I. Marah dalam
Alqur’an
Marah dalam Alqur’an disebutkan dalam beberapa ayat diantaranya
adalah QS. Al-Imran ayat 134 :
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Arab-Latin: Allażīna yunfiqụna
fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa wal-‘āfīna ‘anin-nās, wallāhu yuḥibbul-muḥsinīn.
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ar-Raghib Al-Ashfahani (wafat 502 H)
dalam bukunya “ Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an (Kamus Al-Qur’an ;
Penjelasan Asing Dalam Al-Qur’an ) jilid 2, hlm 861” menyebutkan bahwa
kemarahan/marah dalam Al-Qur’an disebut dengan dua istilah الغضب (Al-Ghadhub) yaitu
ledakan darah dalam hati untuk membalas dendam, oleh karena itu Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam bersabda : I’ttaqul ghdhuba fainnahu jamratun’ tuwqadufi
qalbi ibbni adama alam taraw ilan’ tifakhi awadajihi wajihi wahumrati
a’ynaiyhi : Jauhilah olehmu
kemarahan karena merupakan bara api yang ada dalam hati manusia, tidaklah kamu
melihat bagimana urat orang marah membengkak dan matanya merah.
Istilah
ke dua dalam Al-Qur’an menurut Al-Asfahani yaitu الغیظ ( Al-Ghaizh)
yaitu kemarahan yang meledak-ledak dibandingkan dengan الغضب (Al-Ghadub). Imam
Mustafa Al-Maraghi (wafat 1945 M) dalam Tafsir Qur’an Al-Maraghi jilid 3,
hlm. 106, menyatakan bahwa Al-Ghaizh adalah perasaan sakit yang menimpa
jiwa seseorang akibat hak-haknya
direnggut baik dalam bentuk materi seperti harta benda ataupun berbentuk
maknawi, seperti kehormatan dan prestisinya, sehingga hal tersebut membuatnya
terkejut dan mendorongnya untuk melampiaskan dendamnya.
Dalam Al-Qur’an Surah
Al-Imran ayat 134 kita diperintahkan menjadi hamba Allah yang senantiasa وَٱلْكَٰظِمِينَ
ٱلْغَيْظَ ( wal kazhiminynalghayzh) yaitu menahan
kemarahan dengan cara وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ (wal
a’fiyna a’ninas) yaitu memafkan kesalahan yang berbuat salah pada kita.
Oleh karenanya perbedaan “Al-Ghadub” dengan “Al-Ghaizh” menurut
Imam Al-Qurtubi dalam kitabnya “Al Jami’ li Ahkamil Qur’an” yaitu Al-Ghadhub
yaitu melampiaskan kemarahannya dengan kata keji, tindakan kekerasan sementara Al-Ghaizh
itu kemarahan yang meledak-ledak tetapi ia dapat mengendalikannya.
II.Tingkatan Kemarahan Dalam Islam
Imam Abu Hamid Al-Ghazali (wafat 1111 M)
dalam kitabnya “Ihya Umumuddin jilid 5” membagi tingkatan kemarahan atas
tiga tingkatan :
a.
Tingkatan Tafrith (Kemarahan Yang Lemah)
Yaitu ada hal yang membuatnya marah dan
marahnya itu dibenarkan Islam tetapi ia tidak menunjukan kemarahannya, inilah
disebut kemarahan yang lemah (Tafrith) karena tidak memiliki sikap yang
tegas. Imam Syafi’i rahimahumullah berkata : “ Barang siapa yang
dibuat marah tetapi ia tidak marah maka ia keledai”. Imam Abu Hamid
Al-Ghazali berkata ; barangsiapa tidak mempunyai kekuatan marah dan
kesombongan sama sekali maka ia masuk dalam tingkatan Tafrith.
Allah mensifati para sahabat Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam dengan Q.S Al-Fath ayat 29 ; أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ (asyidda
a’ a’lalkufari ruhama’ baynahum) artinya Adalah keras terhadap orang-orang
kafir dan berkasih sayang sesama mereka”. Maksudnya adalah jika terjadi
kemungkaran ataupun penghinaan terhadap ajaran Islam dari musuh-musuh Islam
ataupun kaum munafiq, kita harus marah dan menyombongkan diri terhadap mereka
karena kita adalah umat terbaik yang diciptakan Allah (Q.S Al-Imran 110), jika
kita diam saja tidak mahu tahu karena takut sebab mereka memiliki kekuatan
ataupun kekuasaan, kekayaan maka hal itu bersikap seperti pengecut, sebagaimana
kata Imam Hasan bin Ali bin Abu Thalib yaitu arti nista dan pengecut adalah
takut pada musuh dan hanya berani pada yang lemah.
b.
Tingkatan Kemarahan I’tidal (Sedang)
Kemarahan sedang (I’tidal) merupakan
kemarahan yang dibenarkan dalam Islam karena terjadinya suatu peristiwa yang
merugikannya mengenai hal kedunian maupun akhirat. Namun kemarahan itu ia
sikapi dengan bijaksana, adil dan ia mampu mengendalikan emosinya. Rasulullah
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam-pun pernah marah. Bagaimana Rasulullah
ketika marah ditulis lengkap oleh Yusufan-Nabhani dalam kitabnya “ Wasail al
Wushul Ila Syamail al-Rasul”.
Sebagai contoh, Rasulullah pernah marah pada
Kaisar Kisra Kekaisaraan Persia yang mengeksekusi mati sahabat yang diutus Nabi
pada Kaisar Persia dan Kaisar Persia merobek surat Rasulullah yang isinya
mengajak Kaisar Persia masuk Islam. Rasulullah juga pernah marah pada Usamah
bin Zaid radiallahuanhu yang membunuh orang kafir yang mengatakan la
ilaha illallah.
Rasulullah juga marah ketika istrinya karena
membuli istrinya Ummul Mukminin Sayyidah Shafiyah binti Huyay radiallahu
anhu karena ia berdarah Yahudi. Rasulullah ketika marah, Nabi tetap
bersikap bijaksana, adil, tidak menggunakan kekerasan kecuali diserang secara
brutal, dan tidak pernah memukul istrinya karena marah, ketika beliau marah
pada seseorang tidak sengaja dilakukan dihadapan umum.
c.
Kemarahan Berlebihan (Tafrith)
Kemarahan berlebihan (Tafrith) yaitu
kemarahan yang meledak-ledak, sehingga tidak lagi bersikap bijaksana dan tidak
bersikap adil, kehilangan akal. Sikap Tafrith ini adakalanya memang
watak seseorang ataupun timbul karena kebiasaan. Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah
mengibaratkan kondisi seperti ini otaknya seperti gua, dimana api menyala
didalanya lalu udaranya menjadi hitam. Didalamnya ada lampu yang lemah lalu
sinarnya terhapus atau padam.
Kemarahan berlebihan (Tafrith) ini
dilampiaskan dengan caci maki, hinaan atau ucapan keji, fitnah, bahkan
kekerasan baik penganiayaan bahkan penghilangan nyawa orang lain. Sebagai contoh, kemarahan Qabil pada Habil
sehingga ia membunuh saudaranya karena kedengkian. Imam Abu Hamid Al-Ghazali
berkata : “ Jika orang yang marah melihatnya wajahnya di kaca maka ia akan
melihat kejelekan bentuknya sehingga kemarahannya akan hilang karena malu
kejelekan bentuknya yaitu kejelekan batiniah dan kejelekan lahiriahnya”.
III.Kemarahan Yang Halal dan Haram dalam Islam
Dalam Islam sifat kemarahan berasal dari nafs
(jiwa) yang dalam psikologi Al-Qur’an dibagi atas tiga bagian yaitu Nafs al-Amarrah dan Nafs Al-Lawamah
dan Nafs Al-Muthmainnah. Dr. Bahruddin dalam bukunya “Paradigma
Psikologi Islam (2004)” menyebutkan bahwa Nafs al Ammarah merupakan
sikap agresif mendoronguntuk memuaskan keinginan rendah, melakukan hal-hal yang
negatif. Jika seseorang cenderung pada an-nafs al-amarrah maka ia tidak
mampu mengendalikan kemarahannya (Tafrith).
Kemudian, seorang Muslim yang mencapai
tingakatan taqwa sesuai Q.S Al-Imran ayat 133 maka ketika ia menghadapi kondisi
yang mengaruskan marah maka ia menimbang-nimbang apakah tindakannya dari hasil
luapan kemarahan itu menimbulkan dosa karena berlebihan (tafrith) atukah
masih hal wajar (i’tidal).
Dalam posisi ini, orang tersebut berada dalam
nafsu lawwamah. Nafsu al-lawammah diartikan Ragib Al-Asfahani
(wafat 1108 M) dalam kitabnya “ Mu’jaum Mufradat Alfaz Al-Qur’an”
sebagai nafs (jiwa) yang telah menganjurkan untuk berbuat baik dan dia akan
mencela dirinya apa bila melakukan hal-hal yang tercela. Nafsu al-lawammah
terdapat dalam Q.S Asy-Syams 7-8 : “ Demi Jiwa serta penyempurnannya, maka
Allah telah mengilhamkan kepadanya jalan kebaikan dan keburukan”.
Tingkatan nafs selanjutnya dalam Al-Qur’an yaitu
Nafs Al-muthamainnah yang menjadi tingkatan tertinggi setelah melewati
fase nasf lawammah. Allah berfirman dalam Q.S Ar-Ra’ad ayat 28 : ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم
بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُArab-Latin: Allażīna āmanụ wa taṭma`innu qulụbuhum
biżikrillāh, alā biżikrillāhi taṭma`innul-qulụb.Artinya: (yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Ar-Ragib al-Asfahani mengartikan Nafsu Al-Muthmainnah
berasal dari kata “tamana” yang artinya tentram, ketika “tamana”
dengan berbagai bentuknya dihubungkan dengan kata qalb atau nafs
maka maknanya adalah jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan
jahat. Orang yang mencapai tingkatan nafs al-Muthmainnah maka jiwanya
tenang senantiasa mengingat Allah, ia akan bersikap pemaaf atas kesalahan orang
lain dan tidak mudah marah jika menyangkut urusan keduniawian. Di dalam jiwanya
hanya ada cinta dan kasih sayang bahkan terhadap musuh-musuhnya.
Sebagai contoh, Imam Ali Zainal Abidin bin
Ali bin Abu Thalib radiallahuanhu yang mampu mengendalikan luapan
kemarahannya pada Yazid bin Muawiyah pada saat terjadinya perahara politik
tragedi tanah Karbala di Kufah (Irak) ataupun sikap sikap Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam yang memafkan kesalahan Hindun binti Utbah radiallahuanhu
yang mengunyah jantung Sayydina Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud
yang ketika itu Hindun binti Utbah masih dalam keadaan kafir musyrik.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah
dalam kitab Ihya Ulumuddin Jilid 5 berkata bahwa ; “ Barangsiapa yang
kuat Tauhidnya sehinga mengetahui segala sesuatu semuanya di tangan Allah, maka
ia tidak marah kepada seseorang dari mahluk-Nya. Karena ia mengerti bahwa
mereka tunduk dalam genggaman kekuasaan-Nya seperti pena di tangan penulis”.
Rasulullah pernah marah hingga kedua pipinya
memerah sehingga Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Wahai Allah ! Aku adalah
manusia yang marah seperti manusia lain marah. Maka siapa saja seorang Muslim
yang aku caci maki atau kukutuk atau kupukul, maka jadikanlah itu daripadaku
sebagai shalat atasnya, zakat dan pendekatan yang mendekatkan dirinya kepada-Mu
pada hari qiamat” (H.R Mutafaqun Alaih).
Imam Abu Hamid Al-Ghazali rahimahumullah
berkata : “ Kemarahan akan hilang ketika meyibukan hati dengan hal yang
lebih penting atau karena pandangan Tauhidnya kuat atau karena ia memahami
bahwa Allah menyukai dirinya ketika ia tidak marah, karena cintanya kepada
Allah, mampu memadamkan kemarahannya”. Sebab kemarahan adalah sombong,
bangga diri dan merasa lebih tinggi serta panas hati.
Imam Al Ghazali menyatakan : “ Seyogyanya
kamu mematikan kemegahan dengan tawadhu (merendahkan diri) dan kamu mematikan
kebangaanmu dengan mengenal dirimu bahwa kamu sama-sama berasal dari satu ayah
yatu Nabi Adam alaihisalam”.
IV. Kemarahan Yang Wajib dan Haram Serta
Diharamkan
Dari segi hukum (syariah) maka kemarahan pada
jiwa seseorang dikategorikan atas kemarahan yang wajib dan haram serta
diharamkan. Kemarahan yang hukumnya wajib ialah kemarahan yang timbul karena
adanya peristiwa buruk yang dilakukan seseorang yang berkaitan dengan agama
Islam. Misalnya, ketika Novelis terkenal di dunia dari Inggris bernama Salman
Rushdi menulis novel The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan) yang menghina
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka semua umat Muslim wajib
marah atas tindakannya.
Sayidah Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam tidak
marah berkaitan dunia tetapi ia marah jika agama Islam diganggu terlebih dahulu
oleh kaum kafir dan munafiq. Atau contoh lain, ketika terjadi kemaksiatan dan
kemungkaran maka sebagai Muslim hukumnya wajib marah tetapi marahnya bukan pada
pelakunya tetapi perilakunya. Bagaimana kita harus meluapkan kemarahan kita
jika terjadi hal tersebut ?.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam
bersebada : Jika terjadi suatu kemungkaran maka cegahlah dengan tanganmu,
jika tidak mampu cegahlah dengan lisanmu dan jika tidak mampu juga maka
kutuklah perbuatannya dengan hatimu karena itu selemah-lemahnya iman.
Mencegah kemungkaran dengan tangan merupakan tugas pemerintah atau pemimpin
yang memiliki kekuasan, mencegah kemungkaran dengan lisan adalah tugas para
Ulama dan ahli ilmu dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah tingkatan
masyarakat biasa yang tidak memiliki otoritas kekuatan.
