Penulis: Sawwa Nazali Almafaza*
KULIAHALISLAM.COM – Berbincang mengenai keberadaan logika dan iman adalah suatu hal yang sering dijadikan sebagai perbincangan yang tabu. Banyak orang beranggapan bahwa iman dan logika tidak dapat disatu padukan karena dalam pemahamanya iman harus hanya bertumpu pada hati. Dan kemudian tumbuh perasaan yang begitu dalam sehingga logika tidak dapat dikorelasikan dengan iman. Karena mereka beranggapan iman itu bersifat diluar logika.
Ketika iman tidak dapat dihubungkan lagi dengan logika maka, akan timbul pemahaman bahwa jika tindakan iman tidak masuk akal dan nalar logika maka tidak lagi dikategorikan sebagai iman. Pemikiran yang tidak sesuai ini akibatnya membawa kepada sikap (dho’ful iman) atau lemahnya iman. Maka, tidak jarang kita menjumpai orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain guna mencari kepercayaan yang dianggap dapat masuk akal.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat, juga memberikan pengaruh besar pada aspek keimanan seseorang yang sering menggunakan kesalahpahaman dalam memahami hubungan antara tindakan iman dan logika. Teknologi informasi yang bersifat instan akan terlihat lebih mudah dicerna dan diterima oleh akal logika manusia. Sedangkan segala sesuatu tindakan iman terutama pada agama Islam sering dianggap rumit, terlihat kuno. Dan tidak menarik.
Jikalau pemahaman akan adanya korelasi pada tindakan iman dan logika dapat disajikan dengan baik dan diterima maka, atas segala sesuatu yang selama ini diyakini tidak dapat diterima oleh akal logis mereka menjadi masuk akal dan kemudian dapat dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka, iman dan kepercayaan tersebut akan semakin kuat terhadap Tuhanya. Dan tidak akan ada pertanyaan-pertanyaan mengenai Tuhanya yang selama ini dianggap tidak logis.
Terlebih apabila mereka sampai saat ini belum mendapatkan jawaban segala sesuatu yang ada sangkut pautannya antar iman dan logika, bagaimana mereka ingin mengamalkan segala tindakan imannya jika mereka belum meyakini atas keimananya tesebut masuk akal, justru mereka akan menjadi apatis, agnostik atau bahkan juga atheis.
Iman hakikatnya adalah tashdiqul qalbi yaitu adanya pengakuan dalam hati atau kemantapan didalam hati atas apa yang dipercaya. Kemudian taqrirun bil lisan yaitu adanya lisan yang mengatakan yang kamudian di wujudkan dalam sebuah tindakan.
Sedangkan logika ialah ilmu pengetahuan dimana materinya ialah berpikir (khususnya pada penalaran) dan objek formalnya yaitu berpikir atau penalaran ditinjau dari segi ketepatanya. Dimana logika juga sebuah cabang filsafat yang praktis dalam artian dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika Tuhan memberikan akal pikiran kepada manusia untuk berpikir maka sudah seyogyanya kita menggunakanya untuk berpikir logis dalam mengambil tidakan yang akan kita lakukan. Yang didasarkan pada iman. Tidaklah mungkin seorang manusia mengimani Tuhanya hanya sekadar duduk diam tidak melakukaan apa-apa. Karena iman adalah bagaimana kita menanggapinya bukan hanya memahami. Iman dibutuhkan adanya tindakan praktis yaitu penerapanya.
Dalam filsafat terdapat paradigma dimana ia adalah kerangka berpikir seseorang bagaimana ia melihat dunia tidak hanya dengan panca indra nanum juga melibatkan perasaan. Bagaimana kita melihat sesuatu disitulah letak konsep bagaimana kita berpikir dan menindaklanjutinya.
Selayaknya seseorang yang mengimani atas adanya Allah sebagai Tuhanya, maka ia akan menggunakan akal pikiranya untuk bepikir bagaimana dalam pengimplementasianya pada kahidupan sehari-hari tidaklah ia hanya diam saja hanya mengakui dalam hatinya.
Apabila paradigma adalah apa yang kita yakini, yakni berdasarkan firman Allah maka tindakan-tindakan implementasinya akan didasarkan pada akal pikiran dan akan mengelolah melalui akal pikiranya yang tentunya didasarkan pada paradigmanya yaitu keyakinan terhadap firman-firman Allah dan segala ketentuanya.
Paradigmalah yang akan menentukan ending atau akhir dari tindakan kita. Maka, apabila sebuah paradigma tersebut dikuatkan oleh iman yang semakin dalam maka akal pikiranya, logikanya akan selalu berdasar pada paradigmanya akan kembali pada kepercayaanya begitu pula sebaliknya jika paradigma tersebut mengalami penurunan maka tindakan selanjutkan juga akan terpengaruh.
Logika seseorang akan dikatakan benar jikalau tatanan atau konsep paradigmanya juga benar, atau bagaimana ia melihat dan menaggapinya dengan benar. Maka korelasi antara tindakan iman dan logika akan berjalan dengan baik dan tidak akan adanya pikiran atau asumsi bahwa iman itu diluar akal pikiran manusia ia tidak dapat dihubungkan dengan akal pikiran manusia justru dengan logika tindakan iman akan semakin kuat yang dibarengi dengan paradigma yang benar juga.
*) Mahasiswi Program Studi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.