Ketika berbicara tentang larangan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW, kita sering kali terpaku pada apa yang “tidak boleh dilakukan,” tanpa benar-benar mencoba memahami “mengapa” dan “untuk apa” larangan itu ditetapkan. Padahal, setiap larangan yang beliau tetapkan bukanlah tanpa alasan.
Nabi Muhammad SAW tidak hanya berfungsi sebagai nabi pembawa wahyu, tetapi juga sebagai pendidik, pemimpin, dan pelindung umat yang selalu memperhatikan kesejahteraan kita, baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Imam as-Syafi’i dalam Kitabu Jima’i al-ilm mengatakan bahwa “dasar utama dari larangan dalam Islam adalah prinsip bahwa segala sesuatu yang dilarang dianggap haram, kecuali jika ada indikasi atau dalil yang menunjukkan bahwa larangan itu memiliki pengecualian atau tidak dimaksudkan untuk keharaman secara mutlak.”
Dengan kata lain, larangan dalam Islam tidak pernah dibuat secara sembarangan atau hanya berdasarkan preferensi pribadi Rasulullah SAW, tetapi selalu ada hikmah besar di baliknya yang sering kali mencakup perlindungan terhadap individu, masyarakat, dan nilai-nilai kemanusiaan secara keseluruhan.
Bayangkan saja bagaimana jika kita hidup tanpa aturan, atau tanpa batasan. Tentu saja, kebebasan seperti itu mungkin terdengar menyenangkan pada awalnya, tetapi cepat atau lambat, kekacauan akan terjadi. Larangan-larangan yang ada dalam Islam berfungsi seperti pagar pembatas yang menjaga kita agar tetap berada di jalan yang benar dan aman. Bukan berarti kebebasan kita direnggut, tetapi justru kebebasan itu diberi arah dan tujuan yang lebih baik.
Misalnya, larangan terhadap riba (bunga) dalam transaksi ekonomi. Pada pandangan pertama, mungkin ada yang merasa, “Apa salahnya mengambil sedikit keuntungan tambahan?” Namun, jika kita lihat lebih dalam, (sebagaimana ada pada kitab mabadi’ al-iqtishad al-Islami) riba sering kali menjadi akar dari ketidakadilan ekonomi.
Orang yang miskin semakin tertindas karena harus membayar bunga yang terus bertambah, sementara yang kaya semakin kaya dengan memanfaatkan kebutuhan orang lain. Rasulullah SAW melarang riba untuk memastikan bahwa sistem ekonomi berjalan dengan adil, di mana yang kuat membantu yang lemah, bukan sebaliknya.
Larangan dalam Islam tidak hanya berkutat pada hal-hal besar seperti riba atau korupsi. Banyak juga larangan yang terlihat sederhana, tetapi sebenarnya sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari kita. Misalnya ketika sedang belanja online. Anda melihat sebuah produk dengan harga sangat murah, tetapi deskripsi produknya tidak jelas dan fotonya terlihat mencurigakan. Anda tetap membeli karena tergiur harga, tetapi saat barang sampai, Anda kecewa karena kualitasnya buruk atau bahkan tidak sesuai dengan yang diiklankan.
Dalam Islam, praktik seperti ini masuk kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian atau penipuan. Rasulullah SAW melarang gharar karena hal ini bisa merugikan salah satu pihak, biasanya sering terjadi kepada konsumen.
Larangan ini mengajarkan kita untuk selalu transparan dan jujur dalam berbisnis. Jika Anda seorang pedagang, pastikan Anda menjelaskan produk Anda dengan jelas, apa adanya. Dan jika Anda seorang pembeli, (fathul mu’in bab khiyar) pastikan Anda memahami apa yang Anda beli.
Juga misalnya seseorang berkata kepada Anda, “Saya akan menjual motor ini seharga 15 juta, tapi dengan syarat Anda juga harus menjual ponsel Anda kepada saya.” Kedengarannya seperti tawaran yang sah, tetapi Rasulullah SAW melarang jenis transaksi semacam ini.
Mengapa? Karena transaksi seperti ini rentan terhadap eksploitasi. Salah satu pihak mungkin merasa dipaksa menerima kesepakatan yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Larangan ini mengajarkan pentingnya keadilan dan kebebasan dalam setiap transaksi.
