Kafaah Dalam Membangun Keluarga (1): Perempuan dan Kafaah
Kafaah dalam bahasa Arab berarti kesamaan atau kesetaraan. Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin itu sama atau setara darahnya satu sama lain.” Maksudnya bahwa darah mereka sama satu sama lain dalam urusan qishash dan diyat. Jadi tidak ada bedanya antara darah (nyawa) orang yang terpandang dan darah (nyawa) orang yang tidak terpandang.
Adapun yang dimaksud oleh para fuqaha dengan kafaah dalam masalah pernikahan, bahwa sepasang suami isteri hendaknya sama atau setara dalam aspek-aspek tertentu, yang mana jika hal itu tidak terpenuhi maka pada umumnya akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Tentunya, pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada: pertama, riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal: sholat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya.”
Kedua, riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu.” Ketiga, atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu.” (Fathul Qadiir Juz II hal 417).
Syahdan, banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, perlu, mampu, adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang dimiliki manusia.
Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafaah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya kedua insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin untuk disatukan dengan tata cara yang benar menurut syariat Islam. Kalimat “individu yang berbeda” inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafaah dalam sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.
Dalam literatur Islam, sering kita jumpai istilah kafaah atau kufu yang berarti sepadan, sama atau seimbang. Istilah ini biasanya digunakan dalam konsep pernikahan yakni persoalan memilih calon pasangan. Dimana dalam membangun rumah tangga terkadang ditekankan adanya kesetaraan dari masing-masing pasangan. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari segala masalah yang dapat mengganggu rumah tangga dan dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Walaupun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang aspek-aspek kesetaraan itu. Dalam konteks dahulu, banyak yang menekankan tentang perlunya kesetaraan dalam garis keturunan (nasab). Perempuan bangsawan misalnya hanya boleh dikawini oleh lelaki bangsawan pula. Ketika itu, masyarakat percaya bahwa status sosial dan keturunan sangat berpengaruh terhadap kualitas dan keharmonisan keluarga.
Perempuan bangsawan boleh jadi tidak patuh dengan suami yang status sosialnya lebih rendah. Namun pada konteks sekarang, aspek kesetaraan bisa jadi bergeser pada soal pandangan hidup, budaya, ekonomi, pendidikan atau usia yang tergantung pada kultur masyarakat yang melingkupi.
Pernikahan yang berdasarkan atas kesetaraan baik status sosial, nasab atau yang lain sebenarnya tidaklah berpengaruh dalam keabsahan atau sah-nya pernikahan. Karena menurut pendapat keempat mazhab ulama sunni yakni Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi, kafaah merupakan syarat kelaziman. Dalil yang biasa dipergunakan adalah, Hadis yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni:
Artinya: “Ada tiga perkara yang tidak boleh dilewatkan; sembahyang apabila sampai waktunya, jenazah apabila ia hadir dan apabila perempuan lajang atau janda lagi kufu.”
Sebagai syarat kelaziman, tentunya, kafaah tidak perlu dipersoalkan terlalu dalam, apalagi sampai menghalangi terjadinya suatu pernikahan. Kalaupun di dalam masyarakat kita ada calon pasangan suami isteri dan atau keluarganya yang mensyaratkan kesetaraan atau kesepadanan pada aspek tertentu misalnya pendidikan atau ekonomi, maka hal itu harus kita hargai sebagai hak pribadi dan kultur masyarakat. Hanya saja, kita harus berpijak pada tujuan pernikahan yang mengarah pada kebahagiaan dan ketenangan yang didasari oleh kecocokan.
Perempuan dan kafaah
تنكح المرأة لاربع لمالها و لنسابها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك رواه البخاري و مسلم
Artinya: “Perempuan (biasanya) dinikahi karena empat faktor: karena hartanya, keturunannya (kebangsawananya), kecantikannya dan keber(agama)annya. Maka raihlah yang memiliki agama (kalau tidak) engkau akan merugi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak kita jumpai bahwa dalam posisi pernikahan, perempuan terkadang tidak banyak berperan. Dalam hal memilih kesepadanan pasangan, laki-laki cenderung lebih didorong untuk mempertimbangkan kondisi pasanganya dari berbagai aspek. Dari hadis di atas misalnya laki-laki (biasanya) memilih perempuan dengan pertimbangan fisik, keturunan, agama ataupun ekonomi. Padahal menurut penulis, realisasi tujuan pernikahan yang didasarkan pada konsep kafaah juga bisa dimulai dengan membangun relasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan pada level yang awal yakni proses memilih pasangan.
Terlebih sebagaimana pendapat Imam Zainudin bin Abdul ‘Aziz Al-Malibari:
الكفاءة وهي معتبرة في النكاح لا لصحته بل لأنها حق للمرأة والولي فلهما إسقاطها
Artinya: “Kafaah adalah sesuatu yang layak dipertimbangkan dalam pernikahan, tidak karena sahnya (pernikahan) melainkan karena kafaah merupakan hak bagi seorang perempuan dan wali. Maka bagi mereka berdualah penjatuhannya.”
Diketahui bahwa kafaah merupakan sesuatu hal yang dianjurkan dan justru merupakan hak bagi seorang perempuan dan walinya. Namun terkadang dalam masyarakat hak ini tidak dapat terpenuhi. Misalnya saja karena ada pandangan bahwa perempuan harus menerima dirinya dipilih dan bukan memilih. Perempuan seringkali dikondisikan agar jangan terlalu banyak pertimbangan dalam memilih pasangan.
Pemahaman mengenai kafaah ini sebenarnya juga sebuah upaya yang penting untuk menjajagi tentang sifat, karakter, visi, dan gaya hidup serta cara berpikir yang akan memudahkan masing-masing pasangan untuk bisa saling beradaptasi. Alih-alih perempuan mempertimbangkan pasangan yang kufu baginya, tetapi dia justru mendapat label “jual mahal”. Atau ia bakal dipandang terlalu pilih-pilih dan lainnya sehingga terkadang melemahkan posisi tawar mereka.