Konsep pernikahan yang secara umum dipahami sebagai penyatuan ikatan antara laki-laki dengan perempuan sebagai pasangan suami istri telah mengalami perkembangan dalam jumlah subjek yang terlibat. Perkembangangan ini terjadi ketika suami atau istri yang telah memiliki pasangan memungkinkan dalam realitasnya memiliki dua pasangan atau lebih. Fenomena semacam ini dalam pernikahan biasa dikenal dengan istilah poligami.
Istilah poligami merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani poly dan gamain. Kata poly atau polus dalam bahasa Yunani memiliki makna banyak, sedangkan kata gamain atau gamos memiliki arti perkawinan. Penggabungan dua kata ini memunculkan pengertian yang dapat dipahami bahwa poligami merupakan kondisi dimana seseorang memiliki dua atau lebih pasangan baik dari sisi laki-laki maupun perempuan.
Dalam istilah lain, istilah semacam ini dipisahkan dari perspektif objek yang dinikahi. Hukum Islam memberikan penamaan bagi keadaan seorang suami memiliki banyak istri dengan istilah taadud zaujati, sedangkan kondisi sebaliknya dikenal dengan istilah taadud al buuli. Kemudian, istilah dari bahasa Inggris memberikan penyebutan poligamy dan polyandri untuk membedakan keduannya.
Menyikapi kedua konsep ini, hukum Islam hanya memperbolehkan pelaksanaan poligami. Terkait polyandri, hukum Islam memberikan ketegasan atas pengharaman dilakukannya hal ini, sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Nisa ayat 24. Ayat ini secara jelas memberikan larangan bagi perempuan yang telah bersuami untuk menikah dengan seorang laki-laki.
Pengharaman semacam ini lebih disebabkan akan timbul beberapa kemudharatan yang hadir dalam kurun waktu yang akan datang yang akan berimplikasi pada anak yang dilahirkan. Pertama, ketidakjelasan nasab pada anak apabila diamati dalam sudut pandang biologis.
Pada dasarnya, seorang perempuan memiliki sistem reproduksi yang pada fungsinya ialah dibuahi. Ketika terdapat pembuahan yang berasal dari dua atau lebih proses pembuahan yang berasal dari laki-laki yang berbeda, maka akan sulit mengidentifikasi nasab dari bayi yang dilahirkan.
Kedua, munculnya sengketa terkait hak asuh dan nafkah anak. Pihak perempuan sering kali meminta suaminya untuk ikut bertanggung jawab dalam merawat dan menafkahi anak yang lahir dari ketidakjelasan hubungan.
Sementara, suami yang dianggap sebagai ayah biologis menolak, karena meyakini anak itu bukanlah anak kandungnya. Perselisihan ini terjadi karena pihak perempuan diam-diam juga menikah siri dengan pria lain. Hal ini berimplikasi pada hak asuh dan juga hak waris dari sang ayah.
Adapun terkait poligami, terdapat kebolehan untuk melakukannya dengan syarat tertentu. Hal ini dimaksudkan supaya tidak dijadikan sebagai sesuatu yang bisa dilakukan oleh semua orang laki-laki, dalam arti tidak memberikan anggapan bahwa ini adalah sesuatu yang mudah atau sepele tanpa adanya konsekuensi mengingat kebolehan untuk melakukannya sebagaimana dalil dalam surah al-nisa ayat 4 dan sejarah kehidupan nabi yang berpoligami.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتْلَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مثلى وللث وربع : فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُ كُمْ ذَلِكَ أَدْنَى إِلَّا تَعْوُلُوا
Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahnya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.
Ayat diatas secara jelas memberikan peringatan kepada seseorang yang berpoligami untuk senantiasa bersikap adil terhadap istri-istrinya baik secara lahir dan batin. Selain itu, ayat ini secara eksplisit memberikan batasan kuantitas perempuan yang boleh dinikahi yakni tidak boleh lebih dari empat istri.
Selain alasan adanya dalil sebagaimana disebutkan di atas, adanya fakta bahwa Nabi Muhammad SAW, berpoligami dalam sejarah hidupnya dijadikan alasasan kuat yang mendasari orang melakukan poligami.
Namun, perlu dipahami lebih lanjut bahwa pengamalan berpoligami yang dilakukn oleh nabi bukanlah pengamalan yang didasarkan pada penyaluran hasrat biologis atau hanya untuk tujuan mendapatkan keturunan, akan tetapi lebih kepada upaya mensejahterakan dan perlindungan terhadap kaum perempuan pada masa itu. Hal ini bisa dilihat dari sembilan istri nabi yang delapan diantaranya ialah para janda yang ditinggal, sementara hanya Aisyah yang beliau nikahi dalam keadaan murni perawan.
Menyikapi masalah poligami ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa adanya poligami merupakan akar dari sebuah permusuhan dan kebencian antara anak dan istri. Menurutnya, dalam perspektif anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga berpoligami, anak akan cenderung merasa terasingkan dan tidak mendapatkan peran kasih sayang dari ayah sehingga akan muncul rasa iri hati yang menimbulkan perasaan tidak adail yang berdampak pada permusuhan dalam keluarga.
Menyikapi hal ini, Muhammad Abduh memberikan fatwa bahwa poligami adalah perbuatan yang berstatus haram qat’i. Secara rinci setidaknya terdapat tiga alasan Muhammad Abduh mengharamkan poligami yang dimana ketiga alasan ini merupakan dampak berantai yang saling berhubungan.
Pertama, menurut Abduh manusia tidak akan mampu berbuat adil secara mutlak sebagaimana dalil surah al-Nisa ayat 129 yang menyatakan bahwa laki-laki taidak akan bisa adil kepada istri-istri mereka meskipun mereka merasa mampu berbuat adil, sementara persyaratan dalam berpoligami harus menjunjung tinggi keadilan diantara istri-istrinya.
Kedua, maraknya perlakuan buruk kepada istri-istri tertentu dan menghususkan perlakuan baik kepada istri yang paling disayangi sehingga memberikan perbedaan terhadap nafkah batiniyyah dan lahiriyyah.
Ketiga, dampak psikologis anak. Perbedaan perlakuan pada satu istri akan menimbulkan rasa iri yang berakhir pada kebencian dan permusuhan antara istri-istri. Rasa benci ini akan terus berlanjut kepada sang anak disebabkan empati si anak kepada ibunya.
Muhammad Abduh menegaskan bahwa hanya Nabi Muhammad yang mampu berlaku adil dalam berpoligami, sementara orang lain tidak bisa melakukannya dengan sempurna. Menurut Abduh, kemampuan Nabi ini adalah kekhususan akhlaknya, sehingga tidak bisa dijadikan standar umum kepada orang lain.
Namun Abduh memberikan pengecualian terhadap poligami ini. Meurutnya poligami bisa dilakukan apabila seorang istri mengalami kemandulan atau kondisi istri yang ditinggal wafat suami karena alassan perang dengan catatan tidak menyebabkan kerugian dan ketidakadilan.