Siapakah kita ini? Apakah kita ini hadir atau dihadirkan di bumi ini? Umumnya, bagi mereka yang memeluk agama dari Timur Tengah sudah pasti menjawab bahwa Tuhanlah yang akan menghadirkan diri kita di bumi ini.
Sedangkan bagi mereka yang berasal dari daratan India, Cina, Jepang, dan kawasan Asia Timur lainnya, pasti yakin bahwa manusia hadir kerena kemauannya sendiri, dan karena adanya hukum sebab-akibat. Kita tak perlu mempermasalahkan siapa yang benar. Tetapi, kalau kita mencermati al-Qur’an, Islam tidak menempatkan dirinya di titik ekstrem.
Islam senantiasa menempatkan diri pada jalan tengah. Artinya apa? Kehadiran kita di bumi ini sebagai wujud Kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Inilah konsep Islam tentang hubungan antara abid dan ma’bud. Hubungan antara hamba dan Tuhan. Kalau kita memperhatikan surah Al-Kahf [18]: 29, di situ di sebutkan bahwa manusia bebas memilih hidup beriman atau kafir.
Dari sini sudah jelas bahwa, beriman atau kafir itu diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Tuhan tidak menghalangi. Semua pilihan tentunya ada konsekuensinya. Ini bisa berupa imbalan atau balasan. Apabila yang dikerjakan berupa hal yang positif, maka imbalannya pun juga positif.
Demikian, bila tindakan berupa negatif, maka maka hasilnya juga negatif. Buah senantiasa lebih banyak dari benihnya. Maka, benih kebaikan akan memberikan pahala yang berlipat ganda. Benih kejahatan akan memberikan siksa berlipat ganda.
Berkafir itu mudah. Kita tidak mau menerima petunjuk, sudah kafir namanya. Kita tidak memihak yang sudah kafir namanya. Menolak kebaikan itu kafir. Jadi, bertindak kafir itu gampang sekali. Dalam sudut pandang fisika, kekafiran itu melepaskan energi. Itu sifat alam. Sifat fana.
Secara alamiah, semua benda menuju ke kehancurannya. Lho, kalau tidak ingin hancur, maka harus ada suplai energi kedalamnya. Kita tak perlu jauh-jauh membayangkannya. Cukup dengan melihat diri kita ini. Tanpa makan dan minum kita akan mati. Mengapa? Karena setiap saat energi kita lepas dari tubuh kita.
Banyak hal yang membuat energi yang tersimpan didalam tubuh ini lepas. Misalnya, metabolisme tubuh ini memerlukan energi. Dari mana energi yang kita perlukan itu? Ya, ini tentu dari makanan yang sudah di olah menjadi energi siap pakai. Artinya, energi yang sudah siap itu harus dilepaskan dari gudangnya untuk metabolisme. Tidur pun melepaskan energi. Kalau tak ada pasokan energi, ya berhentilah metabolisme tubuh kita ini. Tubuh menjadi jenazah.
Apabila kafir itu mudah, lain halnya dengan iman. Beriman itu sukar. Ini tidak menakut-nakuti. Ini kenyataan. Beriman itu membutuhkan energi yang amat besar. Dalam bahasa al-Qur’an, beriman itu harus di perjuangkan dengan memberdayakan akal-pikiran. Beriman tidak sama dengan percaya. Bahwa dalam iman ada unsur kepercayaan itu benar adanya. Untuk itu, kita perlu mengultivasi energi. Dan, untuk itu kita memerlukan pertolongan dari Tuhan.
Dalam surah Al-Insan [76]: 29-30 dinyatakan “Sesungguhnya ayat-ayat itu merupakan pelajaran, maka siapa yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, tentu dia akan mengambil jalan kepada Tuhannya.” “Dan kamu tidak mampu menempuh jalan itu kecuali Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Mari kita perhatikan dua ayat itu. Pertama, semua tanda di alam semesta adalah pelajaran bagi manusia. Artinya, kalau manusia ingin mempertahankan eksistensi dirinya, ingin memperoleh hidup yang sebenarnya, maka manusia harus mengambil pelajaran di alam ini. Ia harus memahami peringatan di alam ini. Ia harus dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat Tuhan yang di tebar di alam raya ini.
Orang Jawa bilang, bahwa segala keadaan dan perilaku alam harus diteteni. Tanda-tanda alam harus di pelajari, dan di ingat, keadaan yang bagaimana yang merupakan berkah bagi kehidupan, dan yang bagaimana pula yang dapat mendatangkan kecelakaan dalam hidup ini. Menebang hutan tanpa perhitungan, misalnya, jelas akan menimbulkan bencana. Yaitu, berupa banjir, tanah longsor, kekerasan, dan petaka lainnya.
Kedua, bagi yang menghendaki kebaikan bagi dirinya, dia harus menempuh jalan menuju Tuhan. Jalan iman, bukan jalan kafir. Ingat, iman dan kafir di sini tak ada hubungannya dengan pengakuan agama seseorang. Iman dan kafir yang dimaksud disini adalah sikap hidup dan perilaku.
Karena itu dalam ayat tersebut tidak dikatakan “barang siapa yang ingin menghendaki kebaikan dirinya, maka ia harus memeluk agama Islam.” Dus, harus ada usaha. Yaitu, menempuh jalan menuju Tuhan. Dalam berbagai ayat, menempuh jalan menuju Tuhan itu, disebut dengan ungkapan “beriman dan amal shaleh.”
Ketiga, dan seseorang tidak akan menempuh jalan tersebut, kecuali Allah juga menghendaki. Nah, ternyata untuk hidup beriman dan beramal shaleh itu ada kaitannya dengan kehendak Tuhan. Lain halnya dengan kekafiran.
Tanpa repot-repot berusaha menjadi kafir, otomatis dapat menjadi kafir. Memang, beberapa ayat al-Qur’an menyebut “inna allaha yudhillu man yasya.” Ayat ini biasanya di terjemahkan “sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.”
Terjemahan diatas jelas bertentangan dengan kebebasan beriman dan kafir. Dan, terjemahan tersebut juga bertentangan dengan pernyataan Tuhan sendiri dalam al-Qur’an, bahwa Allah tidak mendholimi sedikit pun, melainkan manusia sendiri yang mendholimi dirinya sendiri.
Mengapa sampai terjadi terjemahan yang saling bertentangan? Karena, penerjemahan itu tidak merujuk kepada ayat-ayat lain yang menyatakan ada sebab mengapa Allah membiarkan tersesat berdasarkan kehendak-Nya. Misalnya, pada QS. Al-Baqarah: 26 disebutkan bahwa Allah membiarkan sesat orang-orang yang fasik. Jadi, jelas bahwa karena kefasikannya itu maka Allah membiarkannya tersesat.
Pada QS. Al-Mu’min [40]: 34 dinyatakan bahwa Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. Perhatikan alasannya. Ternyata penyesatan Allah itu berlaku bagi mereka yang melampaui batas dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu akan dibiarkan tersesat oleh Allah.
Melampui batas itu sendiri sudah tersesat. Hidup berfasik itu tersesat. Jadi, yang ada dalam struktur sastranya adalah Allah menyesatkan orang-orang yang memang sudah tersesat. Membiarkan sesat mereka yang memang memilih jalan kesesatan.
Lain kan dengan beriman dan beramal shaleh. Iman dan amal shaleh itu membutuhkan tenaga untuk mewujudkannya. Perlu energi. Ya, energi di perlukan untuk menghasilkan energi yang sangat besar. Energi yang mengekalkan eksistensi manusia.
Dalam bahasa al-Qur’an, orang-orang yang benar-benar beriman dan beramal shaleh, akan diberi kehidupan surgawi. Untuk mendapatkan energi yang dapat digunakan untuk membangun iman dan amal shaleh, kita harus minta pertolongan dari Tuhan. Mengapa? Karena, sesungguhnya tiada daya dan kekuatan kecuali pada Dia semata. Dus, memberdayakan diri tak bisa lepas dari Tuhan. Wallahu a’lam bisshawab.