah persoalan hati, bukan kerja kalkulasi otak. Dalam pengalaman sehari-hari tidak jarang dijumpai teman yang tidak seagama, tetapi kontak hati dirasakan sangat dekat. Mengapa? Karena di sana ada ketulusan dan kejujuran. Perbedaan iman tidak menjadi penghalang untuk bertautnya dua hati anak manusia itu. Kalau demikian, ketulusan itu memang “barang” mahal.
Dalam pengalaman sejarah modern Indonesia pernah dicatat persahabatan yang erat dan produktif antara tokoh-tokoh Masyumi dengan pemimpin-pemimpin Katolik, Protestan, dan pemimpin agama lain. Masih segar dalam memori kolektif kita betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan L.J. Kasimo, Herman Johannes, A.M. Tambunan, atau J. Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya. Bahkan, Kasimo bersama-sama tokoh Masyumi dan PSI mencoba melawan sistem politik autoritarian Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965/66), sekalipun pada akhirnya kandas. Barangkali di samping fondasi persahabatan yang tulus, ada faktor lain yang semakin memperkuat mereka, yaitu sama-sama memiliki idealisme dan integritas pribadi. Mereka semua adalah moralis sejati yang pernah lahir dari rahim bangsa ini. Me mang J. Leimena akhirnya terkooptasi oleh Soekarno, tetapi itu tidak mengurangi hormat umat Islam kepadanya.
Memori-memori manis seperti itu semakin menghilang di kalangan generasi berikutnya sejak sekitar tiga dekade yang lalu oleh berbagai kemungkinan. Hal itu dikarenakan, pertama, generasi berikutnya tidak mengalami revolusi kemerdekaan yang telah berhasil membangun persahabatan generasi Natsir-Kasimo-Johannes dan yang lainnya. Memang kemudian ada Gerakan ’66, tetapi tampaknya integritas pribadi para pemimpinnya tidaklah sekokoh generasi sebelumnya. Kedua, godaan politik memang lebih dahsyat pada era pasca-Natsir-Kasimo-Johannes sehingga ketulusan seseorang sering terkontaminasi oleh godaan itu. Ketiga, isu Kristenisasi pada masa Orde Baru telah semakin menyuburkan rasa saling curiga antara pemeluk Islam dan Kristen terutama.(hlm 23).
Rasa saling curiga di atas sudah tentu tidak boleh dibiarkan berlanjut, sebab akibatnya dapat meremukkan tubuh dan jiwa bangsa ini. Apa yang terjadi di Maluku dengan korban jiwa dan harta seharusnya menyadarkan kita semua untuk saling mengoreksi diri sehingga apa yang sering disebut provokator tidak dengan mudah merusak persaudaraan antara kita yang telah terbina sekian lama. Di sana, pada mulanya pemicu bentrok bukanlah masalah agama, tetapi masalah sosial-ekonomi dan etnis. Akan tetapi, untuk menggalang solidaritas dan memancing emosi, agama diperalat untuk tujuan-tujuan yang tidak sehat. Agama yang disalahgunakan bisa berakibat sangat destruktif dan mengerikan. Orang akan dengan mudah saling membunuh atas nama Tuhan. Fenomena ini tidak saja terjadi antara pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga terjadi di kalangan intern pemeluk agama yang sama. Dengan begitu, situasinya menjadi tidak sederhana. Jika keadaan semacam ini yang berlaku, maka ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi yang autentik dari iman sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa adalah bisikan setan yang men jerumuskan
Agama: Sebuah Keperluan Perenial?
Untuk lebih menggambarkan posisi agama sebagai sumber doktrin ketulusan, di samping sumber kultur, ada baiknya saya ulas beberapa butir hasil renungan A.J. Toynbee (1889-1975) mengenai fungsi agama di abad teknologi ini. Pemikir sejarah dari Inggris ini adalah seorang Kristen pengagum Mahatma Gandhi. Dia menulis sepanjang 30 halaman untuk menjawab pertanyaan sentral di atas mengenai apakah agama merupakan keperluan perenial.? Untuk lebih memudahkan teknik pemberian jawaban, dia mengajukan beberapa anak pertanyaan dalam rangka menguatkan posisi agama sebagai sebuah keperluan abadi bagi manusia Anak pertanyaan itu antara lain berbunyi: Mengapa kita berada di sini? Untuk pa kia ada di sini?
Apakah hidup itu sebuah rahmat atau kutukan? Menurut Toynbee, agama merupakan satu usaha untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendesak itu, sebab ilmu dan filsafat tidak mungkin memberikan jawaban tuntas. “Agama,” katanya, “adalah sebuah ikhtiar mencari jalan bagaimana mendamaikan diri kita dengan fakta-fakta yang dahsyat tentang hidup dan mati.” Yang memprihatinkan sejarawan Inggris ini adalah kenyataan bahwa betapa sulitnya mencari homo sapiens (manusia si bijak, si arif) dalam peradaban modern. “Sedikit sekali,” kata Toynbee, “kita menunjukkan kearifan dalam mengontrol diri kita dan dalam mengatur hubungan satu sama lain. Sekiranya kita berhasil hidup dalam revolusi teknologi ini, barulah kita menjadi bomo sapiens dalam hakikat dan nama.” Hlm 24.