Dulu misalnya waktu covid-19 ada cerita tentang pedagang yang menimbun masker dan hand sanitizer selama pandemi, lalu menjualnya dengan harga selangit. Padahal Rasulullah SAW dengan tegas melarang praktik menimbun barang untuk menaikkan harga, terutama barang-barang kebutuhan pokok. Dalam hadis disebutkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ.
“Barang siapa yang menimbun barang, maka dia adalah orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605, Kitab al-Musaqat, Bab Larangan Menimbun Barang). Larangan ini menunjukkan betapa Islam sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat luas dan melarang segala bentuk keserakahan yang merugikan orang lain.
Larangan dalam Islam tidak hanya sekadar aturan semata, lebih dari pada itu, juga cara Allah SWT melindungi kita dari berbagai bahaya, baik yang terlintas maupun yang tersembunyi. Sebagaimana masyhur dalam kitab-kitab ushul fikih, bahwa aturan (syariat) dibuat atas dasar hikmah. Hikmah di balik larangan ini sangat luas, dan sering kali baru kita sadari setelah merenungkannya lebih dalam.
Misalnya, larangan terhadap konsumsi alkohol. Secara medis, alkohol bisa merusak tubuh, mulai dari hati hingga otak. Kompas. Bahaya Minum Alkohol untuk Kesehatan, Ganggu Fungsi Otak dan Hati, https://health.kompas.com/read/2022/02/23/170000768/bahaya-minum-alkohol-untuk-kesehatan-ganggu-fungsi-otak-dan-hati. Tetapi kerusakan yang diakibatkan alkohol tidak berhenti di situ.
Berapa banyak kecelakaan yang terjadi karena pengemudi mabuk? Berapa banyak keluarga yang hancur karena seseorang tidak bisa mengendalikan kebiasaannya minum? Dengan melarang alkohol, Islam tidak hanya melindungi individu dari kerusakan fisik, tetapi juga melindungi keluarga dan masyarakat dari dampak buruk yang lebih besar.
Salah satu keindahan ajaran Rasulullah SAW adalah bagaimana beliau menyampaikan larangan dengan cara yang sangat manusiawi. Beliau tidak pernah memaksakan aturan dengan nada keras atau mengintimidasi, tetapi selalu menggunakan pendekatan yang lembut, bijaksana, dan penuh kasih sayang. Dan itu sudah diakui oleh semua sahabat, dan tentunya mungkin kita.
Misalnya, ketika Rasulullah melihat seseorang makan berlebihan, beliau tidak langsung melarangnya dengan kata-kata tajam. Sebaliknya, beliau dengan lembut berkata, “Tidak ada wadah yang lebih buruk yang diisi oleh anak Adam selain perutnya.
Cukup bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya.” Dengan cara ini, beliau menyampaikan larangan berlebihan dalam makan dengan cara yang tidak membuat orang merasa tersudutkan, tetapi justru termotivasi untuk berubah.
Pada akhirnya, larangan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Setiap larangan dirancang untuk melindungi kita, baik dari kerusakan yang langsung terlihat maupun yang baru akan kita sadari di kemudian hari. Rasulullah SAW tidak hanya memberikan larangan, tetapi juga menjelaskan hikmah di baliknya dan menawarkan solusi yang lebih baik.
Sebagai umat Islam, tugas kita bukan hanya mematuhi larangan tersebut, tetapi juga mencoba memahami makna dan tujuan di baliknya. Dengan begitu, larangan ini tidak hanya menjadi aturan yang membatasi, tetapi juga menjadi panduan yang memuliakan. Mari kita jadikan setiap larangan sebagai pengingat bahwa Allah selalu ingin yang terbaik untuk kita.
Daftar Bacaan:
Al-Syafi’i, Imam. Kitabu Jima’i al-‘Ilm. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Wahbah al-Zuhaili. Ushul Fiqih Islam. Terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2012.
Syaikh Abu Bakar Syatha. Fathul Mu’in. Jakarta: Darul Falah, 2010.
Al-Maududi, Abul A’la. Mabadi’ al-Iqtishad al-Islami. Terj. A. Hasan. Bandung: Penerbit Alma’arif, 1986.
Muslim, Imam. Shahih Muslim. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2009.
Nawawi al-Bantani. Nihayatuz Zain. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2013.
Kompas.com. “Bahaya Minum Alkohol untuk Kesehatan, Ganggu Fungsi Otak dan Hati.” https://health.kompas.com/read/2022/02/23/170000768/bahaya-minum-alkohol-untuk-kesehatan-ganggu-fungsi-otak-dan-hati.