Adapun kemarahan yang haram yaitu kemarahan
yang berlebihan sehingga timbul caci makian, kekerasan, fitnah. Selanjutnya,
kemarahan yang diharamkan yaitu kemarahan yang sebab dan akibatnya karena ia
tersinggung atas kebenaran atau fakta ataupun teguran karena kesalahannya, ia
merasa hebat sehingga merasa tidak membutuhkan nasihat orang lain padahal
nasihat itu baik dan benar.Imam Syafi’i berkata : Jika kamu mengemukakan kebenaran akan ada 2 reaksi berbeda. Pertama, yang bodoh akan marah dan kedua, yang cerdas akam merenungi dan menerima nasihat itu. Karena sangat sulit meyakinkan lalat bahwa bunga lebih indah dibanding sampah. Sebagai contoh, ketika mengemudikan kendaraan roda
dua/empat, ia melanggar aturan lalu lintas jalan dengan melawan arah, berhenti
sembarangan, berbelok tidak memberikan tanda-tanda, tidak memiliki surat izin mengemudi
tetapi ketika ia diingatkan oleh orang lain untuk mematahui hukum, ia marah dan
tersinggung. Inilah kemarahan yang diharamkan.
V. Metode dalam Islam Menahan Kemarahan
Malik bin Aus bin Al-Hadtsar berkata :
Saydina Umar bin Khattab radiallahuanhu marah kepada seorang laki-laki
dan ia menyuruh memukulnya !.Maka saya berkata:“Hai Amirulmukminin ! Jadilah
kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh
(Q.S Al-A’raf 199)”. Maka Saydina Umar bin Khattab berkata :“Jadilah
kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah
daripada orang-orang bodoh (Q.S Al-A’raf 199)”. Saydina Umar menahan kemarahannya dan melepaskan
laki-laki itu.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali berkata bahwa ;
Allah Ta’ala berfirman pada kitab-kitab terdahulu “ Hai anak Adam ! ingatlah
kepada-Ku ketika kamu marah niscaya aku ingat kepadamu ketika Aku marah, maka
Aku tidak akan membinasakanmu di antara orang-orang yang Aku binasakan”.
Adapun cara menahan kemarahan dalam Islam :
a) Membaca Doa Perlindungan Kepada
Allah Dan Mengambil Air Wudhu
Ketika luapan
kemarahan tidak terbendung maka berdoalah memohon kepada Allah agar dijauhkan dari
gangguan seytan terkutuk. Doa Ta’awudz : Audzubilahiminas saythanirajim (Aku
berlindung kepada Allah dari gangguan setan terkutuk). Selain itu Imam Abu
Hamid Al-Ghazali berkata : “Kalau kemarahan tidak hilang maka hendaklah ia
wudhu atau mandi!” Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam : “
Sesungguhnya kemarahan adalah bara api yang menyala dalam hati” (H.R Imam
Tirmidzi).
b)
Cintailah Musuhmu !
Mencintai musuh maksudnya adalah bahwa kita harus
menerima keniscayaan mengampuni
orang-orang yang menimbulkan kejahatan dan luka pada diri kita. Mencintai
musuh juga dapat diartikan tidak membalasnya atas kejahatannya dengan dendam
ataupun tindakan yang tercela tetapi tetapberbuat kebaikan dan menyebarkan
kasih sayang ataupun belas kasih. Filsuf China bernama Laozi dalam bukunya “Daodejing”
menyatakan : “ penahluk musuh terbaik adalah dia yang tidak pernah
mendahului menyerang, orang yang mendapatkan hasil maksimal dari orang lain
adalah yang memperlakukan mereka dengan kerendahan hati”.
c)
Berindak Harus Disadari dan Dijiwai
Bertindak haruslah disadari dan kesadaran
harus dijiwai ! jika kita akan ingin meluapkan kemarahan maka harus bertindak
dengan penuh kesadaran dalam jiwanya akibat ataupun dampak positif dan
negatifnya pada dirinya dan orang lain. Jangan sampai berniat meluapkan
kemarahan berujung menjerat leher sendiri (merugikan diri sendiri).
VI. Kesimpulan
Kemarahan dalam Al-Qur’an disebut
dengan istilah Al-Ghadub dan Al-Ghaiz. Al-Qur’an surah Al-Imran
ayat 133-134 memerintahkan kita untuk mencapai tingkatan taqwa dengan cara
mengendalikan kemarahan dan menjadi pribadi yang pemaaf serta berbuat kebaikan.
Dalam Islam ada tiga tingkatan kemarahan yaitu tingkatan kemarahan sedang,
kemarahan berlebihan dan kemarahan yang lemah. Kita diperintahkan oleh Allah
menahan kemarahan yang berlebihan agar kita mencapai nafs al-muthmainanah
(jiwa yang tenang).