Bila kita hubungkan konsep Toynbee tentang homo sapiens yang bermakna si bijak itu dengan pembicaraan kita tentang agama dan ketulusan, kita melihat sebuah benang merah yang jelas. Ketulusan adalah sifat dasar yang menyatu dengan watak bomo sapiens yang didefinisikan sebagai si bijak itu. Si bijak yang curang adalah si bijak yang palsu. Begitu juga seseorang yang memperdagangkan agama atas nama Tuhan adalah orang yang sedang main api dan mengingkari konsep ketulusan. Agama tidak dapat diperjualbelikan. Sekali diperdagangkan, agama itu telah jatuh menjadi benda duniawi yang tidak ada harganya. Dalam posisi ini agama bukan lagi sebagai suatu kebutuhan perenial. Itulah sebabnya Toynbee memakai ungkapan higher religions untuk agama-agama yang berorientasi ke Langit dan lower religions untuk agama-agama yang melekat dengan bumi. Nasionalisme bagi Toynbee adalah bagian dari lower religions yang sering memicu konflik antarnegara.”
Kita kembali kepada masalah hubungan antar atau inter pemeluk agama. Dalam pengamatan saya, tidak jarang di antara umat beragama lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. Yang penting jumlah besar, sekalipun kualitas medioker. Maka, tidaklah mengherankan apabila sementara orang berpikir untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Jika perlu, penduduk bumi ini digiring semua agar beriman seperti mereka, Sikap arogan dan intoleran semacam ini dikritik keras oleh Al-Qur’an dalam kalimat berikut, “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di muka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman?’!!
Ayat ini, dan masih ada yang lain, dengan tegas melarang orang melakukan paksaan, kasar atau halus, dalam agama. Dalam kalimat lain, pluralisme agama dan budaya sejak ribuan tahun yang lalu sudah merupakan fakta keras dalam sejarah, dan karena itu harus diakui, dihormati, dan disyukuri. Bila dilihat dalam perspektif yang lebih luas, fenomena itu telah memperkaya bangunan kemanusiaan univer sal. Akan tetapi, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan historis tentang pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya. Kalau pandangan sempit ini yang dominan dalam suatu masyarakat, maka agama bukan lagi sebagai rahmat, melainkan telah berubah menjadi kutuk dan doktrin pemaksa. Sistem etika yang lahir kemudian, sudah pasti adalah etika autoritarian yang memonopoli kebenaran. Kalau demikian, alangkah susahnya hidup ini! Tuhan telah menciptakan “keberbagaian”, tetapi sebagian manusia justru memilih serba uniformitas yang dapat mematikan ketulusan dan kejujuran.
Penutup
Persahabatan sejati hanyalah mungkin dibangun di atas fondasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran. Dalam kaitannya dengan masalah hubungan antara pemeluk agama, mungkin formula berikut dapat disepakati, “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan.” Di luar jalur formula ini, saya khawatir bahwa agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber ke damaian dan keamanan, tetapi malah menjadi sumber sengketa dan kekacauan, dan bahkan sumber peperangan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an memperingatkan, “Maka ambillah sinyal moral (dari pengalaman masa lampau), wahai orang yang punya penglihatan tajam!”.
12 ***
Catatan
1 Lih. J. S. Baidudu dan Sutan Mohammad Zam, Kamer Umum Bahasa Indonesia Jakarta Pustaka Sinat Harapan, 1994, hlm. 1547, lih. puga Sheikh Othman bin Sheikh Salim, et al., Kiwas Deaux (ed. Baru). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1986, hlm, 1400 LihJM.Cowan (ed.), The Hans Webr Dictionary of Modern Written Arabic Ithaca, New York: Spoken
2 Language Service, 1976, hlm. 254-255.
3 Lih David B. Guralnik (ed). Writer’s New World Dictionary. New York: The World Publishing Company, 1970, hlm. 692, lih juga R.E. Allen (ed), The Oogford Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, 1992, hlm. 700.
4 Lah misalnya Qs Shad: 46.
5 Lah. Misalnya Qs Al-Bayyinah: 5. Q. Al-Insan: 9.
7 Lih. AJToynbee, Suring the Fature New York & London: Oxford University Press, 1973, hlm 37-67. Buku ini adalah hasil dialog pengarang dengan pemikir Jepang Prof. Kei Wakazums slent Eniversitas Kyoto Sangyo MUHAM
8 lid, hlm, 38.
9 lid, him. 44
10 Id, him 58-67.
11 Q&. Yunus: 99.
12 Qs Al-Hasyr: 2.
*)Catatan Redaksi: Artikel diatas pernah diterbitkan dalam buku Agama dan Tantangan Ketulusan. Tulus Seperti Merpati, Cerdik Seperti Ular. hlm, 21-25. (Editor: B. Kieser). Artikel berjudul Agama dan Ketulusan. Oleh: Ahmad Syafi’i Ma’arif. Redaksi menerbitkan kembali untuk mengenang karya dan pemikirannya.