Sumber gambar : hellosehat.com |
KULIAHALISLAM.COM – Biasanya, dalam kehidupan sehari-hari, kita dituntut untuk fleksibel, yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan atau lingkungan. Namun ada kalanya keadaanlah yang menyesuaikan dengan diri kita. Bagaimana sesuatu yang luar biasa ini bisa terjadi?
Salah satu trending topic media di minggu ini adalah diperbolehkannya Rektor sebuah perguruan tinggi negeri ternama untuk rangkap jabatan setelah presiden mengubah Statuta perguruan tinggi tersebut.
Bagi yang belum tahu, Statuta sebuah perguruan tinggi merupakan anggaran dasar bagi perguruan tinggi tersebut dalam melaksanakan aktivitasnya.
Nah, karena perguruan tinggi tersebut adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) maka statutanya ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden.
Sebelumnya Rektor tersebut merangkap jabatan menjadi komisaris sebuah BUMN padahal dalam statuta yang lama hal itu dilarang. Sontak komentar netizen pun membanjiri media-media sosial dan tidak sedikit yang menjadikannya olok-olokan.
Yang menggelikan adalah komentar-komentar netizen atas peristiwa tersebut. Saya tidak ingin mengutipnya di sini. Mengutip mas Arif Wibowo , “Aku ora melu-melu.” Silakan kalau mau ikut senyum-senyum sendiri membaca komentar netizen bisa browsing di internet.
Semua menggambarkan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang luar biasa karena mampu mengubah sesuatu yang susah untuk diubah. Saya cuma ingin kutip satu celotehan saja, mohon maaf semoga tidak ada yang tersinggung karena tujuannya bukan untuk mengolok-olok. Ada yang komen, “Rektor PTN X terlambat shalat subuh jadwal shalat diubah”.
Mungkin kalimat di atas hanya sebuah olok-olok, tapi ternyata peristiwa mengulur waktu shalat pernah terjadi dalam sejarah. Mengulur waktu lebih lama, sama dengan mengubah jadwal shalat yang sudah mapan (seperti jadwal imsakiyah waktu bulan Ramadhan).
Siapakah orang luar biasa yang mampu menahan matahari bergerak dan membuat waktu bertahan lebih lama? Apa kehebatan dan amal yang telah dilakukan orang ini?
Dialah Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah saw. Diceritakan bahwa suatu ketika Sayyidina Ali berangkat untuk shalat subuh berjamaah dengan terburu-buru, lalu di tengah jalan ada seorang kakek yang berjalan di depannya dengan tenang.
Sayyidina Ali tidak mau melewatinya karena menghormatinya, padahal matahari hampir terbit. Ketika mendekati pintu masjid, ia tidak masuk ke dalamnya. Barulah Ali tahu bahwa kakek itu ternyata seorang Nasrani. Kemudian Ali masuk ke dalam masjid dan mendapati Nabi sedang ruku’. Ternyata Nabi memanjangkan ruku’-nya hingga Ali dapat mengikuti shalat jamaah.
Ketika selesai shalat, Ali bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau panjangkan ruku’ pada shalat kali ini, padahal engkau tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya?” Maka Rasul menjawab, “Wahai Ali, ketika aku sedang ruku’ dan membaca tasbih lalu aku ingin mengangkat kepalaku, tiba-tiba Jibril datang meletakkan sayapnya di atas punggungku sambil menahanku. Setelah ia mengangkat sayapnya, barulah aku dapat mengangkat kepalaku.”
Sahabat bertanya, “Mengapa Jibril melakukan hal itu?”
Nabi menjawab, “Aku tidak bertanya tentang itu kepadanya.”
Lalu malaikat Jibril datang dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Ali terburu-buru untuk shalat berjamaah, tetapi di jalan ia bertemu dengan kakek yang beragama Nasrani. Namun ia tidak mau mendahuluinya dan menjaga haknya, padahal ia tidak tahu bahwa kakek itu seorang Nasrani. Kemudian Allah memerintahkan aku untuk menahanmu di saat ruku’ agar Ali mendapatkan shalat subuh berjamaah bersamamu.” Allah pun memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan matahari terbit dulu demi memuliakan Ali. (Diambil dari Kitab Al-Mawa’izh Al-‘Usfuriyah karangan Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ushfury)
Selain Sayyidina Ali, dalam riwayat pernah diberitakan ada seorang lagi yang mampu menahan matahari terbenam. Ia mampu menahan matahari ketika berada dalam sebuah peperangan. Akhirnya kondisi terang menjadi lebih lama, matahari juga tertahan sehingga petang tidak kunjung menjelang. Siapakah orang tersebut dan bagaimana hingga mampu memenangkan perang?
Orang itu adalah salah satu nabi dari kalangan Bani Israil yang bernama Yusya` bin Nun. Dalam hidupnya, Nabi Yusya` menyertai hidup Nabi Musa as dan mengerjakan perkara-perkara besar.
Kisahnya berawal ketika Yusya sang panglima perang ingin merebut sebuah desa. Ia melatih prajuritnya dengan berbagai strategi. Yusya’ pada saat persiapannya menuju kota yang hendak ditaklukkan, dia berusaha agar pasukannya menjadi pasukan yang kuat dan tangguh.
Kisah ini diceritakan Nabi Muhammad saw. Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Salah seorang Nabi berperang. Dia berkata kepada kaumnya, ‘Jangan mengikutiku orang yang menikahi wanita sementara dia hendak membangun rumah tangga dengannya dan dia belum membangunnya dengannya, dan tidak juga seorang yang membangun rumah tapi belum melengkapi atapnya. Tidak pula orang yang telah membekali kambing atau unta betina yang bunting sementara dia menunggu kelahirannya.’ Lalu nabi itu berperang. Dia mendekati sebuah desa pada waktu shalat ashar atau dekat waktu ashar. Maka dia berkata kepada matahari, ‘Sesungguhnya kamu diperintahkan dan akupun diperintahkan. Ya Allah, tahanlah matahari untuk kami.’ Matahari tertahan dan mereka meraih kemenangan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Nah, ternyata mengubah jadwal shalat dengan menahan matahari bisa dilakukan jika kita dekat dengan Sang Pemilik Matahari yaitu Allah SWT. Tentu syaratnya kita beriman kepada-Nya, mengerjakan amal shalih dan berqurban.
Qurban artinya mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan berqurban secara ikhlas maka kita akan makin dekat dengan-Nya. Jika kita sudah dekat dengan-Nya maka apapun yang kita inginkan pasti Allah akan kabulkan. Segala sesuatu bisa terjadi sungguhpun itu bertentangan dengan nalar.
Mampu mengubah sesuatu yang bisa diubah oleh manusia memang hebat. Tapi mampu mengubah sesuatu yang hanya Allah-lah yang mampu mengubahnya, itu baru luar biasa. Syaratnya gampang, yaitu dekat dengan Allah. Yuk, mari kita sama-sama mendekatkan diri kepada-Nya.
Oleh: Dr. Budi Handrianto
Editor : Adis Setiawan