Kuliahalislam.Imam As-Sakhawi (as-Sakha, Cairo, 1427-Madinah, 1497). Ia merupakan ahli hadits, ulama produktif dan sejarawan Islam besar pada zamannya. Nama lengkapnya adalah Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar bin Usman asy-Syakawi al-Qahiri asy-Syafi’i.
Dia dilahirkan di as-Sakha, sebuah perkampungan di Cairo, Mesir. Kakeknya orang miskin, hidup dari berdagang barang tenunan secara kecil-kecilan. Meski demikian, kakeknya rajin menghadiri majelis taklim. Ayahnya yaitu Abdurrahman juga demikian, di samping berdagang kecil-kecilan juga sering menghadiri majelis taklim.
Dia sering berhubungan baik dengan para ulama diantaranya adalah Ibnu Hajar Al- Asqalani, ahli hadits yang juga sejarawan Islam. Dari mereka inilah Imam as-Sakhawi pertama-tama menuntut ilmu terutama sekali kepada Ibnu Hajar yang sangat mencintainya. Ahli hadis dan sejarawan itu berhubungan baik dengan ayahnya as-Sakhawi, di samping rumah mereka berdekatan. Semua gurunya itu disanjung dalam kitabnya “ad-Dau’ al-Lami’ li Ahl al-Qarn at-Tasi ( Cahaya Gemerlap Bagi Masyarakat Abad ke-9 H).
Sewaktu belajar kepada Ibnu Hajar Al- Asqalani, as-Sakhawi mengkaji tulisan dalam berbagai bidang ilmu seperti hadis, sejarah dan biografi. Sebagaimana gurunya, dia banyak menulis biografi para tokoh terutama untuk kepentingan seleksi Hadits. Selain itu dia juga menulis kritik tentang hadis yang diriwayatkan oleh para tokoh itu.
Dalam hal ini dia banyak menimba ilmu dari Ibnu Hajar Al-Asqalani yang memang tak pernah lupa mengirimkan pembantunya untuk membacakan karyanya kepada as-Sakhawi, bila ia sendiri berhalangan. Tentang muridnya yang satu ini, Ibnu Hajar berkata : “Dia, yang masih muda ini, karena kesungguhan, ketekunan, kehati-hatian, dan daya kritiknya, mengungguli murid-murid yang lebih senior”. Oleh karena itu, tidak heran bila Ibnu Hajar di masa tuanya mengangkat muridnya yang cerdas ini menjadi asisten dalam memberikan pelajaran ilmu Hadis.
Ketika Ibnu Hajar Al-Asqalani meninggal dunia pada tahun 1449, as-Sakhawi begitu sangat terpukul. Dia bermaksud meninggalkan Mesir dan hijrah ke Suriah dengan maksud untuk belajar kepada ulama terkenal di sana. Akan tetapi, kedua orang tuanya mencegah maksud itu. Karena itulah dia tetap tinggal di Mesir dan terus melanjutkan studi dalam bidang ilmu hadits.
Untuk studinya itu, dia melakukan banyak pengembaraan dari satu kota ke kota besar lainnya di Mesir, seperti Dimyath, Manuf, dan Iskandariyah. Sementara itu dia juga berusaha untuk mendapatkan tugas dalam pengajaran hadits di Cairo, dengan meminta bantuan dari kawan-kawan Ibnu Hajar Al- Asqalani.
Pada tahun 1452, dia pergi menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama beberapa tahun serta berziarah ke Madinah. Sejak tahun 1453 berpindah-pindah antara Mesir, Suriah, Mekah dan Madinah. Dia menunaikan ibadah haji sebanyak lima kali dan yang terakhir pada tahun 1492. Setiap kali naik haji, dia selalu bermukim beberapa saat di Mekah, setelah itu menetap di Mesir untuk mengajarkan hadits di beberapa Madrasah di Cairo.
Pada masa-masa itulah dia menulis banyak kitab. Ketika dia ditugaskan untuk memberi pelajaran sejarah kepada Sultan Dinasti Mamluk yaitu Qait Bey ( 1468-1496), dua malam dalam seminggu, dia menolak. Bahkan dia juga mengatakan keberatannya ketika Sultan mengharapkan agar dia bersedia menerima Sultan sebagai murid khusus yang akan hadir ke kediamannya. Namun, beberapa anak sultan terus menghadiri pengajiannya.
Imam As-Sakhawi banyak meninggalkan tulisan diantaranya sebagai berikut. Pertama, Ad-Dau’ al-Lami’ fi A’yan al-Qarn at-Tasi ( Cahaya Gemerlap Tentang Tokoh-Tokoh Abad ke-9 H), 12 jilid. Buku ini adalah kamus yang memuat tokoh-tokoh terkenal abad ke-9 Hijriyah, yang disusun secara alfabetis (Arab). Satu jilid khusus berisi tokoh wanita. Karena demikian panjangnya tulisan ini, maka ada dua orang sejarawan kemudian hari membuat ringkasan dari bukunya yaitu Ibnu Abdus Salam (wafat 931 H) dengan karyanya yang berjudul al-Badr at-Talib min ad-Dau’ al-Lami’ ( Purnama Penuntut dari Cahaya Gemerlap) dan Zainuddin asy-Syima’i al-Halabi (wafat 936 H) dengan karyanya berjudul al-Qabs al-Hawi li Gurar Dau’ as-Sakhawi ( Api Unggun Peliput Bagi Penuntut Pemula Kitab Cahaya Karya as-Sakhawi).
