Kristen, Arab dan Mahkamah Inquisisi |
Oleh: Arif Wibowo
Itu bukunya sudah dibaca semua mas ? demikian pertanyaan yang sering mampir saat melihat rak buku saya. Tidak setiap buku yang dibeli untuk langsung dibaca, biasanya demikian jawab saya.
Selain itu, ada buku-buku yang harus dibaca utuh dengan teliti bahkan kalau perlu diulang, ada yang dibaca utuh meski sekilas, ada buku yang dibaca pada bagian-bagian yang diperlukan dan ada juga buku yang mengendap, yang dibeli karena sinopsis dan daftar isinya bagus yang saya prediksi suatu saat akan saya butuhkan.
Nah, saat membaca buku karya ustaz Menachem Ali, Filologi Biblikal dan Kritik Historis Ismael dan identitas kearaban, beberapa buku yang sudah cukup lama berdiam di rak buku akhirnya saya buka lagi. Yakni buku Relasi Damai Islam dan Kristen karya Richard Fletcher dan Para Algojo Tuhan karya Henry Kamen.
Hal ini karena ada bagian yang menguraikan pandangan St. Jerome, penerjemah Septuaginta berbahasa Yunani ke dalam bahasa latin yang diberi judul Vulgata Latina. Dalam kitab terjemahan itu, karakter Ismael digambarkan sebagai sebagai manusia yang berkarakter buruk dan kasar, atau liar.
“Hic erit ferus homo, manus eius contra omnes (dia akan menjadi orang liar, tangannya akan melawan semua orang). ferus homo, manusia liar. Hal yang kontras bila dibandingkan dengan ayat Al Qur’an yang diterjemahkan dalam bahasa latin menyebut karakter Ismail sebagai filium pium, Et annunciauimus illi unum filium pium (dan Kami anugerahkan kepadanya seorang anak yang saleh).
Karya St. Jerome ini yang ikut membentuk membentuk penilaian dunia Kristen atas wilayah yang tak jua kunjung berhasil ditaklukkannya.
Sebenarnya dunia Kristen, yakni Romawi, kala itu sudah punya sekutu di kalangan bangsa Arab yakni suku Ghassan, dan untuk itu mereka disubsidi, dengan imbalan mereka menjadi pengumpul informasi tentang Arab kepada Konstantinopel. Namun, pada saat kemunculan risalah Islam oleh Nabi Muhammad, kondisi keuangan Konstantinopel sedang tidak baik, sehingga subsidi dihentikan, kerja mata-matapun terhenti.
Karenanya, bisa jadi Romawi merasa kecolongan, ketika ternyata kekuatan baru Islam itu bertumbuh menjadi imperium politik baru yang tangguh. Menanggapi kemunculan umat Islam Isidore, seorang budayawan dan ahli ensoklopedi zaman kuno dari Sevilla, yang hidup sejaman dengan Nabi menyimpulkan kesepekatan dunia Kristen ketika memandang kemunculan Islam di dunia Arab.
“Bangsa Arab hidup di padang pasir. Mereka juga disebut keturunan Ismail, sebagaimana diajarkan kitab kejadian. Mereka juga disebut sebagai Hajariyin karena dilahirkan dari garis keturunan Siti Hajar (budak perempuan Ibrahim yang kemudian menjadi istri keduanya, ibu Ismail).
Sebagaimana sudah kami katakan, mereka juga dengan sombongnya mengatakan bahwa diri mereka adalah Sarahiyin, karena mereka membual dan mengarang cerita bahwa mereka memiliki garis keturunan dari Sarah (istri pertama Ibrahim).”
Tuduhan membual mengaku sebagai keturunan Sarah, sebagaimana dikatakan Isidore inilah yang kemudian kata Sarahiyin, Saracen, dilekatkan pada orang-orang Islam yang tinggal di Spanyol. Jadi kata Saracen itu adalah nama yang disematkan oleh orang luar Islam terhadap umat Islam.
Dalam sejarahnya, tidak ada orang Islam menyebut dirinya Saracen. Jadi kalau di Indonesia, saat pemilu lalu muncul kelompok Saracen yang hobi melakukan postingan bernada memecah belah masyarakat, bisa ditebak sendirilah kira-kira mereka dari kelompok mana.
Sementara buku Para Algojo Tuhan saya buka kembali untuk mencari penjelasan detail paragraf buku ustaz Menachem yang menukil kisah Kardinal Ximenes de Cisneros.
Kardinal ini adalah seorang tokoh gereja Katolik yang melakukan gerakan konversi paksa orang-orang Islam di wilayah Andalusia untuk menganut agama Kristen. Inkuisisi sudah cukup tua usianya di Aragon dan Casstillah, sebagai perangkat politik dan keagamaan untuk menindas kaum Yahudi.
Ketika Andalusia jatuh, awalnya yang diinkuisisi adalah kaum Yahudi, namun tujuh tahun kemudian, mulai tahun 1499, mahkamah inkuisisi menyasar umat Islam. Bagi kaum muslimin hanya disediakan dua pilihan, masuk Kristen atau harus pergi dari negeri yang membesarkannya.
Orang-orang yang masuk Kristen akibat inkuisisi inilah yang disebut kaum converso, orang Kristen baru, yang meski telah Kristen mereka masih dimata-matai apakah masih menjalankan kepercayaan lama atau tidak. Jika masih, maka dia akan tetap dihukum di mahkamah.
Tidak hanya berhenti menyasar orang Yahudi dan Islam, dalam perkembangannya, mahkamah inkuisisi juga menyasar berbagai aliran Kristen non Katolik yang semasa kekuasaan Islam bisa hidup bebas. Pada pertengahan abad 16, tahun 1558, kalangan Kristen non Katolik juga mulai dihadapkan pada mahkamah inkuisisi, karena dianggap sebagai para penganut bidat.
Itu sebabnya akhirnya, ketika Chistoporus Colombus (keturunan Yahudi yang dipaksa masuk Kristen) bisa berlayar sampai benua Amerika, maka terjadi eksodus besar-besaran ke Amerika, sebuah tanah yang mereka sebut sebagai Jerusalem Baru.
Tanah yang dijanjikan untuk orang-orang Kristen dan tentu saja dengan cara membantai penduduk aslinya yakni orang-orang Indian. Hal yang sama berlaku pada bangsa Aborigin yang mendiami benua Australia atau suku Maori di Selandia Baru.
Demikianlah buku-buku itu bertutur, sambung-memyambung menjadi satu kalau kata P Swantoro.