KeislamanPendidikan

Malakah Dalam Jiwa Manusia

3 Mins read

Kuliahalislam.Malakah merupakan sifat, kondisi atau kualitas mental yang tetap dan sudah merupakan bagian dari struktur jiwa baik yang berupa pembawaan maupun yang diupayakan. Contohnya, keterampilan berpidato merupakan Malakah bagi seorang orator. Sebagai lawan dari Malakah ialah Halah, ia itu kondisi peralihan mental yang terlintas hanya sebentar kemudian berubah kepada kondisi lain.

Asy-Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani (1340-1414), seorang dialog dan ahli leksikologi Arab, menyebutkan bahwa Malakah merupakan sifat yang tertanam di dalam jiwa secara mantap yang dapat menghasilkan suatu aktivitas dengan mudah. Aktivitas tersebut menimbulkan suatu kondisi mental tertentu.

Malakah merupakan objek pembahasan psikologi yang dulu merupakan bagian dari kajian filsafat. Dalam filsafat Islam, kajian Malakah dan kejiwaan pada umumnya terkait merupakan objek kajian ilmu akhlak. Keterkaitan itu terjadi karena akhlak merupakan hal yang dihasilkan oleh aktivitas kejiwaan dalam kaitannya dengan nilai baik dan buruk.

Abu Yusuf bin Ishaq al-Kindi (Kufah, 185 H/801 M-Baghdad,256 H/869 M), seorang ulama filsuf menyebutkan bahwa Malakah merupakan hasil terakhir dari aktivitas jiwa. Menurutnya, manusia mempunyai daya jiwa yang banyak tetapi secara garis besarnya ada dua daya yaitu daya indrawi (al-quwwah al-hissiyyah) dan daya alkali (al-quwwah al-‘aqliyyah).

Daya indrawih melalui panca indra menangkap bentuk-bentuk yang terdapat pada objek-objek indrawi, tetapi dia tidak mampu melalaikan bentuk-bentuk tersebut menjadi suatu pengertian. Daya yang telah lepas dari materi-materinya diterima oleh daya akali. Daya akali dapat membentuk suatu pengertian dari objek-objek yang telah dihindari dalam bentuk-bentuk yang abstrak.

Daya perantara antara daya indrawi dan daya alkali antara lain sebagai berikut. Pertama, Daya Membentuk (al-quwwah al-musawwirah), yaitu daya yang mempunyai bentuk-bentuk parsial dari sesuatu tanpa materi. Kedua, Daya Menyimpan (al-quwwah al-hafizah), yaitu daya yang menyimpan dan memelihara bentuk-bentuk yang disampaikan oleh daya bentuk.

Ketiga, Daya Marah (al-quwwah al gadabiyyah) yakni tenaga yang menggerakkan manusia untuk melakukan suatu tindakan yang benar pada waktu-waktu tertentu. Keempat, Daya Keinginan (al-quwwah asy-syahwaniyyah) yaitu daya yang mendorong manusia sewaktu-waktu untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsunya.

Melalui daya-daya perantara di atas, suatu objek materi yang telah di indra akan sampai kepada daya akali. Daya akali mampu mengetahui jenis dan macam segala sesuatu yang telah diindra secara global. Dia juga dapat mengetahui prinsip ilmu seperti tentang sebab akibat.

Menurut al-Kindi, daya akal ini ada empat bagian. Pertama, Akal Aktif yang identik dengan sebab pertama dalam konsep Aristoteles yakni Tuhan. Akal aktif bukan bagian dari jiwa tetapi merupakan sebab dari sesuatu yang terjadi di dalam jiwa.

Kedua, Akal Potensial yaitu jiwa yang berada di dalam keadaan potensial sebelum dia memikirkan suatu objek pemikiran (ma’qulat). Ketiga, Malakah atau Akal Aktual yaitu akal potensial yang telah memiliki dan menguasai suatu objek. Akan tetapi, hal demikian belum akan terjadi tanpa adanya sebab yaitu akal aktif.

Ketika akal aktif telah ada maka akal aktual mampu menguasai objek pemikiran dengan baik. Keempat, Akal Lahir, yaitu jika akal tadi telah menguasai Malakah dalam kenyataan. Contoh : menulis. Pengetahuan menulis yang tersimpan di dalam jiwa dan telah siap dioperasikan  merupakan suatu Malakah bagi jiwa.

Ibnu Sina (370 H/980 M-428 H/1037 M) menempatkan Malakah sebagai salah satu struktur jiwa dengan menyebutnya sebagai al-‘aql bi al-Malakah. Menurutnya, setiap tubuh mempunyai satu jiwa dan setiap jiwa memiliki beberapa bagian. Pertama, jiwa nabati (an nafs an-nabatiyyah) yang memiliki tiga daya yaitu daya makan (al-gaziyyah) yakni daya yang dapat menggantikan jasad yang telah rusak, daya menumbuhkan (al-muwalidah) yakni daya yang mengambil suatu bagian potensial dari tubuh dan mengembangkannya dalam bentuk tubuh lain.

Kedua, jiwa hewani (an nafs al-hayawaniyyah) mempunyai dua daya yaitu daya menggerakkan (al-quwwah al-muharrikah) benda yang menanggap (al quwwah al-mudrikah). Ketiga, jiwa insani (an nafs an natiqah) atau jiwa berpikir mempunyai dua daya yaitu daya praktis (al-‘amilah) yang berhubungan dengan tubuh dan daya teoritis (al-‘alimah atau an-nazariyyah) yang berhubungan dengan hal-hal abstrak.

Daya teoritis mempunyai dua tingkatan. Pertama, akal material (al-‘aql al-hayulani) yaitu akal yang mempunyai potensi untuk menerima objek pemikiran dan kedua, akal naluri (al-‘aql bi al-malakah) yaitu akal yang telah memiliki prinsip ilmu yang disebut al-ma’qulat al-ula. Contoh: prinsip kualitas yang telah siap menerima ilmu-ilmu lain yang diperoleh dari pengalaman.

Jika ilmu itu diperoleh dengan pemikiran maka orang yang disebut ahli pikir dan jika dengan jalan intuisi ia disebut Sufi (sahib al-hadis). Pada tingkat ini Malakah menjadi milik manusia. Jika Malakah ini dibawa sejak lahir ia disebut naluri (garizah) dan jika usaha disebut keterampilan dan ilmu pengetahuan.

Di atas tingkat al-‘aql bi al-malakah terdapat akal aktual yakni kemampuan memikirkan hal-hal abstrak dan akal mustafad yakni akal yang senantiasa sadar dan sanggup memikirkan hal-hal abstrak.

Malakah yang disebut Ibnu Sina dengan al-‘aql bi al-malakah merupakan salah satu bagian dari struktur jiwa manusia yang mampu mengetahui dan melaksanakan aktivitas dengan mudah tanpa memikirkannya lebih dahulu.

Imam Abu Hamid Al Ghazali juga menempatkan Malakah sebagai bagian dari struktur jiwa dan menyebutnya dengan al-‘aql bi al malakah. Menurutnya al-‘aql bi al malakah tercapai setelah manusia mengetahui beberapa pengetahuan dasar yang apriori.

Contoh : ketika anak mengetahui bahwa dua adalah lebih dari satu atau sesuatu yang bergerak berarti bukan diam. Pengetahuan yang demikian merupakan milik jiwa yang mudah diterapkan. Di bawah al-‘aql bi al-quwwah ( akal potensial) yang merupakan suatu daya jiwa yang mempunyai kapasitas untuk menerima hakikat sesuatu yang bebas dari materi.

Akal potensial disebut al-‘aql bi al malakah ketika dia telah menjadi objek dan digunakan secara praktis sehingga menjadi milik jiwa. Jiwa disebut al-‘aql bi al-fi’l ( akal aktif) bila akal potensial di aplikasikan pada pengetahuan teoritis sehingga dia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk rasional ketika dikehendaki.

Di atas tingkat akal terdapat al-‘aql al-mustafad yakni akal yang telah mengetahui hal-hal abstrak dan mampu berhubungan dengan al-‘aql al-fa’al yang menurut Imam Al Ghazali identik dengan malaikat Jibril.

 

113 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanKisah

Ruang Aman dari Allah: Narasi Kesembuhan Jiwa Nabi Musa

5 Mins read
Setiap manusia pasti memiliki luka batin yang mengendap di dalam dirinya. Luka di masa lalu, trauma yang selalu sama rasa sakitnya dari…
KeislamanSejarah

Ajaran Dan Gerakan Sekte Al-Karamiah

4 Mins read
Kuliahalislam.Karamiah (al-Karamiyah) merupakan sebuah golongan yang merupakan cabang atau sekte dari aliran teologi Murjiah. Pendirinya adalah Ashab bin Abdillah Muhammad bin Karam…
KeislamanNgaji Ihya’ Ulumuddin

Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Kisah-kisah Orang Pelit

3 Mins read
Dikatakan bahwa Muhammad bin Yahya bin Khalid bin Barmak adalah seorang yang sangat pelit (1 banding 10). Ia adalah pejabat besar dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights