Penulis: Krisna Wahyu Yanuar*
وعن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: الدنيا متاع وخير متاعها المرأة الصالحة
رواه مسلم
Artinya:
“Dari Abdullah bin Amr RA bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan itu adalah wanita salihah.” (H.R. Muslim)
Kebanyakan dari umat muslim selalu membawa celah hadis ini, sebagai orientasi utama perihal kecocokan atau keutamaan mencari pasangan.
Padahal makna salehah ada banyak dimensi, yang tidak mungkin dimaknai secara tunggal. Seperti salehah, adalah yang cantik parasnya dan baik hatinya. Atau membuat standarisasi mencari wanita itu yang salehah, yang seperti mana seperti keinginan laki- laki dalam memandang perempuan sebagai tujuan yang ideal.
Pertanyaan salehah itu makna perempuan sebagai manusia atau perempuan sebagai alat kepuasan laki- laki?
Makna metafor dari perhiasan, bukanlah dikaitkan sebagai simbol keagamaan, bahwasanya yang salihah itu, pakai kerudung, pakai jubah, sering berwudu supaya pancaran wajah yang putih.
Bukan itu tetapi perhiasan dalam tanda kutip adalah makna;
ان الله جميل يحب الجمال
“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah mencintai keindahan”. Makna kata dari جميل menurut Kamus Bahasa Arab dapat diartikan sebagai baik atau elok. Tetapi baik yang mana, elok bagaimana?, terkadang menjadi jawaban subjektif. Penafsiran diatas adalah hal- hal yang terkait sakralitas keindahan.
Ada sisi teologis yang belum bisa dijawab, manusia saja kerap menggambarkan keindahan sebagai suatu sebab yang hadir sebagai visual eksistensial.
Padahal Makna baik atau elok, adalah ciptaan nya yang hadir sebagai realitas yang diakui keberadaan- Nya. (Ulfah: 2022)
Tetapi dalam realitas sosial yang terjadi kini kecantikan dan kesalehan hampir- hampir mirip maknanya.
Prinsip Searching Oriented kerap kali dijadikan patokan untuk memenuhi kebutuhan pasangan atau dirinya sendiri, Kesalehahan sama dengan shaleh, dalam prinsip beragama, yang mana ada saleh ritual, saleh sosial, saleh sosial media, saleh ekologis, dan saleh lainya.
Saleh dan salehah hanyalah perbedaan penyebutan subjek beragama yang mana (laki- laki) mudzakkar dan muannats (perempuan).
Dalam beragama keduanya sama memiliki peran sebagai manusia, tetapi terpisah dengan kodrat penciptaan masing- masing.
Tetapi hal yang terkait perempuan, selalu dicari untuk digenapi di dirinya, seperti cantik itu harus perawatan, make up, harus menentramkan hati pasangan, harus memberi kenyamanan pada pasangan, hal- hal yang berkaitan cantik secara tuntutan.
Padahal kecantikan itu beragam tafsirnya, tetapi yang paling harus disadari adalah perempuan lahir cantik secara fitrah, lahirnya sebagai manusia, cantik karena lingkungan sosial yang menuntutnya sebagai tindakan adaptasi, karena ia juga representasi dari ciptaan Allah. Kemanusiaanya (aqal, nurani, kodrat, hasrat) adalah simbol penghormatan.
Dari perspektif barat, kecantikan menurut Naomi Wolf, bahwa dalam kaitannya dengan feminitas dan seksualitas perempuan dalam periklanan, tubuh perempuan dibangun sesuai selera pasar, yang dalam hal ini pasar adalah kekuatan yang mendefinisikan apa itu seksualitas atau feminitas (termasuk kecantikan, bentuk tubuh, jenis rambut dan sebagainya) diterima atau tidak.
Perempuan akan bebas dari mitos kecantikan, bila ia dapat sadar kecantikan fisiologis hanyalah ekspresi dirinya terhadap ekspresi sosial. Kata Naomi Wolf, berdandan untuk kecantikan diri sendiri memang diperbolehkan, tetapi juga memperjuangkan hak- hak keadilan gender. (Wirasari: 2016: 151)
Kesalehan Sebagai Ajaran Moral Beragama
Kerudung, jubah, hal yang terkait fisik perempuan adalah simbol budaya yang berkembang, tetapi juga tidak terpungkiri, simbol budaya tersebut membentuk interaksi lingkungan yang terjadi.
Tetapi kita lupa akan esensi kesalihahan yakni selalu bermuhasabah dalam melakukan kebaikan sosial, kebaikan diri sendiri, kebaikan ritual. Mar’atus Sholihah, dalam hadist tersebut bukan merujuk segolongan atau kumpulan, tetapi merujuk individu sebagai pemantik kesadaran kolektif.
Kemudian makna perhiasan diatas bukan sebagai alat untuk menghiasi posisi laki- laki, tetapi dari makna keindahan tadi proses dialektika juga termasuk keindahan, tetapi perhiasan adalah upaya untuk saling melengkapi, dalam Al-Baqarah Ayat 187, Allah berfirman
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Artinya:
Mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu (laki- laki), dan kamu pun (laki- laki) adalah pakaian bagi mereka (perempuan). (QS: Al- Baqarah: 187)
Posisi Mar’atus Sholihah bukan mendukung kalangan tertentu, tetapi bagaimana prinsip beragama setara dengan prinsip- prinsip berkemanusiaan.
Karena tidak diliputi jika beragama, kita pasti saling melihat, merawat, mendidik lingkungan sekitar, semisal ada tetangga yang non muslim, maka seyogyanya kita tetap berbuat baik atas dasar sama manusianya, juga ketika melihat wanita malam jangan langsung sebagai justifikasi, justru anggap sebagai teman yang mana, ia juga mengajari kita banyak arti- arti berkehidupan.
Untuk perihal menjaga aurat dikembalikan pada diri sendiri, kalau pepatah jawa mengatakan “Ajining diri soko lati, Ajining rogo soko busono”, kemudian penulis tidak berani membahas bila mana aurat selalu di identikan ketidak salihahan personal.
Semua merujuk kepada individu masing- masing bagaimana ia beragama dan berkemanusiaan di lingkungan sosial. Dimana, simbol keagamaan selalu terikat dengan interaksi konstruk sosial yang ada pada masyarakat. (Zulfikar: 2019)
Semoga bermanfaat, Sekian dari saya ada kurang lebihnya saya mohon maaf. Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwa Min Thariq
Wassalamualaikum wr wb.
*) Santri Pusat Kajian Filsafat & Teologi Tulungagung
Referensi:
Ulfah Hafizah. 2022. “Analisis Semantik Makna Kata Jamilah dalam Al-Qur’an”, Tanwir.id: https://tanwir.id/analisis-semantik-makna-kata-jamilah-dalam-al-quran/
Wirasari Ira. 2016. “KAJIAN KECANTIKAN KAUM PEREMPUAN DALAM IKLAN”, Jurnal demandia, Vol. 01 No. 02, hlm 151.
Zulfikar Fachrezy. 2019. “Inilah Filosofi Jawa yang Mengajarkan Bertutur dan Berpenampilan Baik”, Goodnews: Form Indonesia: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/06/14/inilah-filosofi-jawa-yang-mengajarkan-bertutur-dan-berpenampilan-baik
Suparyani, Murdianto. 2021. “KARAKTERISTIK WANITA salihah DALAM TAFSIR ath-THABARI (Kajian tafsir surat an-Nisa ayat 34 dan al-Ahzab ayat 33)” , Jurnal Al- Karima, Vol 5 No 2. Hlm 30- 38.