Imam Murtadha Muthathari lahir di Fariman, Khurasan tanggal 02 Februari 1919 dan wafat di Teheran 20 Mei 1979. Ia merupakan seorang ulama dan filsuf terkemuka Islam kontemporer berkebangsaan Iran yang mampu memadukan dua sisi pemikiran Islam yang sering dianggap saling bertentangan yaitu tradisionalisme dan rasionalisme dalam kemasan yang baik.
Imam Murthada Muthahari, Gambar : aktual.com
Syahid Murtadha Muthathari mencerminkan sosok ulama yang intelektual dan intelektual yang ulama. Kekuataan analisisnya dan penguasaannya yang mendalam terhadap berbagai bidang ilmu agama dan filsafat Islam dan Barat membuat kajian-kajiannya menghadapi persoalan yang dihadapi kaum muslimin dalam abad modern sangat mengikat semua lapisan masyarakat.
Manusia Jumud dan Manusia Jahil Menurut Imam Murtadha Muthathari
Manusia bukanlah satu-satunya hidup bermasyarakat. Banyak jenis hewan yang hidup secara sosial. Manusia berbeda dengan kehidupan sosial hewan yang tak berubah-ubah sepanjang zaman. Kehidupan sosial manusia selalu berubah-ubah dan mengalami transformasi. Rahasia kedudukan manusia sebagai makhluk paling mulia terletak disini.
Manusia adalah putra alam yang diciptakan dengan kemampuan tidak membutuhkan bimbingan dan perlindungan langsung dari alam dan tidak pula membutuhkan kekuatan misterius yang bernama instik atau naluri. Manusia hidup dengan intelektualnya.
Manusia telah diberi status untuk memikul amanat yang dapat dipikul langit, bumi dan gunung. Dengan kata lain, manusia diberi hak untuk hidup secara independen dan menerima tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dan hukum.
Dengan ini maka manusia tidak bisa kebal dari pelanggaran, kebodohan, egoisme dan kezaliman. Al-Qur’an menyebutkan kemampuan manusia untuk memikul amanat dan tanggung jawab, ia juga menyatakan dalam satu nafs bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan pelanggaran dan juga bodoh dan buruk.
Salah satu khas manusia ialah kecenderungannya untuk berbuat ekstrem. Seorang manusia yang mempunyai pandangan moderat akan berusaha untuk memisahkan perubahan yang baik dan buruk. Ia akan berusaha untuk bergerak maju bersama waktu dengan kekuatan pengetahuan, inisiatif, usaha dan kerja kerasnnya. Ia akan berusaha menyesuaikan dirinya dengan manifestasi-manifestasi kemajuan zamannya dan pada saat yang sama, berusaha pula menghentikan arah yang keliru dari perkembangan zamannya dan menolak untuk menyesuaikan diri dan kekeliruan-kekeliruan tersebut.
Sayangnya keadaan tidak selalu seperti itu. Ada dua penyakit berbahaya yang selalu mengancam manusia dalam hubungan ini yakni penyakit jumud dan konvensionalisme dan penyakit Naif serta ketidakstabilan. Akibat penyakit yang pertama adalah kemandekan serta menjauhi kemajuan dan perkembangan sedang akibat penyakit yang kedua adalah terpeleset dan salah arah.
Seseorang yang memiliki sikap konvensional dan kaku membenci segala sesuatu yang baru dan tidak mau menerima selain yang lama, si Naif yang tidak stabil menganggap segala sesuatu yang baru sebagai halal dengan menamakannya tuntutan zaman atau modernitas dan kemajuan. Seseorang jumud memandang segala sesuatu yang baru sebagai yang merusak dan menyeleweng, si Naif memandang segala sesuatu yang baru sebagai peradaban dan manifestasi ilmu dan pengetahuan.
Seseorang yang jumud tidak dapat membedakan antara isi dan kulit antara alat dan tujuan. Bagi dia, agama mempunyai tanggung jawab untuk melindungi tradisi tradisi kuno. Dalam pandangannya, Alquran diwahyukan untuk tujuan menghentikan Jalannya waktu dan mempertahankan situasi dunia sebagaimana adanya. Dalam pandangannya, bacaan bagi yang terakhir dari Al-Qur’an ( juz amma), menggunakan kotak tradisional, mandi di kamar mandi tradisional, makan dengan tangan, dan memakai lampu minyak untuk penerangan, tidak berpendidikan, buta huruf harus telah dipelihara atau sebagai pelaksanaan ajaran agama.
Seseorang progresif yang naif sebaliknya ingin mengenalkan setiap mode dan ide yang berasal dari barat mengikutinya dan menyebutnya sebagai modernisasi dan tuntutan zaman. Seseorang yang konvensionalisme maupun sipogresif yang naik sama dalam anggapan bahwa setiap situasi yang ada pada masa lampau merupakan bagian dari perintah dan ritus agama. Bedanya komasi konvensionalis berkesimpulan bahwa ritus itu harus dipelihara dan dipertahankan, sedangkan si progresif menyimpulkan bahwa agama terikat erat dengan pemujaan atau masa lampau kecintaan pada ketetapan dan kemandekaan.
Para agamawan konservatif ingin membawa bentuk kehidupan material yang lahiriyah ke dalam pengaturan agama persis dengan yang telah mereka lakukan dalam masalah-masalah falsafah dengan memberikan warna religius kepadanya. Sinaif dan si jahil juga berpikir bahwa demikian itulah halnya dan membayangkan bahwa agama Memandang kehidupan material manusia sebagai memiliki bentuk dan pola tertentu. Dan apabila bentuk material kehidupan haus diubah sesuai dengan penilaian sains maka sains menyatakan bahwa agama sudah tidak berlaku lagi. Kejemukan kelompok pertama bersama-sama dengan kejahilian kelompok kedua menimbulkan pemikiran khayalan bahwa sains dan agama tidak dapat dipertemukan.
Islam Sebagai Agama Membawa Kemajuan
Islam adalah agama yang bergerak maju dan membawa kemajuan.Untuk mengingatkan kaum Muslimin bahwa mereka harus selalu berada dalam pertumbuhan, perkembangan dan evolusi tapi tetap dalam kerangka Islam, Al-Qur’an membandingkan umat Muhammad shalallahu alihi wasallam dengan benih yang disemaikan di bumi. Benih itu tumbuh dalam tunas yang kecil dan lemah, kemudian memperkuat dirinya dan tegak kokoh pada batangnya. Ia melalui tahap-tahap ini dengan kecepatan dan kekuatan yang demikian rupa sehingga para penanamnya tercengang dan gembira atasnya.
Ini merupakan contoh dan teladan bagi masyarakat yang dituju Islam. Perkembangan adalah salah satu dari tujuan-tujuan yang diarahkan Al-Qur’an. Will Durant mengatakan bahwa tidak ada satu agama pun yang telah menyuruh umatnya dengan kekuatan yang demikian besar sebagaimana Islam. Sejarah kedatangan Islam menunjukkan betapa kerasnya dan kuatnya Islam di dalam mengukuhkan suatu masyarakat baru dan membuatnya maju.
Islam menentang konservatisme yang beku maupun kenaikan yang jahil. Bahaya yang mengancam Islam datang dari kelompok yang pertama maupun yang kedua. Orang-orang konservatif yang berpikiran beku dan orang-orang yang menyatakan bahwa setiap hal yang lama adalah kepunyaan Islam padahal sebenarnya hal itu tidak ada hubungannya dengan Islam yang murni, telah memberikan dalih kepada orang-orang progresif yang naif untuk menganggap Islam bertentangan dengan perkembangan dalam pengertian yang sesungguhnya.
Islam datang memperbaiki kesalahan-kesalahan kelompok konservatif dan Naif. Mengikuti zaman bukanlah sesederhana bayangan orang-orang yang kurang pengetahuan seperti itu. Untuk membedakan antara kemajuan dan kesesatan, kita harus berusaha melihat dari sumber mana fenomena dan arus baru itu datang dan ke arah mana mengalirnya.
Sumber : Imam Murthada Muthahari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, Lentera