Oleh: Firda Ilmiyah
KULIAHALISLAM.COM – Seperti yang diketahui, Indonesia beberapa hari ini atau bahkan sudah lama telah diguncangkan oleh kasus-kasus yang berdominan dengan yang namanya korupsi. Yang terus menjadi peringkat paling atas di negara tercinta ini.
Bagaimana Korupsi dalam Pandangan Islam?
Tentu, kalau dilihat dari kaca mata Islam, korupsi merupakan suatu tindakan yang tidak dibenarkan baik dalam hukum ataupun agama. Karena, memanfaatkan harta orang lain untuk kepentingan pribadi, seperti apa yang dilakukan oleh seorang pencuri. Oleh karena itu, maka bisa dihukumi sendiri korupsi adalah jelas berdosa.
Mengapa Orang-orang Selalu Melakukan Korupsi?
Banyak mereka yang tidak takut adanya dosa dari melakukan perbuatan itu. Seorang koruptor juga tidak tau memikirkan bagaimana dampak panjang korupsi yang dilakukan nya. Mereka memasukkan harta haram kedalam kehidupannya, bahkan dapat berdampak pada keluarga serta anak-anak mereka.
Semua harta benda yang diambil atau dikumpulkan dari hasil korupsi, lalu diberikan untuk menafkahi anak istri atau keluarganya. Maka makanan yang dimakannya bisa berdampak buruk terhadap kepribadian diri atau karakternya.
Diceritakan ada seorang ibu ditanya, anak-anak mu semua sukses, kenapa? Dia menjawab yang pertama, kami tidak pernah memberi makanan haram buat anak-anak. Yang kedua, kami selalu berdoa untuk dia dengan berkata semoga Tuhan membantu mu.
Walaupun mereka nakal, kami selalu berdoa semoga Tuhan memberimu hidayah. Yang ketiga, katanya bahwa kami tidak pernah menuntut anak-anak untuk mendapatkan peringkat 1 dalam pelajarannya, yang kami tuntut adalah belajarlah dengan bersungguh-sungguh.
Nah, jadi dapat dipahami dari sabda nabi “Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram, maka neraka adalah tempatnya”. Harta dari hasil korupsi itu mereka makan hingga menjadi daging dan darah yang akan berpotensi buruk pada diri sendiri serta keluarga yang diberikan merupakan harta yang haram. Sebagaimana hadis nabi dari kitab arbain Nawawi.
أَلاَّ وِإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ
Artinya:
“Ingatlah di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan ikut baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan ikut rusak. Ingatlah segumpal daging itu adalah hati (jantung).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bisa di pahami dari hadis tersebut jika sesuatu yang diperoleh dari perbuatan jelek, kemudian masuk kedalam tubuh atau dimakannya. Maka seluruhnya akan jelek dan dapat berdampak pada kehidupan serta perilaku yang mengkonsumsinya. Banyak juga yang menyebut orang yang melakukan korupsi adalah orang yang berhianat.
Mengapa Koruptor di Sebut Orang Yang Berkhianat?
Seorang koruptor disebut penghianat karena, mereka diberi amanah “peliharalah ini” gunakan ini pada tempatnya dan sebagainya. Namun mereka mengambil dan menggunakannya tanpa sesuai dengan yang diamanatkan.
Masihkan belum ada rasa takut terhadap siksaan Allah kepada orang-orang yang berhianat, yang mana disebutkan dalam Alqur’an surat Ali Imran; “Barang siapa yang berhianat, dia akan datang (hari kiamat) membawa apa yang diambilnya.”
Nabi mengilustrasikan ada seseorang yang berhianat diberi amanat untuk memelihara kambing kemudian diambilnya satu. Dia akan datang (hari kimat) dengan menggendong kambing nya.
Bahkan ada riwayat yang mengatakan “seorang koruptor itu, yakni yang berhianat akan dimintai untuk mengembalikan di (hari kemudian) terhadap apa yang di ambilnya”. Orang itu berkata “Oh sudah hilang wahai Tuhan.”
Coba lihat itu dibawah barang kali ada di sana. Maka dia melihat dibawah apa yang pernah dikorupsinya. Tuhan menyuruh nya turun untuk mengambil nya, maka turun lah dia untuk mengambilnya. Lalu diangkat nya dengan sangat berat. Sampai di puncak, sudah mau sampai di daratan. Dia terjatuh, barang nya juga ikut jatuh. Begitu dengan seterusnya. Begitulah penyiksaan ahirat nanti yang digambarkan untuk seorang korupsi yang berhianat. Na’udzubillah.
Upaya-upaya Pemberantasan Korupsi dalam Syariah Islam
Islam memberi batasan hukum yang jelas dan rinci berkaitan dengan harta pejabat yakni harta yang diperoleh dari luar gaji atau pendapatan mereka dari negara yang diposisikan sebagai kekayaan gelap (Ghulul).
Islam mengharamkan suap (Risywah) untuk tujuan apapun. Suap adalah memberikan harta kepada pejabat untuk menguasai hak dengan cara yang batil atau membatalkan hak orang lain agar haknya didahulukan. Sebagaimana nabi telah melaknat orang yang melakukan suap baik yang menerima maupun yang memberi suap, yang dijelaskan dalam hadis Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud.
Pejabat negara dilarang menerima hadiah (Gratifikasi). Sebagaimana hadis Nabi:
“Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya. Maka apa yang dia ambil selain itu adalah kekurangan”. H.R. Abu Dawud.
Termasuk dalam kategori kekayaan gelap pejabat adalah yang didapatkan dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Komisi sebenarnya adalah hal yang halal dalam muamalah, namun kedudukan pejabat menggunakan kekuasaan untuk memutuskan suatu transaksi bisnis atau dia mendapatkan fee/komisi dari suatu proyek. Maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram.
Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan dengan sewenang-wenangnya. Islam juga memberikan hukuman kepada koruptor, suap dan penerima komisi haram yakni berupa takzir atau sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk sanksinya mulai dari yang ringan seperti sekadarnya teguran dari hakim, berupa penjara, denda (Gharamah) hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya takziran ini, sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
Dengan ini agar kekayaan gelap (Ghulul) dalam harta pejabat mudah teridentifikasi, sistem Islam melakukan pencatatan jumlah harta pejabat sebelum menjabat dan melakukan perhitungan setelah menjabat. Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab RA.
Wallahua’lam.
Editor: Adis Setiawan