Prof.
Buya Ahmad Syafii Maarif, Ph.D merupakan Intelektual Muslim kelahiran
Sumpurkudus, Sumatra Barat tahun 1935. Merupakan alumni University of Chicago,
Amerika Serikat dan Ohio State University, Amerika serta Universitas Negeri
Yogyakarta. Menjadi Profesor tamu pada Universitas IOA tahun 1990-1992.
Ia
pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan Presiden
World Confrence on Religion for Peace (WCRP) dan pendiri Maarif Institute. Buya
Syafii Maarif juga dikenal sebagai murid dari Prof. Fazlur Rahman, selain Prof.
Amin Rais dan Prof. Nurcholis Madjid.
Dalam
bukunya “Membumikan Islam”, Prof. Buya Ahmad Syafii Maarif, Ph.D menyatakan
bahwa setelah perang Siffin tahun 656/658 M, sejarah Islam menempuh tiga jalan
yaitu jalan Suni, jalan Syiah, dan jalan Khawarij.
Dalam perkembangan
selanjutnya ketiga arus itu telah melahirkan anak-anak arus sejarah yang banyak
dan sering berlawanan. Kesulitan kita dalam membaca jalan bersibak yang penuh
liku ini ialah karena kita selalu menghubungkan dengan gejala Islam, padahal
semua itu lebih merupakan gejala Arab.
Menurut
pengamatan Ibnu Khaldun, salah satu sifat dan watak orang Arab ialah bahwa
setiap orang mau jadi pemimpin.
Dengan kata lain sifat kepala batu mereka
merupakan penghalang utama bagi terciptanya persatuan. Fenomena historis ini
telah berlangsung selama berabad-abad dan belum tampak tanda-tanda akan
membaik.
Adalah sebuah kesalahan besar sebenarnya bagi umat Islam yang berada
di luar radius jalan bersibak di atas untuk menganggap bahwa jalan itu juga
jalan mereka.
Mereka
tidak cukup cerdas dan kritis untuk membedakan antara gejala Arab dan gejala
Islam. Sampai akhir abad ke-20, Sunni masih mewakli kelompok mayoritas, Syiah
minoritas dan Khawarij mewakili kelompok yang hampir musnah.
Menurut Jhon Weeks
dalam artikelnya “The Democraphy of Islamic Nations” menjelaskan tahun 2020
jumlah pemeluk Islam mencapaii 1,9 Milyar orang yaitu 23% dari seluruh penduduk
bumi.
Loncatan besar ini terjadi karena negeri-negeri Muslim tingkat kelahiran
kasar setiap 1000 penduduk mencapai 42,1 sementara di negara-negara maju angka itu
hanyalah 13,1. Dalam persentase pertambahan angka kelahiran itu pertahun adalah
negeri-negeri Muslim 2,8% dan negara-negara maju hanyalah 0,3%.
Angka-angka
itu menjelaskan bagi kita bahwa dinilai dari segi jumlah, dunia Islam tidak akan
kekurangan manusia beriman. Secara kuantitatif, umat Islam bagaikan semut yang
bertaburan di seluruh muka bumi.
Tetapi di depan kita segera muncul pertanyaan
maha penting: “Akankah jumlah yang besar itu punya kemampuan untuk mengarsiteki
bangunan peradaban yang berwajah ramah pada abad-abad yang akan datang ?”
Pertanyaan ini menuntut jawaban kualitatif. Jumlah umat yang besar tapi dengan
kualitas yang sedang-sedang hanyalah akan dapat menawarkan bangunan peradaban
tingkat jelata.
Wawasan
Islam tingkat jelata inilah yang sampai akhir abad ini yang lebih menguasai
alam pikiran umat pada dataran akar rumput di semua negeri Muslim.
Pada tingkat
ini memang akan sangat sukar untuk diajak berpikir tentang Islam pasca Sunisme
dan Syi’isme. Munculnya Sunisme dan Syi’isme dalam sejarah merupakan fenomena
Arab ketimbang Islam.
Menurut Prof. Buya Syafii Maarif : “Islam dalam jubah suni
dan jubah syi’i adalah Islam yang sudah sangat lelah untuk dapat ditampilkan
bagi bangunan peradaban yang akan datang.“
Yang
ajaib adalah bahwa pihak-pihak yang bersengketa sama-sama mengklaim berpedoman
kepada Alqur’an, sebuah kitab yang teramat suci untuk dijadikan pembenaran
bagi egoisme historis dan subjektivisme kelompok.
Golongan Suni (Ahlu Sunnna wal
jama’ah) yang merupakan kelompok terbanyak punya doktrin bahwa Tuhan senantiasa
berpihak kepada golongan mayoritas.
Doktrin ini di mata Alqur’an terasa sangat
aneh dan merupakan pemaksaan yaitu memaksa Tuhan berpihak kepada subjektivisme
manusia yang kebetulan menjadi mayoritas.
Golongan
Syi’i atau ahl’l-isma wa‘i (kelompok doktrin iman-imam tanpa dosa dan pendukung keadilan) adalah kelompok
minoritas yang sering berada dalam posisi kalah berhadapan dengan golongan
mayoritas yang tidak jarang menindas.
Teologi Syi’i yang kemudian berkembang
adalah teologi yang berasal dari himpitan sejarah yang serba menindas ini. Di
mata mereka golongan Suni yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berlumur
dosa tidak mungkin akan menegakan keadilan.
Keadilan baru mungkin terwujud bila
dikendalikan oleh imam-imam suci tanpa dosa. Suatu doktrin yang tidak kurang
absurdnya bila ditinjau dari seluruh ajaran Alqur’an.
Teologi
yang dirumuskan atas penderitaan sejarah adalah teologi yang dapat melahirkan pesimisme kolektif, kecuali bila diberi arti seperti yang dilakukan
Ayatullah Khomeni dan Musa al-Sadr dari Lebanon.
Sedangkan doktrin kesucian
para Imam dapat menimbulkan perbudakan spritual dan feodalisme religius. Dari
sudut pandang ini tidaklah mengherankan pada masa modern seseorang Ali
Syariati atau Hamid Enayat telah mulai
memberontak terhadap doktrin yang membelenggu jiwa seseorang.
Tapi
terlepas dari doktrin yang aneh-aneh itu, berdasarkan empirisme historis kita
mungkin dapat menyepakati bahwa kedua golongan umat itu sejak kira-kira 400
tahun yang lalu telah terpelenting ke posisi buritan peradaban. Sebuah paradoks
sejarah telah berlaku.
Kenyatannya posisi umat Islam yang telah dan masih ada
di kawasan pinggir peradaban tidak perduli Suni atau Syi’i. Umat Islam saat ini
harus meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan dan perekonomian umat hingga
dapat membebaskannya dari himpitan kebodohan dan kemiskinan.
Kedua,
secara berangsur-angsur, bijak dan bertanggung jawab kita mulai membongkar
pasungan Sunisme dan Syi’isme hingga kita menjadi Muslim merdeka kembali.
Hanya
orang merdeka sajalah yang pantas mengawali kerja-kerja intelektual strategis
yang berwibawa dan anggun di masa depan. Dengan pembongkaran yang bijak ini
diharapkan bangunan kesatuan umat mungkin dapat ditegakan kembali.