Hakikatnya, bentuk sebuah atau tujuan keadilan adalah mengajarkan tentang bagaimana kesetaraan dikonfigurasikan dalam bernegara. Keadilan bisa dipahami juga sebagai tindakan yang dilakukan secara ekuilibrium (keseimbangan) tanpa ada memihak dua belah pihak. Tentunya, kedua pihak ini termasuk dari bagian perbedaan agama, karena tidak memandang basic agama tetapi memandang kesataraan manusia.
Al-Asfahani mengatakan bahwa adl (عدل) diartikan sebagai bentuk kesataraan (samawah), menempatkan sesuatu pada tempatnya (taqsit), dan keseimbangan (mauzun/mizan). Padangan ini juga diikuti oleh Prof. Quraish Shihab, keadilan seringkali menggunakan tiga term, pertama adalah qistun (قسط) yang bermakna berperilaku sesuai dengan seharusnya atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kedua, menggunakan redaksi adl (عدل) yang mengarah pada ketidakberpihakan, dan ketiga menggunakan term mizan (میزان) yang berarti seimbang.
Kita tahu, dalam al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang mewakili dan dianggap sudah memadai terkait kewajiban untuk berlaku adil, di antaranya: QS. Al-Maidah [5]: 8, QS. Al-Nisa’ [4]: 105, dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 8. Misalnya, berbuat adil tidak hanya sesama muslim, melainkan spektrumnya untuk seluruh umat manusia. Dalam al-Qur’an surah Al-Nisa’ [4]: 105 Allah Swt. berfirman:
اِنَّاۤ اَنْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَـقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَاۤ اَرٰٮكَ اللّٰهُ ۗ وَلَا تَكُنْ لِّـلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa’ [4]: 105).
Secara historis, ayat ini merupakan teguran Allah kepada Nabi Muhammad dalam peristiwa pencurian yang dilakukan oleh Tu’mah bin Ubairik dari golongan muslim yang menuduh oknum Yahudi sebagai pelakunya. Setelah terjadi perdebatan antara kedua kelompok, beberapa keluarga Tu’mah mendatangi
Rasulullah dalam rangka melakukan konsipirasi dan persengkokolan untuk memberikan tuduhan pencurian kepada orang Yahudi.
Rasulullah hampir saja membenarkan tuduhan Tu’mah dan keluarganya. Maka, kemudian turunlah ayat ini sebagai bentuk berbuat adil sesama manusia tanpa memihak agama manapun. Dari histori ini mendapatkan satu informasi, berbuat adil kepada semua manusia tanpa dibeda-beda dengan primordial. Sikap seperti ini menjadi tangungjawab seorang pemimpin dalam berbuat adil.
Perlu ditegaskan kembali, bahwa semua agama secara fundamen mengajarkan nilai-nilai perdamaian, keadilan, kebebasan, dan persatuan. Di ayat yang lain, Allah Swt. menegaskan bahwa berbuat adil merupakan tanggungjawab untuk dilakukan. Sebagaimana di dalam al-Qur’an surah Al-Nisa’ [4]: 58 Allah Swt. berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰۤى اَهْلِهَا ۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’ [4]:58).
Demikian juga, menurut al-Tabari, secara historis ayat ini turun kepada walah al-umur (pemimpin) baik itu imam, ulil amri maupun sultan. Dalam riwayat lain, ayat ini turun kepada Nabi Muhammad tentang siapa yang berhak mendapatkan jabatan pemegang kunci Ka’bah.
Memang, secara historis, ayat ini tergolong waqa’i al-ayat (konteks ayat), sehingga yang dibicarakan adalah konteks khusus. Konteks ini hanya membicarakan tentang wilayah kepemimpinan, baik itu dengan menggunakan istilah ulil amri, imam, maupun sultan. Bahkan, Nabi Muhammad merupakan pemimpin pertama dalam Islam juga dikategorikan sebagai walah al-umur.
Namun demikian, secara teks, ayat ini tidak membicarakan jangkauan secara khusus. Tidak ditemukan terma secara khusus mengenai tentang imam, sultan, ulil amri maupun Nabi Muhammad Saw. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ayat ini bisa dikategorikan sebagai bi umum alfadz.
Dalam kasus ini, terjadi kontradiksi dalam mengimplementasikan ayat. Apakah berlaku hanya khusus mengenai kepimpinan, atau berlaku umum untuk semua umat manusia. Hal yan diperlukan dalam mengenai ibrah ini adalah dengan menggunakan al-ibrah bi maqasidiha, dengan cara mendahulukan jangkauan yang lebih maslahat. Inilah yang dikehendaki oleh pemikir seperti Jasser Auda ketika mengubah paradigma jangkauan maqasidi.
Dengan begitu, ayat ini berlaku kepada jangkuan umum yang lebih universal (maqasid al-am) yang berlaku kepada seluruh manusia. Hanya saja, pikiran histori mengenai kepemimpinan menjadi pihak pertama dan utama dalam melakukan keadilan. Sebab, pemimpin memikul amanat yang lain dan lebih banyak mengambil keputusan tinimbang orang yang tidak memiliki jabatan pemimpin. Wallahu a’lam bisshawab.