Di Indonesia, permasalahan yang berkaitan dengan penghinaan terhadap agama kerap menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di kalangan masyarakat. Hal ini tidak mengherankan, mengingat Indonesia adalah negara dengan keberagaman agama yang sangat luas, yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan kepercayaan. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, namun juga memiliki sejumlah besar pemeluk agama lain, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjaga keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama.
Setiap tindakan yang dianggap merendahkan, menghina, atau menyerang ajaran agama tertentu, dapat dengan cepat memicu ketegangan dan konflik sosial di masyarakat. Lebih jauh lagi, perbuatan tersebut dapat mengancam persatuan dan kerukunan yang telah lama dijaga di tengah keberagaman yang ada, serta berpotensi merusak stabilitas sosial dan harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, penting bagi seluruh elemen masyarakat dan aparat hukum untuk menanggapi isu ini dengan bijak agar kerukunan antar umat tetap terjaga.
Dalam pandangan hukum Islam, tindakan penistaan agama dianggap sebagai suatu perbuatan yang merusak akidah seseorang. Pelaku penistaan agama dianggap telah melakukan dosa besar yang dapat mengakibatkan kerusakan serius dalam hubungan spiritual antara individu dengan Tuhan. Bahkan, dalam beberapa kondisi ekstrem, perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai suatu tindakan yang mengarah pada murtad, atau keluar dari agama Islam. Oleh karena itu, penistaan agama tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran moral, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang tercermin dalam Al-Qur’an, yang dengan tegas melarang penghinaan terhadap agama dan keyakinan.
Di Indonesia, penistaan agama juga dilarang secara tegas dalam peraturan hukum negara. Hal ini tercantum dengan jelas dalam Pasal 156 (a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.”
Ketentuan hukum ini menggambarkan bahwa setiap tindakan yang dengan sengaja menghina, merendahkan, atau mencemooh agama, serta yang mengajak orang untuk menolak agama apapun, jelas melanggar prinsip dasar negara, yaitu Pancasila, khususnya sila pertama yang mengandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai bagian dari upaya menjaga keharmonisan dan kesatuan bangsa, perbuatan semacam ini harus dikenakan sanksi hukum yang tegas untuk menjaga stabilitas sosial dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
Di dalam Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 40 menjelaskan mengenai larangan melakukan penistaan agama berikut isi ayat surah An-Nisa’ ayat 40, sebagai berikut;
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok- olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.”
Ayat tersebut mengandung pesan yang jelas bahwa orang-orang yang beriman dilarang untuk berkumpul atau berada dalam satu majelis bersama kaum munafik yang secara terbuka menghina agama Islam dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Kaum munafik ini, ketika mendengarkan ayat-ayat Allah, tidak hanya mengingkarinya, tetapi juga memperolokolokkan wahyu Tuhan dan merendahkan nilai-nilai Islam.
Sebagai contoh, jika suatu ketika beberapa umat Islam berada dalam situasi di mana mereka duduk bersama orang-orang musyrik yang sedang membicarakan kekafiran, mencela Islam, atau menghina Al-Qur’an, dan para Muslim tersebut tidak mampu untuk membela atau menyanggah pembicaraan tersebut, maka Allah memerintahkan mereka untuk segera menjauh dan meninggalkan perbincangan yang mengandung penghinaan terhadap agama. Perintah ini juga berlaku bagi orang-orang Yahudi yang bertindak serupa dengan kaum musyrik, yaitu dengan mengobrolkan hal-hal yang berkaitan dengan kekafiran dan merendahkan ajaran Islam.
Bagi umat Islam, sangat jelas bahwa mereka dilarang untuk ikut serta dalam diskusi yang menjelek-jelekkan agama Allah, apalagi terlibat dalam percakapan yang menodai kesucian Islam. Sebagai penggantinya, mereka diperintahkan untuk menjauhkan diri dan beralih ke pembicaraan yang lebih baik dan tidak mengandung unsur penghinaan terhadap agama. Apabila seorang Muslim tetap berada dalam kelompok tersebut dan tidak menghindar dari percakapan yang penuh penghinaan terhadap ajaran Allah, maka Allah akan menganggap orang tersebut turut bersalah dan ikut serta dalam kesalahan yang dilakukan oleh kaum munafik tersebut.
Kemudian dalam penafsiran surah Al-Baqarah ayat 120 dijelaskan lebih lanjut mengenai penistaan agama;
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Ayat yang dimaksud mengungkapkan keinginan sebagian Ahli Kitab untuk melakukan berbagai tindakan yang merugikan terhadap umat Islam, terutama terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah. Mereka berencana untuk merobohkan masjid, menyekutukan Allah, serta mengingkari seruan Nabi Muhammad saw. Bahkan, mereka berusaha mengajak umat Islam agar mengikuti agama yang mereka anut, yaitu agama yang berasal dari ajaranajaran nabi-nabi terdahulu. Namun, ajaran yang mereka anut saat ini bukanlah ajaran murni yang dibawa oleh para nabi tersebut, melainkan telah mengalami perubahan dan distorsi yang jauh dari asalnya. Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh sebagian orang Yahudi dan
Nasrani ini muncul setelah mereka mendengar kabar tentang agama yang diridai Allah, yaitu Islam, beserta syariat yang terkandung dalam ajaran agama tersebut. Mereka merasa terancam oleh kedatangan ajaran Islam yang dianggap lebih sempurna dan benar, yang mengoreksi ajaran-ajaran yang mereka anut dan klaim-kan sebagai wahyu Tuhan.
Secara lahiriah, ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai sebuah peringatan yang keras mengenai kemungkinan jika beliau mengikuti tuntutan dan keinginan Ahli Kitab.
Dalam konteks ini, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit ditujukan kepada Nabi Muhammad, namun hakikatnya pesan tersebut juga berlaku untuk umatnya. Dengan demikian, inti dari Surah Al-Baqarah ayat 120 adalah agar umat Islam senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap sikap serta pandangan yang dilontarkan oleh Ahli Kitab terhadap agama Islam. Allah memberikan peringatan agar kaum Muslimin tidak terpengaruh atau ragu dalam mengikuti petunjuk yang telah diturunkan-Nya melalui Nabi Muhammad SAW, yang merupakan petunjuk yang benar dan murni.
Oleh karena itu, umat Islam seharusnya tidak mengikuti tuntutan atau ajakan yang bertentangan dengan wahyu Allah, yang jelas-jelas mengarah pada perubahan ajaran yang hakiki. Petunjuk Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad adalah petunjuk yang harus dijadikan pedoman hidup, bukan petunjuk yang dipengaruhi oleh keinginan atau kepentingan pihak-pihak lain yang ingin mengubah atau menyelewengkan ajaran agama.
Dengan demikian, Pemahaman mengenai penistaan agama dalam penafsiran Al-Qur’an menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesucian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan atau perendahan. Al-Qur’an dengan jelas memberikan petunjuk tentang larangan terhadap segala tindakan yang dapat merusak kehormatan agama dan simbolsimbolnya, sekaligus menegaskan perlunya pembelaan terhadap keimanan umat Islam.
Penafsiran yang tepat terhadap ayat-ayat tersebut sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan penerapan nilai-nilai agama yang sejati dalam konteks sosial yang pluralistik. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk terus memperdalam pemahaman terhadap ajaran Al-Qur’an, serta mengedepankan sikap toleransi dan dialog antar agama, sebagaimana yang ditekankan oleh para ahli tafsir). Dengan pendekatan yang bijaksana dan inklusif, perbedaan pandangan agama dapat dikelola dengan baik untuk menciptakan kedamaian dan kerukunan antar umat beragama.