Oleh : Zakiyatun Najwa*
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan manusia daripada makhluk Allah yang lain terletak pada akal dan hawa nafsu yang telah dimilikinya.
Dalam Al-Qur’an diterangkan bahwa manusia berasal dari tanah yang pada akhirnya membentuk segumpal daging. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ
ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (yang berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, pencipta yang paling baik.” (QS Al-Mu’minun: 12-14).
Karena manusia pada dasarnya diciptakan dari tanah yang merupakan material alam, maka sifat-sifat lahiriyah seorang manusia mengandung kekuatan alam sebagaimana makhluk hidup yang lain. Mereka saling membutuhkan dan saling bergantung dengan alam dan lingkungan.
Tidak hanya bergantung, aktivitas yang dilakukan manusia juga memengaruhi yang lain. Namun tak ada yang lebih baik dari bergantung kepada Allah SWT semata, Sang Pencipta alam semesta dan Yang Maha Kuasa.
Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, manusia tetaplah insan yang pada sifat dasarnya saling membutuhkan antara satu sama lain.
Bahkan dalam menghadapi dirinya sendiri pun ketika diliputi perasaan kecewa, gelisah, sakit hati, rapuh, dan sebagainya, mereka membutuhkan orang lain untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Seseorang yang terpercaya dan dengan setia mendengarkan keluh kesahnya, dia lah yang sering disebut dengan sahabat.
Bersahabat dengan manusia merupakan suatu keadaan yang menunjukkan bahwa itulah hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Namun hal wajar dalam kehidupan bersosial seperti sedikit pergesekan yang akan memicu renggangnya persahabatan tersebut seringkali terjadi.
Manusia tidak hanya mendapatkan berbagai ujian kehidupan, namun juga mendapatkan berbagai kenikmatan. Dan kenikmatan terbesar manusia adalah dengan diturunkannya Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan petunjuk ke jalan kebenaran.
Kesadaran atas keagungan Al-Qur’an harus selalu ada dalam jiwa setiap manusia. Selain Al-Qur’an dianjurkan untuk dibaca dan dipahami, Al-Qur’an juga harus diikuti dengan bentuk langkah yang nyata, yakni dengan menerapkan isi Al-Qur’an dalam realita kehidupannya.
Menjadi sahabat Al-Qur’an memerlukan perjuangan dengan cara membacanya setiap hari. Upaya pendekatan tersebut harus dilakukan secara intensif agar terbangun kemampuan memahami dan mengamalkannya, sehingga melekatlah jiwa Qurani dalam pribadi tersebut.
Jika sesorang telah dekat dengan Al-Quran, semua beban akan terasa ringan, hidup terasa aman, dan yang pasti akan mendapatkan keberkahan.
Mereka tidak pernah merasa hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sebab Al-Quran telah berada di dekatnya. Al-Quran juga mengandung sumber kekuatan dan ketenangan sehingga pembacanya merasa aman dalam kondisi apapun.
Jadilah pembaca Al Qur’an sehingga kita dapat merasakan adanya jalinan persahabatan yang erat dengan Al Qur’an. Rasulullah menyebut orang yang menjalin kedekatan dengan Al-Qur’an sebagai shahibul Qur’an.
Dikatakan dekat dengan Al-Qur’an ketika seseorang selalu membacanya di setiap waktu. Mereka meluangkan waktu lebih banyak dengan Al-Qur’an, sebab bagi mereka hidup terasa hampa jika tidak membaca Al-Qur’an.
Ketika seseorang dekat dengan Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan membawa syafaat baginya. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَاب
“Bacalah Al-Qur’an maka sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat dengan memberi syafaat kepada pembacanya.”
Kita dapat membedakan antara seseorang yang dekat dengan Al-Qur’an ataupun yang tidak. Bagi mereka yang dekat dengan Al-Qur’an, kehidupan sehari-harinya tidak akan terasa berat.
Mereka selalu merasa tenang dimanapun berada. Sebab interaksi yang benar dengan al-Qur’an akan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Begitu pula sebaliknya, kesalahan dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an akan menjauhkan dari Allah SWT bahkan ia akan mendapatkan laknat.
Menjadi Shahibul Qur’an memang berat karena targetnya adalah surga Allah SWT. Surga tersebut adalah surga Firdaus yang merupakan surga Allah SWT yang tertinggi.
Kenikmatan surga tidak mungkin bisa didapatkan dengan santai dan upaya yang ringan, dalam artian butuh perjuangan dan keistiqomahan. Terlebih jika kita mengistimewakan Al-Quran, maka kita pun akan diistimewakan oleh Allah SWT.
Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia saja, akan tetapi sebagai petunjuk bagi seluruh alam semesta. Shahibul Qur’an yang merupakan orang yang dekat dengan Al-Qur’an lah yang siap menyerap petunjuk dalam Al-Qur’an serta menerapkannya.
Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil, oleh karena itu jangan meremehkan hal sekecil apapun upaya yang kita lakukan dalam mendekatkan diri dengan Al-Qur’an.
Marilah kita terus bersemangat untuk mendapatkan ridha Allah SWT dengan mulai bertekad membuat hubungan kedekatan dengan Al-Qur’an. Dari proses interaksi tersebut, akan menghasilkan keimanan yang lebih mendalam terhadap Al-Qur’an.
Semakin kita dekat dan bersahabat dengan Al-Qur’an, semakin pula kita mendapatkan ketenangan dan kemudahan dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan dalam kehidupan.
*) Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan