Penulis: Maysha Diana Sari*
Kedisiplinan, juga dikenal sebagai “disiplin,” yang berasal dari kata “ketaatan” atau “aturan” dalam bahasa. Istilah “disiplin” di Indonesia sering dikaitkan dengan peraturan dan perundang-undangan.
Ketertiban adalah ketika seseorang tunduk pada aturan atau peraturan karena didorong atau dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Adanya kesadaran dan keinginan dalam diri sendiri menghasilkan ketaatan dan disiplin (Natanael Saragih, 2023: 9).
Karakter baik pada peserta didik perlu diupayakan dan direncanakan. Hasil akan dipengaruhi oleh kesiapan orang tua dalam mengajar kedisiplinan. Dalam Islam, kedisiplinan sangat penting, bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu tujuan utama pendidikan Islam.
Kedisiplinan sangat berpengaruh pada seberapa baik siswa berprestasi di sekolah. Terdapat lima nilai utama karakter prioritas yang menjadi target pendidikan nasional, yaitu religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong-royong.
Karakter-karakter yang lebih kecil mewakili semua nilai utama karakter ini. Kedisiplinan adalah sifat yang akan mendukung nilai nasionalis. Kedisiplinan juga akan mempengaruhi sifat profesional sebagai bagian dari nilai mandiri dan integritas, serta sifat komitmen sebagai bagian dari nilai integritas (Nesia Andriana, dkk, 2021: 468).
Ketaatan adalah hal yang secara umum diharapkan di berbagai tempat sebagaimana semestinya, Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz berkata; Nabi Muhammad SAW mengirim utusan ke kampung Kaum Anshar pada siang hari ‘Asyura (untuk menyampaikan):
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَليَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
“Bahwa siapa yang tidak berpuasa sejak pagi hari maka dia harus menggantinya pada hari yang lain, dan siapa yang sudah berpuasa sejak pagi hari maka hendaklah dia melanjutkan puasanya”. Dia (Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz) berkata; “Setelah itu kami selalu berpuasa dan kami juga mendidik anak-anak kecil kami untuk berpuasa dan kami sediakan untuk mereka semacam alat permainan terbuat dari bulu domba, apabila seorang dari mereka ada yang menangis meminta makan maka kami beri dia permainan itu. Demikianlah terus kami lakukan hingga tiba waktu berbuka.”
Hadis di atas menunjukkan adanya indikator sikap taat sebagai hasil internalisasi karakter disiplin dalam diri para sahabat RA. Meski bukan Rasulullah SAW yang datang langsung dan tidak memberikan pengawasan yang ketat, para sahabat RA melaksanakan perintah untuk menahan lapar, haus, dan unsur-unsur puasa lainnya, yang menunjukkan sikap taat dalam hadis di atas.
Lebih dari itu, mereka mengajarkan ketaatan kepada anak-anak mereka dengan cara yang kreatif. Karena salah satu perintah dasar syariat Islam adalah mendidik sesama manusia, mendidik anak ini juga merupakan bagian dari ketaatan (Nesia Andriana,dkk, 2021: 472).
Dua sumber ajaran Islam adalah Alqur’an dan hadis yang memberikan pedoman hidup bagi umat Islam. Keduanya mengajarkan prinsip-prinsip dan tata aturan kehidupan yang harus dijalani oleh umatnya.
Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablum min Allah), ajaran Alqur’an dan hadis juga mengatur hubungan antara manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas).
Alqur’an, yang merupakan wahyu, kalam, atau firman Allah, mengandung ajaran yang dapat digunakan sebagai pedoman dan tuntunan untuk kehidupan manusia dan seluruh alam. Ajarannya berlaku sepanjang masa, sejak diturunkan hingga akhir zaman.
Hadis, di sisi lain, adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW termasuk ucapan, perbuatan, dan penetapan, juga dikenal sebagai “raqrir”. Hadis, atau al-tabyin, adalah sumber penjelasan kedua yang paling penting setelah Alqur’an (Muhammad Nasir, 2021: 1).
