Keislaman

Makna Ahlul Bayt dalam Tafsir Syiah dan Sunni

3 Mins read

Istilah Ahlul Bayt merupakan salah satu konsep penting dalam tradisi keilmuan Islam dan hingga kini tetap menjadi topik diskusi yang diperdebatkan, bahkan sering kali memunculkan perbedaan pandangan antara berbagai kelompok teologis. Perdebatan ini terutama muncul ketika membahas siapa yang sebenarnya termasuk dalam kategori Ahlul Bayt, apakah keluarga inti Nabi, istri-istri beliau, atau mencakup keduanya?

Untuk menjelaskan isu tersebut, penulis merujuk pada Surah Al-Ahzab ayat 33, yang dikenal sebagai ayat tathhīr atau ayat penyucian. Ayat ini menjadi dasar utama bagi diskusi tentang status dan kedudukan Ahlul Bayt dalam Islam.

Perbedaan penafsiran antara Syiah dan Sunni mengenai ayat tathhīr sangat dipengaruhi oleh latar belakang teologis masing-masing. Karena itu, mengkaji tafsir dari dua latar belakang yang berbeda seperti Tafsir al-Sāfī karya al-Kashani dari kalangan Syiah dan Tafsir al-Ṭabarī dari kalangan Sunni sangat membantu untuk memahami bagaimana konteks sejarah dan paradigma teologis memengaruhi hasil penafsiran.

Menurut Musholli (2017) dalam artikelnya “Ahlul Bayt Perspektif Syiah dan Sunni,” kalangan Syiah memahami ayat tathhīr sebagai ayat yang berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya maupun sesudahnya yang membahas tentang istri-istri Nabi. Dengan kata lain, ayat ini dipahami turun dengan konteks khusus yang tidak terkait dengan istri Nabi. Karena itu, Syiah menegaskan bahwa Ahlul Bayt dalam ayat ini tidak mencakup para istri Nabi, melainkan merujuk kepada figur-figur tertentu yang memiliki kedudukan spiritual khusus.

Sebaliknya, dalam tradisi Sunni, sebagaimana dikutip Musholli dari pendapat Ibn ‘Ashur, ayat tathhīr masih merupakan bagian dari rangkaian ayat tentang istri-istri Nabi. Karena itu, dalam pemahaman Sunni, istri-istri Nabi termasuk dalam kategori Ahlul Bayt berdasarkan konteks kebahasaan dan susunan ayat. Meski demikian, melalui rujukan hadis-hadis tentang Ahl al-Kisā’ (kelompok selimut), Sunni tetap memasukkan Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain sebagai bagian dari Ahlul Bayt. Dengan demikian, definisi Sunni lebih inklusif dan mencakup dua kelompok tersebut.

Baca...  Perbedaan Penafsiran QS. Al Maidah Ayat 44 Perspektif Syiah dan Khawarij

Penafsiran Syiah dapat dilihat secara jelas dalam Tafsir al-Sāfī karya al-Kashani (Juz 6, hlm. 41–43). Al-Kashani menegaskan bahwa ayat tathhīr khusus ditujukan kepada lima tokoh suci yaitu Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husain. Kelima tokoh ini dikenal sebagai Ahl al-Kisā’, berdasarkan hadis ketika Nabi menyelimuti mereka dengan kain dan berdoa agar Allah mensucikan mereka secara sempurna.

Dalam teologi Syiah, ayat tathhīr digunakan sebagai dasar teologis untuk meneguhkan doktrin kemaksuman (ʿiṣmah) para Imam dan legitimasi kepemimpinan spiritual keturunan Ali dan Fatimah. Karena itu, penafsiran ayat ini bagi Syiah tidak hanya tekstual, melainkan juga memiliki nilai teologis yang sangat fundamental.

Di sisi lain, Tafsir al-Ṭabarī (Juz 12, hlm. 8–10) menyajikan pendekatan yang lebih komprehensif berdasarkan kumpulan riwayat dari berbagai jalur. Mayoritas riwayat yang dikutip al-Tabari menguatkan bahwa Ahlul Bayt dalam ayat ini adalah Ahl al-Kisā’, sebagaimana disebutkan oleh Ummu Salamah dan Abu Sa‘id al-Khudri. Ini menunjukkan bahwa tradisi Sunni pun mengakui kedudukan khusus keluarga inti Nabi dalam kategori Ahlul Bayt. Namun, al-Tabari juga memuat riwayat dari Ikrimah yang menyatakan bahwa Ahlul Bayt adalah istri-istri Nabi. Riwayat ini, meski minoritas, tetap dicantumkan sebagai bagian dari upaya ilmiah al-Tabari untuk merekam seluruh pandangan sahabat dan tabi‘in.

Menurut Mahdi (2022) dalam skripsinya “Ahlulbait Perspektif Mufasir Syiah dan Sunni”, Ibnu Katsir juga mengutip riwayat tersebut dan memberikan catatan bahwa jika maksudnya istri-istri Nabi adalah penyebab turunnya ayat, maka hal itu dapat diterima secara metodologis.

Namun, jika penafsiran itu bermaksud membatasi ayat hanya kepada istri-istri Nabi, maka pendapat tersebut tidak cukup kuat karena terdapat banyak riwayat lain yang menunjukkan makna yang lebih luas. Dengan demikian, tradisi Sunni menerima dua kelompok yaitu Ahl al-Kisā’ sebagai inti utama dan istri-istri Nabi sebagai bagian yang tercakup berdasarkan konteks ayat.

Baca...  Memaknai Pluralisme dalam Kehidupan 

Dari sini terlihat jelas bahwa perbedaan penafsiran antara Syiah dan Sunni bukan semata-mata soal mayoritas riwayat, tetapi berkaitan erat dengan cara pandang teologis mereka. Bagi Syiah, penafsiran ayat tathhīr merupakan bagian dari doktrin Imamah, yaitu keyakinan bahwa para Imam dari keturunan Ali dan Fatimah memiliki kedudukan spiritual dan otoritas keagamaan yang suci. Karena itu, makna Ahlul Bayt dibatasi pada figur-figur tertentu yang memiliki hubungan dengan Imamah.

Sebaliknya, dalam tradisi Sunni, meskipun Ahl al-Kisā’ tetap diakui sebagai bagian penting dari Ahlul Bayt, definisinya tidak digunakan untuk menetapkan legitimasi kepemimpinan pasca-Nabi. Sunni lebih mengutamakan pemahaman berdasarkan konteks ayat, bahasa, dan kumpulan riwayat yang beragam. Inilah yang membuat makna Ahlul Bayt menurut Sunni lebih luas dan tidak eksklusif.

Kajian terhadap dua tafsir ini menunjukkan bahwa sebuah ayat dapat dipahami secara berbeda tergantung pada latar belakang teologi, metode penafsiran, dan tujuan penafsiran mufasir. Para mufasir Syiah membaca teks melalui kacamata doktrin kemaksuman dan imamah, sementara mufasir Sunni mengembangkan tafsir dengan pendekatan historis, bahasa, dan riwayat.

Dalam konteks saat ini, memahami perbedaan penafsiran Syiah dan Sunni mengenai Ahlul Bayt tidak seharusnya memperuncing perbedaan. Sebaliknya, perbedaan ini merupakan bukti kekayaan tradisi intelektual Islam. Keragaman penafsiran menunjukkan bahwa umat Islam sepanjang sejarah telah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan yang beragam sesuai kebutuhan zaman, struktur pengetahuan, dan latar budaya mereka.

Melalui perbandingan Tafsir al-Sāfī dan Tafsir al-Ṭabarī, kita dapat memahami bahwa perbedaan bukanlah ancaman, tetapi bagian dari dinamika keilmuan yang memperkaya pemahaman umat Islam terhadap warisan Al-Qur’an dan keluarga Nabi. Dengan demikian, kajian mengenai makna Ahlul Bayt bukan hanya sebagai studi tekstual, tetapi juga cermin keragaman pemikiran yang telah mewarnai sejarah Islam hingga saat ini.

3 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya dengan Konsentrasi Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Awardee Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB).
Articles
Related posts
Keislaman

Benarkah Ibadiyah Takfiri? Mengungkap Wajah Moderat Khawarij dalam Kitab Tafsir Hamyan Al-Zad

4 Mins read
Jika Khawarij dikenal sebagai kelompok paling ekstrem, bagaimana mungkin salah satu cabangnya justru menjadi suatu kelompok yang moderat dan intelektual? Nama Khawarij…
KeislamanPendidikan

Asal Usul Roh Menurut Islam

4 Mins read
Kuliahalislam.Mempelajari asal usul Roh ada kaitannya dengan masalah kekadiman atau kebaharuan Roh. Berdasarkan pendapat Plato, ahli filsafat Yunani mengatakan bahwa Roh itu…
Keislaman

Lima Pilar Rasionalisme Muktazilah: Telaah Penafsiran Qadi ‘Abd al-Jabbar dalam Tanzih al-Qur’an ‘an al-Mata‘in

4 Mins read
Muktazilah salah satu aliran teologi Islam yang menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam. Aliran ini dikenal kental nuansa doktrin teologis dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
ArtikelFilsafatKeislaman

Berumahtangga, Jalan Menunaikan Tugas Seorang Hamba

Verified by MonsterInsights