Diriwayatkan oleh sahabat Abi Mas’ud. Pada suatu hari ada seorang laki-laki datang kepada Kanjeng Nabi mengajukan komplain (keberatan). Laki-laki itu berkata kepada Kanjeng Nabi: “Saya sekarang tidak mau lagi ikut salat subuh karena imamnya lama sekali ketika shalat.” Begitu mendengar komplain laki-laki itu, seketika Kanjeng Nabi langsung marah.
Saking marahnya, hingga kemudian Abi Mas’ud mengatakan: “Aku tidak pernah melihat Kanjeng Nabi marah seperti marahnya beliau pada saat itu.” Namun, setelah Kanjeng Nabi marah, beliau kemudian beliau memberikan nasihat sambil berdiri, beliau bersabda: “Wahai manusia sesungguhnya di antara kalian ini ada orang yang membuat orang lain lari dari agama. Karena itu, jika kalian menjadi imam salat maka percepatlah. Karena dibelakang imam (makmum) barangkali ada orang yang mempunyai hajat, ada orang tua, anak kecil yang tidak bisa mengikuti atau berlama-lama dengan kepanjangan shalat.”
Salah satu ajaran dari Kanjeng Nabi adalah tidak membuat orang lain lari dari agama. Sekali lagi, jangan membuat orang lain lari dari agama (munaffirin) karena dengan panjangnya salat ketika kamu menjadi imam.
Diriwayatkan dari Sahabat Anas ra. ia berkata: “Aku tidak pernah salat dibelakang seseorang yang salatnya lebih ringkas dari salatnya Kanjeng Nabi, tetapi sangat sempurna. Salat Kanjeng Nabi itu hampir sama saja panjangnya satu sama lain. Begitu pun salatnya Abu Bakar. Tetapi Umar Ibn Khattab lebih panjang salatnya ketika salat Subuh.” (HR. Muslim).
Salatlah sebagaimana Kanjeng Nabi salat yang tidak memberatkan terhadap orang lain. Terhadap diri sendiri (pada saat salat sendirian seperti salat malam) kita boleh berlama-lama, akan tetapi jangan berlama-lama dalam salat ketika menjadi imam. Hawatir ada makmum yang sudah lanjut usia dan lainnya.
Akan tetapi, jika engkau berlama-lama dalam salat ketika menjadi imam, maka seseorang akan lari dari kamu meninggalkanmu dan membenci agama. Karena itu, “siapa saja di antara kamu yang menjadi imam ketika salat, maka hendaklah memendekkan bacaan salatnya, karena siapa tau dibelakangmu ada orang tua, orang lemah, dan orang yang mempunyai hajat.”
Gus Ulil mengatakan, contohlah salat Sayyid Ahmad Ibn Muhammad Alwi Al-Maliki saat menjadi imam salat. Suatu waktu pada saat beliau mengimami salat Maghrib, di rakaat pertama beliau membaca surah Al-Ikhlas, rakaat kedua membaca surah Al-Kausar. Tentu saja, beliau Sayyid Ahmad paham dan mengerti bahwa tidak semuanya jama’ah (makmum) mampu melakukan salat dengan surah-surah yang panjang.
Penting dicatat, kata Gus Ulil, bahwa kecenderungan menjadi munaffirin itu selalu ada dalam sejarah Islam, dan hal ini sangat berlawanan dengan ajaran Kanjeng Nabi. Tak hanya itu, kecenderungan orang menjadi munaffirin juga membuat orang lain tidak suka akan agama. Kenapa sebab? Karena agama dibuat sulit dan susah. Dan hal-hal yang seperti ini selalu saja muncul dalam sepanjang sejarah Islam.
Kita tahu, di era modern seperti sekarang ini gejala-gejala serupa (munaffirin) kian marak terjadi. Salah satunya adalah gampang menganggap orang lain salah, sesat, murtad, hingga kafir mengkafirkan. Mereka beranggapan bahwa, seolah-olah yang berhak masuk surga hanya dia sendiri, sementara orang lain tidak berhak masuk surga.
Salah satu tokoh yang terkena gejala munaffirin ini adalah Al-Ghazali. Sekalipun dikafirkan, namun Al-Ghazali tidak tinggal diam. Justru Al-Ghazali menulis kitab Faishal Al-Tafriqah baina Al-Islami wa Al-Zandaqah. Adalah sebuah kitab toleransi yang mengajarkan agar umat Islam tidak mudah saling menyesatkan dan mengkafirkan antar sesama orang muslim.
Sebuah Catatan
Hakikatnya, antara manusia dan agama tidak dapat dipisahkan. Kepentingan agama semakin diperlukan. Bahkan, minat terhadap agama meningkat pada abad ke-20 khususnya berkait dengan soal makna, tujuan hidup, etika, moral dan nilai.
Manusia sepakat bahwa salah satu naluri intuitif manusia yang mendasar dalam beragama adalah spiritual atau rohani, perasaan yang bening dan mendalam, tak memandang pada material dan dapat menggerakkan hubungan positif di dalam masyarakat saling menghormati, menghargai antar sesama manusia, memberi pertolongan merupakan nilai-nilai yang ditanamkan oleh setiap agama dunia.
Dan, tentu saja, semua ajaran agama memiliki tujuan yang sama, yaitu kedamaian dan anti-kekerasan, saling tolong-menolong dan memaafkan. Karena itu semua agama yang ada di muka bumi ini mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia.
Agama Buddha mengajarkan kesederhanaan. Agama Kristen mengajarkan cinta kasih. Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan agama Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam. Itu sebabnya, tak heran jika kemudian dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia, banyak agama mengajarkan kebajikan adalah semacam perwujudan dari cita-cita untuk membuat orang-orang yang jujur dan shaleh di masa depan.
Namun demikian, zaman sekarang sudah tidak bisa dinafikan lagi bahwa masih banyak individu yang menjalani kehidupan keagamaan di peringkat fungsional saja. Agama hanya digunakan untuk tujuan lain yang tidak religius. Agama hanya digunakan pada masa kecemasan saja, selama upacara rutin dan seterusnya. Padahal kesadaran keagamaan seharusnya ada secara konprehensif dalam kehidupan manusia.
Akhiran, karena agama selalu mengajarkan kebaikan, sehingga individu yang shaleh akan memiliki pola tingkah laku yang menjiwai nilai-nilai kebajikan yang dianggap orang-orang yang religus akan memiliki pola tingkah laku yang menjiwai nilai-nilai humanisme. Wallahu a’lam bisshawab.