Kedua, At-Tibr al-Masbuk fi Zail as-Suluk ( Logam Cetakan Untuk Catatan Tambahan Pada Kitab Perilaku Karya al-Maqrizi), dapat dikatakan sebagai sebuah catatan sejarah harian yang disusun berdasarkan tahun. Di ujung setiap tahun dan sebelum memasuki tahun berikutnya, dia menyebutkan tokoh-tokoh yang meninggal pada tahun itu. Buku ini kemudian dijadikan Zail (lampiran) dari karya al-Maqrizi ( sejarawan Mesir yang terkenal) yang berjudul as-Sulk li Ma’rifah Duwal al-Muluk ( Jalan Untuk Mengetahui Kedaulatan Para Raja).
Ketiga, Al-Kaukab al-Mudi’ (Planet Bercahaya), sebuah uraian tentang ulama yang hidup pada masanya. Keempat, Wajiz al-Kalam (Obrolan Singkat), uraian tentang sejarah antara tahun 745-894 H. Karyanya ini kemudian menjadi zail (lampiran) dari buku Tarikh Duwal al-Islam ( Sejarah Negara-Negara Islam) karya Imam az-Zahabi (wafat 1348).
Kelima, Al-I’lan bi at-Taubikah li Man Zamma Ahl at-Tawarikh ( Pemberitahuan Teguran Bagi Orang-Orang yang Mencela Sejarah), menerangkan tentang pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat perkembangan ilmu sejarah di samping juga memuat nama-nama sejarawan yang disusun secara alfabetis (Arab). Keenam, Al-Jawahir al-Majmu’ah wa an-Nawadir al-Masmu’ah ( Himpunan Permata dan Berita Langka), tentang kesusatraan.
Ketujuh, Al-Maqasid al-Hasanah fi Tamyiz al-Ahadis al-Masyhurah ‘ala Alsinah ( Tujuan Baik dalam Membedakan Hadis-Hadis Masyhur), menguraikan tentang tingkatan hadis. Kedelapan, Al-Jawahir wa ad-Durar fi Tarjamah Ibnu Hajar ( Permata dan Mutiara Bagi Biografi Ibnu Hajar). Kesembilan, Irsyad al-Gawi Bal Is’ad at-Talib wa ar-Rawi ( Nasihat bagi Penuntut dan Perawi Hadis).
Kesepuluh, Tabaqat asy-Syafi’iyah ( Peringkat Imam-Imam Mazhab Syafi’i). Kesebelas, Raf’ al-Isri ‘an Qudat Misr ( Mengenang Para Hakim Mesir), sebuah zail (lampiran) yang ditulisnya untuk karya Ibu Hajar. Keduabelas, Ad-Dau’ al-Lami’ li Ahl al-Qarn at-Tasi’ ( Cahaya Gemerlap bagi Masyarakat Abad ke-9 H).
Karyanya al-I’lan bi at-Taubikah li Man Zamma Ahl at-Tawarikh, yang pengertian ilmu tarikh dan kedudukan ilmu ini bagi masyarakat adalah buku yang sangat terkenal dalam bidang historiografi. Melalui bukunya ini dapat dikatakan bahwa ia telah membangun sebuah monumen penting bagi historiografi Islam.
Uraian yang disajikan dalam kitab ini pada garis besarnya meliputi pengertian tarikh dari segi bahasa, definisi tarikh menurut istilah, objek sejarah, kegunaan sejarah, arah penempatan sejarah, klasifikasi sejarah, bukti-bukti yang berkenaan dengan sejarah, kritik dalam sejarah, syarat-syarat tertentu yang diperlukan ahli sejarah dan ahli-ahli kritik terkemuka, serta karya-karya tentang sejarah.
Sesuai dengan judulnya, karyanya yang ini tergolong apolegetika yaitu untuk mempertahankan studi sejarah sebagai suatu objek kajian pembantu di dalam kurikulum pelajaran agama. Dengan segala kekurangannya, buku ini tulis setelah dia melakukan penelitian mendalam berkenaan dengan penulisan sejarah. Karyanya ini banyak memberikan informasi tentang karya-karya sejarah dan teologi serta sedikit tentang karya sejarah yang dapat disebut sebagai “sejarah umum”.
Ad-Dau’ al-Lami fi A’yan al-Qarn at-Tasi adalah kitab Imam as-Sakhawi yang terbesar. Akan tetapi menurut Muhammad Mustafa Ziyadah ( guru besar sejarah abad pertengahan Islam di Universitas Cairo), kitab ini juga mengandung kelemahan tertentu terutama karena pengarangnya sering mengecilkan arti kehadiran seorang tokoh besar dan meremehkan tokoh-tokoh kecil. Pendapat guru besar sejarah ini bukan tanpa sandaran.
Dia mengutip pendapat dua sejarawan besar yang hampir semasa dengan as-Sakhawi sendiri di Mesir yaitu Ibnu Iyas dan Imam As Suyuthi. Ibnu Iyas berkata : ” Ia (as-Sakhawi) menulis sejarah yang banyak mengandung keburukan berkenaan dengan hak-hak manusia”. Sementara itu Imam Suyuthi berkata : “Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mengarang buku sejarah yang menghimpun banyak petinggi dan tokoh, di mana penulisnya melakukan ghibah ( umpatan), penuh dengan sebutan-sebutan buruk. Dia tidak membedakan antara yang baik dan yang buruk”.

