Keislaman

Kepemimpinan Perempuan Dalam Tafsir Tematik (Studi Kasus Khadijah Al Kubra)

4 Mins read

Saat ini, perempuan di seluruh dunia telah mendapatkan posisi penting dalam masyarakat sebagai pemimpin, baik di organisasi maupun dalam politik, bahkan ada yang menjabat sebagai kepala negara seperti presiden atau perdana menteri. Namun, kehadiran perempuan dalam dunia politik dan pemerintahan masih memicu perdebatan di kalangan ulama. Hal ini berkaitan dengan pandangan dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin, karena dalam konteks tersebut, laki-laki lebih diutamakan sebagai pemimpin, merujuk pada zaman nabi ketika hanya laki-laki yang diangkat sebagai nabi dan berperang.

Kepemimpinan perempuan telah ada sejak zaman Nabi Yusuf, terlihat dari sosok Ratu Bilqis yang berhasil memimpin kerajaannya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, serta Asiyah binti Muzahim yang dengan berani menentang tirani Raja Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam masyarakat dan dalam posisi kepemimpinan.

Seiring berjalannya waktu, perempuan telah memberikan kontribusi pemikiran yang signifikan terhadap kemajuan dan perkembangan masyarakat. Dengan semakin banyaknya perempuan yang terlibat dalam organisasi-organisasi di tingkat bawah dan memasuki dunia politik, kehadiran mereka menjadi semakin diperhitungkan. Saat ini, banyak perempuan yang telah menduduki posisi strategis dalam pemerintahan, termasuk sebagai menteri dan bahkan presiden.

Secara intelektual, perempuan memiliki kemampuan mengingat yang baik serta mampu mengorganisir dan menyelesaikan masalah dengan efektif. Sejarah mencatat bahwa perempuan mulai mengambil peran dalam masyarakat, seperti menjadi ulama perempuan (ustadzah), menduduki posisi dalam pemerintahan, terlibat dalam organisasi, dan bahkan menjabat sebagai presiden. Hal ini menunjukkan bahwa Islam berperan dalam mengangkat manusia dari masa kegelapan menuju era yang lebih terang melalui peningkatan pendidikan perempuan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara keseluruhan.

Misalnya pada kepemimpinan Sayyidah Khadijah al-Kubra, Khadijah Al-Kubra adalah seorang wanita mandiri yang memimpin perusahaan besar warisan ayahnya di Makkah sebelum menikah dengan Nabi Muhammad. Di tengah masyarakat yang sering kali menganggap anak perempuan sebagai aib dan memilih untuk membunuh mereka, ayah Khadijah, Khuwailid, dan ibunya, Fatima, memiliki pandangan yang lebih progresif. Mereka mendidik Khadijah dalam dunia bisnis sejak kecil, sehingga tidak mengherankan jika ia sangat mahir dalam mengelola usaha keluarga setelah kepergian sang ayah.

Baca...  Interaksi dengan Non Muslim, Apakah Boleh?

Khadijah dikenal luas di kalangan suku Quraish dan dihormati oleh banyak orang. Di bawah kepemimpinannya, bisnis ayahnya berkembang pesat berkat keterampilan, integritas, dan kebaikan hatinya. Ia menjual berbagai jenis barang, mulai dari mebel dan tembikar hingga sutra, serta menjangkau pusat-pusat perdagangan seperti Suriah dan Yaman. Menariknya, Khadijah menjalankan perusahaannya sebagai seorang ibu tunggal yang merawat dua anaknya, Abdullah dan Abu Hallah, setelah ditinggal mati oleh dua suaminya yang gugur di medan perang.

Meski Khadijah merupakan pengusaha sukses dengan kekayaan berlimpah, namun ia mempunyai jiwa kemanusiaan yang tinggi. Ia dikenal dermawan dan punya rasa empati yang besar terhadap sesama. Dalam buku Yasin T. al-Jibouri bertajuk Khadija: Daughter of Khuwaylid, dikisahkan bahwa Khadijah selalu memerintahkan bawahannya untuk membuka pintu toko agar orang-orang yang kelaparan bisa masuk dan meminta makan. Semua pekerja pun ia perlakukan dengan baik, termasuk Muhammad, yang sering kali diutusnya berdagang ke Suriah.

Kepemimpinan Khadijah terlihat dari sikap empati yang selalu ia tunjukkan dan perlakuannya yang setara kepada semua orang, tanpa memandang latar belakang mereka. Mereka yang tidak memiliki tempat tinggal dan para pengemis yang lapar datang dengan perut kosong dan pulang dengan makanan yang mengisi perut mereka. Karena kebaikannya, Khadijah mendapatkan julukan Ameerat Quraysh atau putri Quraish, serta Al Tahira, yang berarti ketulusan. Saat ia memutuskan untuk melamar Muhammad, pegawainya yang lebih muda 15 tahun, Khadijah menciptakan sebuah rumah tangga yang saling menghormati dan setara. Di awal Muhammad menerima wahyu kenabiannya dan mulai menyebarkan agama Islam, mungkin ia justru banyak belajar tentang kepemimpinan dari Khadijah, yang telah berpengalaman dalam hal itu sejak muda. Khadijah juga diketahui memberikan dukungan finansial kepada suaminya selama penyebaran agama Islam.

Baca...  Membongkar Belenggu Patriarki: Potensi Perempuan Jawa Bersinar dalam Cahaya Syariat

Khadijah juga sering dijadikan simbol kemajuan perempuan Muslim yang bercita-cita menjadi pengusaha. Namanya banyak digunakan oleh lembaga kemanusiaan sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya dalam mengatasi stereotip terhadap perempuan pada zamannya, serta perannya yang signifikan dalam penyebaran agama Islam.

Saat ini, perempuan tidak lagi dianggap sebagai kelompok yang terbelakang, karena banyak dari mereka yang telah berperan aktif dalam organisasi dan bahkan terlibat dalam pemerintahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki, yang membuktikan bahwa masyarakat telah mendapatkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin.

Namun, isu ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama, yang berpendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin. Dalam Al-Qur’an, dinyatakan bahwa laki-laki lebih diutamakan untuk memimpin masyarakat. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan intelektual yang baik. Dalam hal pendidikan, perempuan setara dengan laki-laki dan memenuhi kriteria untuk menjadi seorang pemimpin.

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya: Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS. At-Taubah : 71).

Ayat di atas menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin bisa dilakukan oleh laki dan perempuan, untuk pemimpin perempuan dengan syarat perempuan tersebut mampu dan memenuhi kriteria, seperti yang termaktub dalam tafsir Al-Marghi dan tafsir Al-Manar, kata “auliyaí mencakup “wali” dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.

Baca...  Potret Perempuan Islami

Jika kita mengkaji lebih dalam, ayat tersebut mengizinkan perempuan untuk menjalani pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, seperti berpartisipasi dalam organisasi perempuan, menjadi dokter, tenaga pendidik, berwirausaha, menjabat sebagai menteri, bahkan menjadi presiden yang memimpin suatu negara. Namun, dalam hal kepemimpinan, seorang perempuan perlu memperhatikan dan tetap berpegang pada ajaran Al-Qur’an dan hadis, seperti mendapatkan izin dari suami jika ingin menduduki jabatan tertentu. Jika suami merestui dan perempuan tersebut tetap menjalankan perannya sebagai istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya sesuai dengan kodratnya, maka hal itu diperbolehkan.

Di sini, pemimpin perempuan tidak haruslah pemimpin formal. Seperti kata Ulama Quraish Shihab, seorang perempuan mampu menampilkan argumen yang dapat menyentuh logika dan hati karena sikap lemah-lembut yang dimilikinya. Menurutnya, kepemimpinan berarti “memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain secara sadar dan sukarela guna mencapai tujuan.”

Berdasarkan pembahasan mengenai posisi pemimpin perempuan dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa perempuan diperbolehkan untuk menjadi pemimpin, namun dengan batasan tertentu yang ditetapkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini mencakup kewajiban perempuan untuk menjalankan perannya sebagai ibu dan istri yang taat kepada suami. Di sisi lain, beberapa ulama masih berpendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin suatu negara, berdasarkan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadis serta mengacu pada zaman kenabian, di mana kepemimpinan didominasi oleh laki-laki.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Identitas Diri:

Nama Lengkap            : Liizzah Fadia Manzil

Domisili                       : Surabaya

Tempat, Tgl Lahir       : Surabaya, 30 Mei 2003

Nomor Kontak            : 085604263469

Akun Media Sosial IG: @lizafdml_

Instansi                        : UIN Sunan Ampel Surabaya

Prodi                            : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

 

3 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Articles
Related posts
Keislaman

Tafsir Bi Al Riwayah: Jembatan Antara Al-Qur'an dan Tradisi Islam

3 Mins read
Tafsir Bi Al-Riwayah, yang juga dikenal sebagai tafsir bi al-ma’tsur, merupakan salah satu metode penafsiran Al-Qur’an yang paling banyak digunakan dalam tradisi…
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Taklif dan Sangkalan Al-Ghazali Terhadap Lawan Debatnya

4 Mins read
Kita tahu semua tindakannya Tuhan sifatnya serba boleh. Artinya, tidak ada kewajiban bagi Tuhan untuk melakukan sesuatu apapun. Tidak ada yang bisa…
Keislaman

Membentuk Perilaku Psikis yang Seimbang Dalam Masyarakat: Pengalaman Keagamaan Personal Kiai dan Santri

5 Mins read
Abstrak Manusia hadir sebagai rekonstruksi agama dan pelaku psikologisnya. Setiap agama memiliki pembelajaran psikologis yang perlu di tempuh agar menjadi manusia sejati….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights