Manuskrip yang di tulis oleh KH. Abdul Hamid, sebuah karya tulis yang kaya makna dan sejarah, menghadirkan daya tarik yang mendalam bagi para pecinta budaya dan spiritual.
Dengan perpaduan unik antara huruf Hijaiyah dan huruf Pegon pada bagian judul, manuskrip ini tidak hanya berfungsi sebagai tulisan biasa, melainkan sebuah manuskrip yang merefleksikan kekayaan tradisi keilmuan Islam Nusantara.
Isi manuskrip yang berupa doa di malam bulan Rajab semakin menambah dimensi spiritual yang memikat, menjadikannya lebih dari sekadar kumpulan aksara.
Salah satu hal yang paling menarik dari manuskrip ini adalah penggunaan gabungan huruf Hijaiyah dan Pegon pada judulnya. Huruf Hijaiyah adalah aksara Arab yang umum digunakan dalam penulisan Al-Qur’an dan teks-teks keagamaan berbahasa Arab.
Sementara itu, huruf Pegon merupakan adaptasi huruf Arab untuk menuliskan bahasa Jawa atau bahasa daerah laindi Nusantara. Kombinasi ini menunjukkan sebuah jembatan budaya dan linguistik yang canggih, menandakan bahwa KH. Abdul Hamid tidak hanya menguasai bahasa Arab, tetapi juga mampu mengintegrasikannya dengan bahasa lokal untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Ini adalah bukti nyata dari kearifan lokal dalam menyebarkan ilu dan dakwah. Di samping itu, substansi manuskrip yang berisi doa khusus di malam bulan Rajab memiliki daya tarik spiritual yang kuat.
Bulan Rajab adalah salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam, di mana banyak umat Muslim memperbanyak ibadah dan doa. Keberadaan doa ini dalam bentuk manuskrip tulisan tangan KH. Abdul Hamid menunjukkan betapa pentingnya tradisi lisan dan tulisan dalam melestarikan amalan-amalan keagamaan.
Manuskrip ini menjadi semacam “panduan spiritual” yang diwariskan dari generasi ke generasi, mengajak pembacanya untuk merenungi makna malam Rajab dan memanjatkan doa dengan khusyuk.
Lebih dari sekadar sebuah teks, manuskrip KH. Abdul Hamid adalah cerminan dari dedikasi seorang ulama dalam melestarikan ilmu dan spiritualitas Islam. Keindahan tata letak, kejelasan tulisan, dan pilihan kata-kata doa yang mendalam menunjukkan perhatian KH. Abdul Hamid terhadap detail dan kualitas karyanya.
Ini bukan hanya sebuah tulisan fungsional, melainkan sebuah karya seni yang dihasilkan dari ketulusan hati dan keilmuan yang mumpuni. Manuskri ini menjadi pengingat akan kekayaan intelektual dan spiritual yang pernah tumbuh subur di Nusantara.
Secara keseluruhan, manuskrip KH. Abdul Hamid merupakan harta karun budaya dan spiritual yang tak ternilai. Perpaduan huruf Hijaiyah dan Pegon pada judulnya, isi doanya yang bermakna, serta nilai historisnya sebagai warisan seorang ulama besar, menjadikan manuskrip ini objek studi yang menarik bagi siapa pun yang ingin menyelami lebih dalam khazanah Islam di Indonesia.
Bulan Rajab tidak hanya sekadar penanda kalender hijriah bagi masyarakat pesantren, tetapi menjadi momentum untuk membangun kesiapan ruhani menuju Ramadhan.
Dalam perspektif Islam tradisionalis, Rajab adalah bulan pembersihan, tempat amalan-amalan sunah dijalankan dengan penuh kesungguhan sebagai sarana penyucian jiwa.
Di tengah arus modernisasi yangkerap mereduksi agama menjadi aktivitas seremonial, warisan KH. Abd. Hamid Pasuruan tentang amalan Rajab hadir sebagai spiritual yang menuntun pada kedalaman makna ibadah dan pembentukan karakter ruhani.
Amalan Rajab bukan hanya tentang individu, tetapi juga komunitas. Di lingkungan pesantren, amalan ini menjadi momentum konsolidasi spiritual dan sosial. Para santri belajar makna kesabaran lewat puasa, kekhusyukan lewat shalat malam, dan pengharapan melalui lantunan doa.
Mereka dibiasakan untuk menghargai waktu, menata niat, dan menahan diri dari hal-hal yang melalaikan.
KH. Abd. Hamid membangun satu pemahaman bahwa agama bukan hanya doktrin, tetapi proses latihan ruhani untuk membersihkan batin. Inilah bentuk praksis dari tasawuf spiritualitas yang mengubah laku dan sikap, bukan sekadar menambah ritual.
Maka tidak heran jika amalan Rajab beliau tetap dijaga dan diamalkan sampai hari ini, bahkan ditransformasikan dalam majelis-majelis dzikir modern yang masih menjunjung sanad dan ijazah beliau.
Penutup:
Manuskrip KH. Abdul Hamid adalah sebuah harta karun budaya dan spiritual yang tak ternilai, mencerminkan kekayaan tradisi keilmuan Islam Nusantara.
Keistimewaan manuskrip ini terletak pada perpaduan unik huruf Hijaiyah dan Pegon pada judulnya, menunjukkan kearifan lokal KH. AbdulbHamid dalam mengintegrasikan bahasa Arab dengan bahasa daerah untuk menyebarkan ilmu.
Isinya,bberupa doa di malam bulan Rajab, menambah dimensi spiritual yang kuat, menjadikannya sebuah “panduan spiritual” yang diwariskan secara turun-temurun.
Lebih dari sekadar teks, manuskrip ini adalah cerminan dedikasi seorang ulama dalam melestarikan ilmu dan spiritualitas Islam, menunjukkan keindahan tata letak dan kedalaman pilihan doa. Selain itu, warisan KH. Abdul Hamid tentang amalan Rajab menjadi sebuah tuntunan spiritual yang relevan hingga kini.
Bagi masyarakat pesantren, Rajab bukan sekadar bulan, melainkan momentum penting untuk membersihkan diri dan membangun kesiapan ruhani menuju Ramadan.
Amalan Rajab yang diajarkan beliau menekankan latihan ruhani dan pembersihan batin, yang mengubah laku dan sikap, bukan sekadar menambah ritual. Oleh karena itu, warisan amalan ini tetap dijaga dan diamalkan, bahkan ditransformasikan dalam majelis dzikir modern yang menjunjung sanad dan ijazah beliau.