Di tengah lingkungan kerja yang terus berubah dengan cepat akibat kemajuan teknologi yang tak henti-hentinya, ketahanan mental bukan lagi sekadar keinginan, melainkan kebutuhan mutlak. Perubahan yang begitu cepat sering kali memicu stres, kecemasan, dan kelelahan di kalangan pekerja. Dalam konteks ini, sabar muncul bukan hanya sebagai kebajikan spiritual, melainkan sebagai pilar utama yang menopang ketangguhan mental.
Muhammad Sholikhin dalam bukunya The Power of Sabar menggambarkan sabar sebagai kekuatan batin yang memungkinkan seseorang tetap teguh menghadapi tekanan hidup, termasuk dinamika dunia kerja modern yang penuh ketidakpastian. Sabar bukanlah sikap pasif menahan diri, melainkan sikap aktif yang melibatkan ketekunan, ketenangan, dan respons yang terukur terhadap tantangan.
Secara praktis, sabar diwujudkan dengan menerima perubahan secara terbuka, bukan menolak. Ketika perusahaan menerapkan teknologi baru, pekerja yang tahan mental tidak langsung frustrasi, melainkan bersabar dan berusaha belajar. Selain itu, sabar membantu mengelola emosi saat menghadapi kesalahan yang tak terhindarkan selama proses adaptasi, sehingga pekerja dapat bangkit kembali dengan motivasi yang terjaga.
Sabar juga penting dalam hubungan antar rekan kerja dan atasan yang sama-sama berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan. Sikap saling pengertian dan dukungan memperkuat ketahanan mental kolektif di lingkungan kerja.
Penelitian ilmiah mendukung hal ini. American Psychological Association (APA, 2022) menyatakan bahwa ketahanan adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan, trauma, atau tekanan berat, termasuk tantangan di tempat kerja. Studi menunjukkan bahwa sabar dan pengelolaan emosi merupakan komponen kunci ketahanan, yang memungkinkan pekerja mengelola stres dan mempertahankan kinerja (Mayo Clinic, 2023).
Beberapa contoh penelitian menunjukkan bahwa seorang pekerja di bidang teknologi yang menghadapi perubahan sistem secara mendadak. Alih-alih menyerah pada frustrasi, ia menguatkan diri dengan praktik spiritual seperti dzikir, yang membantunya tetap tenang dan fokus. Perpaduan antara kesabaran spiritual dan ketekunan praktis ini menjadi benteng kuat menghadapi tekanan eksternal, sekaligus menjadi pondasi dalam ketahanan mental.
Dalam khazanah keilmuan Ulama Islam, ketahanan mental tidak hanya soal bagaimana bertahan dari kesulitan, tetapi juga membangun kebahagiaan batin yang mendalam. Syaikh Ibnu Qayyim dalam karyanya yaitu : 2 Jalan Menuju Dua Kebahagiaan dan Mencapai Kesempurnaan, menekankan dzikir sebagai terapi mental yang menenangkan hati dan melindungi dari emosi negatif seperti iri dan sombong.
Menurutnya, dzikir mengalihkan fokus dari tekanan duniawi ke hubungan spiritual yang mendalam, menciptakan ketenangan dan kebahagiaan sejati. Dengan rutin berdzikir, pekerja dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan stabilitas emosional, sehingga lebih siap menghadapi tantangan di tempat kerja.
Selain itu, refleksi diri dan penggunaan akal menjadi alat penting untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Ibnu Qayyim menganjurkan introspeksi untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan pribadi, sehingga dapat mencari solusi adaptif. Pendekatan ini mengubah penerimaan pasif menjadi pemecahan masalah aktif, memperkuat ketahanan mental.
Bayangkan, di tengah tekanan deadline dan tuntutan inovasi, pekerja yang menggabungkan dzikir dan refleksi dapat menjaga ketenangan dan memimpin tim dengan efektif. Ketenangan jiwa inilah yang disampaikan oleh Syaikh Imam Al Ghazali, sebagai salah satu kenikmatan tertinggi yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya.
Penelitian modern sejalan dengan pandangan ini. Teori ketahanan menyatakan bahwa emosi positif dan praktik reflektif meningkatkan mekanisme koping dan kesejahteraan (PositivePsychology.com). Meta-analisis terbaru juga menunjukkan bahwa intervensi mindfulness dan kesadaran diri secara signifikan meningkatkan ketahanan kerja dan mengurangi burnout (Frontiers in Psychology, 2024).
Di era di mana disrupsi teknologi menjadi norma, ketahanan mental yang berakar pada kesabaran, kebahagiaan spiritual, dan kebijaksanaan reflektif menjadi sangat penting. Kualitas-kualitas ini memungkinkan pekerja tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah ketidakpastian.
Seiring semakin banyaknya bukti ilmiah yang menguatkan hubungan antara regulasi emosi, praktik spiritual, dan ketahanan, baik organisasi maupun individu akan sangat diuntungkan dengan mengintegrasikan dimensi ini dalam program kesejahteraan kerja. Kesabaran dan qanaah, menjadi kunci dari keberhasilan praktik spiritualitas seorang pekerja serta membentuk pribadi . Maka mengutip lirik syair lagu dari batas senja:
“Jika tidak hari ini,
mungkin Minggu depan.
Jika tidak Minggu ini,
mungkin bulan depan.
Jangan menyerah dulu,
waktu masih panjang.
Ingat doa kita selalu,
yang tidak pernah usang. ”
Achmad Puariesthaufani N
*Redaktur Kuliahalislam.com*