Sebagai dasar pendidikan agama Islam, pembelajaran Alqur’an dan hadis bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi karakter dan kepribadian peserta didik. Namun, pelajaran Alqur’an dan hadis secara signifikan membantu peserta didik mempraktikkan nilai-nilai keyakinan kegaamaan dan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya dua landasan hukum Islam adalah Alqur’an dan hadis. (Zulkipli Nasution, 2020: 271).
Muhammad Nasir (2021: 7) dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan (tarbiyah) berarti menjaga dan memelihara fitrah anak sampai mereka dewasa atau baligh, mengembangkan semua potensi dan bakat anak sesuai kekhasan masing-masing, dan mengarahkan semua potensi dan bakat anak untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Proses di atas harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan konsep dan tindakan al-Baidawi dan al-Raghib.
Dalam bukunya Nuroh, dkk (2024), menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan belajar siswa di sekolah antara lain adalah:
Anak
Untuk memastikan kedisiplinan di lingkungan keluarga berjalan dengan baik, kerjasama antara semua anggota keluarga di rumah sangat diharapkan. Diinginkan juga kesadaran dari anak itu sendiri dalam usaha membangun kedisiplinan.
Hukuman
Hukuman adalah salah satu cara untuk memengaruhi tingkah laku seseorang. Jika anak tersebut melakukan kesalahan atau perilaku buruk tanpa teguran dari orang tua, maka hal itu bisa menjadi kebiasaan buruk bagi anak tersebut.
Alam
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dan tak kalah penting dalam menentukan kedisiplinan. Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Jika lingkungan baik, hal tersebut akan mempengaruhi tindakan yang baik dan positif, begitu juga sebaliknya.
Dalam konteks pendidikan, tiga entitas tersebut menurut saya keterlibatan dalam proses pembelajaran sekolah, keluarga, dan masyarakat menunjukkan peran yang signifikan dalam pembentukan karakter siswa.
Kerjasama, bantuan timbal-balik, dan kolaborasi aktif diantara ketiganya diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Dengan ini, siswa dapat membangun solidaritas, empati, kedekatan, dan contoh teladan di luar ruang kelas, serta memiliki sikap anti-diskriminasi dan mengembangkan lingkungan belajar yang dinamis.
Proses ini juga memungkinkan siswa untuk meningkatkan kemampuan mereka bersama teman sejawatnya, menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan efektif.
Dengan demikian, siswa dapat dengan percaya diri mengungkapkan pendapat dan kesulitan mereka, memfasilitasi perkembangan optimal mereka dalam berbagai aspek kehidupan.
Pemerintah, sekolah, orang tua, keluarga, serta masyarakat setempat seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap masalah pendidikan.
Karena salah satu faktor pendukung motivasi belajar siswa adalah peran guru yang mencerminkan sifat profesionalnya sebagai pendidik mendukung motivasi belajar siswa, sedangkan peran guru yang mengabaikan kesulitan yang dialami siswa selama proses pembelajaran adalah penghambat.
Referensi:
Muhammad Nasir, 2021. Model Pembelajaran Al-Qur’an Hadis di Sekolah dan Madrasah. Depok. PT Rajagrafindo Persada.
Natanael Saragih, 2023. Penerapan Peraturan Sekolah Untuk Membangun Disiplin Siswa di SMP N 5 Pematang Siantar. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Vol. 4 (1). Hlm. 8-13.
Nesia Andriana,dkk, 2021. Indikator sikap karakter disiplin siswa berbasis hadis-hadis Bukhari dan hierarkinya menurut Wali Kelas SDIT di Jakarta. Ta’dibuna. Vol. 10 (3). Hlm. 467-480.
Nuroh,dkk. 2024. Pendidikan dan Bahasa dalam Perspektif Hadis. Jakarta. Publica Indonesia Utama.
Zulkipli Nasution, 2020. Strategi Pembelajaran Quran Hadis Dalam Memaksimalkan Proses Pembelajaran Alquran Hadis. Jurnal Pendidikan dan Keislaman. Vol. III (2). Hlm. 269-280.
*) Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Pontianak.
Editor: Adis Setiawan