Penulis: Laily Munawaroh*
Dalam dunia filsafat, rasionalisme dan empirisme sering kali dianggap sebagai dua pandangan yang berlawanan. Namun, keduanya sebenarnya saling melengkapi dan sangat penting untuk mencapai pemahaman yang lengkap tentang dunia. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana menemukan keseimbangan antara rasionalisme dan empirisme yang dapat membantu kita memahami dunia dan mengambil keputusan yang lebih baik. Rasionalisme memberikan pemikiran kuat, sedangkan empirisme memberikan pengalaman yang konkret. Dalam kombinasi, keduanya dapat memberikan pemahaman yang lebih lengkap tentang dunia.
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata dengan akal. (Panji Syahid rahman, “Kumpulan Makalah Filsafat Ilmu,” 2018, 9.)
Perintis awal aliran rasionalisme ialah Heraclitus, yang meyakini akal melebihi pancaindera sebagai sumber ilmu. Menurut beliau akal manusia boleh berhubung dengan akal ketuhanan yang memancarkan sinaran cahaya tuhan dalam diri manusia. Kemudian pada zaman pertengahan rasionalisme Yunani berkembang di tangan tokoh-tokoh Socrates, Plato dan Aristoteles. Rasionalisme mencapai zaman kepuncaknya pada zaman Aristoteles yang berusaha menangkis serangan pemikiran aliran Sufastho‟iyyun yang menyebarkan pegangan bahwa”Sesuatu perkara itu adalah dianggap baik bila manusia mengira ia adalah baik ”dengan kata lain” Manusia adalah kayu pengukur segala perkara”. Hasil dari pengaruh tersebut, Aristoteles telah memperkenalkan rasionalis dengan menyusun kaedah ilmu logika secara sistematik dalam karyanya yang terkenal yaitu Organaon.Kemudian dilanjutkan oleh salah satu tokoh filosuf Modern ialah Rene Descartes (1596-1650), dikenal sebagai “bapak filsafat modern”.(Muhammad Bakar Akkase Teng, “Rasionalis dan Rasionalisme dalam Perspektif Sejarah,” (Jurnal Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2016). Vol. 4, 17.)
Sedangkan empirisme adalah faham yang beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih harus bersumber dari pengalaman (empeiri). Menurut empirisme pengetahuan tidak diperoleh secara apriori (mendahului pengalaman), melainkan secara aposteriori (melalui pengalaman). (Budi Hardiman,” Pemikiran-pemikiran yang membentuk dunia modern” (Jakarta: Erlangga, 2011), 55.)
Empirisme juga telah berkembang sejak masa Yunani kuno dengan tokoh-tokoh seperti Aristoteles. Pada abad ke-17, tokoh seperti Francis Bacon dan John Locke memperkenalkan bentuk-bentuk baru dari empirisme. Empirisme terus berkembang dan mempengaruhi filsafat dan ilmu pengetahuan hingga saat ini. (Sutan Takdir Alisjahbans, “Epistemologi:sebuah pengantar ” (pustaka jaya, 2014).
Keseimbangan anatara rasionalisme dan empirisme penting dalam filsafat kedua teori ini saling melengkapi dan diperlukan untuk mencapai pemahaman yang lengkap. Dalam kehidupan sehari-hari,kita dapat menerapkan keseimbangan ini dengan menggunakan rasionalisme(akal) untuk memahami pengalaman kita dan menggunakan empirisme(pengalaman) kita untuk memperkuat keyakinan kita.
Pandangan Kant terhadap sumber pengetahuan menyeimbangkan antara rasionalisme dan empirisme. Ia meyakini bahwa cita-cita pencerahan dapat tercapai melalui keseimbangan antara rasionalisme dan empirisme dalam hal kebebasan, kemajuan dan kesetaraan. Kant kemudian menyeimbangkan keduanya melalui sintesis terhadap unsur pengenalan pengetahuan. Ia menyatakan bahwa bahan-bahan pengetahuan yang diterima oleh akal berasal dari bukti empiris yang meliputi indra dan pengalaman. Kant mensintesikan unsur apriori pada rasionalisme dengan unsur aposteriori pada empirisme. Ia meyakini bahwa unsur apriori diperlukan oleh segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera. Unsur apriori ini harus ada sebelum pengalaman terjadi. Ia memberikan permisalan pada kondisi elemen bentuk, ruang dan waktu yang menyusun benda dalam pengamatan manusia. Ketiga elemen ini telah ada lebih dahulu di dalam akal manusia sebelum adanya pengamatan dan pengalaman. Apriori dalam pendapat Kant mengarahkan objek pengamatan menuju ke akal. Melalui pandangan ini, Kant menganggap belajar sebagai suatu substansi yang bersifat spiritual. (Herianto dan Marsigit, “Benang merahpemikiran kritik akal budi immanuel kant,” (Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta), 5)
Contoh penerapan keseimbangan antara rasionalisme dan empirisme adalah ketika kita menggunakan akal dan pemikiran rasional untuk memilih konten yang kita tonton dan bagaimana kita meresponsnya. Namun, kita juga perlu mengandalkan pengalaman dan data empiris untuk menilai apakah konten tersebut memiliki dampak positif atau negatif pada diri kita dan lingkungan sekitar. Dalam kombinasi, keduanya dapat membantu kita menemukan keseimbangan dalam penggunaan aplikasi Tiktok dan membuat keputusan yang tepat. Contoh lain dari keseimbangan antara rasionalisme dan empirisme dalam dunia politik. Kita menggunakan akal dan pemikiran rasional untuk memilih pemimpin yang terbaik, tetapi kita juga perlu mengandalkan pengalaman dan data empiris untuk melihat rekam jejak calon pemimpin tersebut. Dalam kombinasi, keduanya dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijaksana dan memilih pemimpin yang tepat untuk masa depan kita.
Oleh sebab itu, kita dapat menekankan bahwa meskipun rasionalisme dan empirisme memiliki perbedaan, keduanya dapat saling melengkapi dan membantu kita untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dunia ini. Kita dapat menggunakan rasionalisme untuk memahami konsep-konsep yang kompleks dan abstrak, sedangkan empirisme dapat membantu kita mengamati dan menguji hipotesis dalam kehidupan nyata.
*) Prodi: Ilmu Hadist E3, Sem 1 Matkul Orientasi Filsafat
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Bakar Akkase Teng, “Rasionalis dan Rasionalisme dalam Perspektif Sejarah,” (Jurnal Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2016). Vol. 4, 17
Budi Hardiman,” Pemikiran-pemikiran yang membentuk dunia modern” (Jakarta: Erlangga, 2011), 55.
Herianto dan Marsigit, “Benang merahpemikiran kritik akal budi immanuel kant,” (Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta), 5
Syahid rahman, Panji. “Kumpulan Makalah Ilmu Filsafat,”(UIN Alauddin Makassar, 2018), 9
Takdir Alisjahbans “Epistemologi:sebuah pengantar”. (Pustaka jaya, 2014),