Kuliahalislam Usman bin Affan wafat di Madinah pada hari Jumat 18 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah atau 17 Juni 656 Masehi. Sebagai khalifah ketiga pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun. Utsman bin Affan wafat dibunuh dengan kekerasan, dalam keadaan berpuasa dan sedang membaca Al-qur’an dalam usianya yang ke 82 Tahun. Utsman bin Affan mati sebagai syahid, semoga rahmat Allah dilimpahkan kepadanya, radhiyallahu anhu.
Muslimin dalam kesedihan yang sangat mendalam dan dalam kebingungan setelah kematian Utsman bin Affan. Selama 5 hari berikutnya mereka tanpa pemimpin. Sejarah sedang kosong buat Madinah, selain pemberontak yang selama itu pula membuat kekacauan dan menanamkan ketakutan di hati kaum muslimin.
Kaum pemberontak mengadakan pendekatan kepada Imam Ali Bin Abi Thalib dengan maksud mendukungnya sebagai khalifah yang dipelopori oleh Al Ghafiqi dari pemberontak Mesir sebagai kelompok terbesar. Tetapi Imam Ali menolak. Setelah Utsman bin Affan tak ada orang lain yang pantas menjadi khalifah daripada Imam Ali Bin Abi Thalib.
Dalam kenyataannya Imam Ali memang merupakan tokoh paling populer saat itu. Di samping itu, memang tak ada seorangpun yang mengklaim atau mau tampil mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menggantikan khalifah Utsman bin Affan termasuk muawiyah Bin Abu Sufyan Selain nama Imam Ali Bin Abi Thalib.
Di samping itu, mayoritas umat muslim di Madinah dan kota-kota besar lainnya sudah memberikan pilihannya kepada Ali Bin Abi Thalib, Kendati ada juga beberapa kalangan dari bani Umayyah yang tidak mau membaiat Ali dan sebagian dari mereka ada yang pergi ke Suriah.
Selain mereka, ada beberapa sahabat penting di Madinah dari kaum Muhajirin dan Anshor seperti Sa’ad bin Abi waqqash Muhammad bin Maslamah Usamah bin Zaid Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Umar radhiyallahu Anhu dan beberapa lagi yang lain yang juga belum bersedia membaiatnya.
Rupanya Sa’ad bin Abi waqqash tidak ingin jika masih ada golongan di luar yang tidak sepakat. Dia akan membaiatnya apabila muslim yang lain juga membaiat. Pendiriannya itu diikuti juga oleh sahabat-sahabat yang lain selain yang disebutkan tadi seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah Bin Salam, Nu’man Basyir, Zaid Bin Tsabit dan mughirah bin Syu’bah.
Kebanyakan sahabat nabi melihat bahwa Imam Ali Bin Abi Thalib yang paling tepat menjadi khalifah setelah Utsman bin Affan. Sebenarnya bukan ini yang diinginkan Imam Ali. Kedudukannya sekarang memang serba sulit. Mayoritas mereka tetap mendesak supaya Ali Bin Abi Thalib mau dibaiat.
Umat tak boleh terlalu lama tanpa Imam, tanpa pemimpin. Dalam keadaan yang masih kacau setelah terjadi pemberontakan sampai khalifah terbunuh, keadaan memang sangat eksplosif. Akibatnya perpecahan akan bertambah parah, umat akan saling curiga. Bukan tidak mungkin akan berakibat pecah perang saudara di Madinah. Atas pertimbangan itu Ali Bin Abi Thalib pun setuju memikul tanggung jawab sebagai khalifah.
Kaum muslimin sudah tahu bahwa dalam soal perkalian darah Ali Bin Abi Thalib adalah orang yang terdekat kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dia sepupu nabi, sejak kecil sudah bersama-sama, muslim pertama di kalangan Pemuda dan di kalangan Bani Hasyim, diserahi mengurus barang-barang amanah yang ditinggalkan di mekah saat nabi hijrah ke Madinah.
Seperti kata nabi kepada Ali, bahwa kedudukan Ali Bin Abi Thalib di samping Rasulullah adalah seperti Harun di samping Nabi Musa hanya saja tak ada nabi lagi Sesudah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ali Bin Abi Thalib pun pergi ke masjid. Pada Senin 21 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah atau 20 Juni tahun 656 masehi itu Ali Bin Abi Thalib dibaiat dan orang yang pertama membaiat adalah Talhah bin Ubaidillah, kemudian disusul oleh sahabat Zubair Bin Awwam.
Sesudah Ali Bin Abi Thalib di baiat sebagai khalifah menggantikan Khalifah Usman bin Affan tidak berarti segalanya sudah selesai sampai di situ. Bani Umayyah seolah mendapat alasan untuk menuntut kematian Utsman bin Affan. Dalam suasana di bagian ini dengan mudah sekali pihak-pihak tertentu untuk memecah kaum muslimin yang kemudian dibakar dengan kerusuhan membabi buta. This lo kedaulatan Islam terpecah menjadi dua yakni yang satu membela Bani Umayyah dan yang lain membela khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Pada Jumat pertama setelah pembayaran itu, kaum muslimin berkumpul di masjid Nabawi dan menyatakan penyesalan dan kesedihannya atas kematian Utsman bin Affan Banyak kaum muslimin yang menyalahkan Talhah dan Zubair bin awwam sebagai penyebab terjadinya pemberontakan yang mengakibatkan tewasnya Utsman bin Affan.
Sesudah masyarakat umum semua membaiat Imam Ali Bin Abi Thalib, Ali Bin Abi Thalib melihat tak seorangpun dari kalangan Bani Umayyah di masjid yang ikut membaiatnya. Ali Bin Abi Thalib begitu heran dengan sikap Bani Umayyah terhadap dirinya Karena pada saat pembaiatan Abu Bakar As Siddiq, Abu Sufyan ikut membaiatnya.
Mulai Menghadapi Tugas
Pada masa Utsman bin Affan pada tahun 31- 34 Hijriyah/ tahun 655 M, angkatan laut Romawi dengan 500-600 kapal di bawah pimpinan konstantin yakni anak Heraklius berangkat menuju Laut Tengah menuju kota Iskandariyah hendak menyerang armada kaum muslimin. Perjalanan mereka ini sudah diketahui oleh pihak kaum muslimin yang dipimpin oleh Abdullah bin Abi Sarh, Gubernur Mesir ketika itu, dengan 200 kapal yang mengangkut pasukan pemberani dan sudah terlatih.
Mereka berlabuh jauh dari kota iskandariyah, di jalan yang akan dilalui Armada Romawi. Tak kalah matahari sudah hampir terbenam kedua Armada itu mulai tampak. Sambil menunggu waktu pagi, sepanjang malam itu pasukan Romawi membunyikan lonceng dan pasukan muslim melaksanakan salat dan membaca Al-Qur’an.
Sekarang tiba saatnya kedua Abang ada itu maju dan terjadilah pertempuran laut yang sangat sengit. Kaum berhasil memenangkan peperangan dan memutuskan tidak mengejar musuh yang lari. Ancaman laut ini merupakan yang pertama dalam sejarah Islam.
Muawiyah Bin Abu Sufyan selaku Gubernur Syam waktu itu ingin Membangun angkatan laut yang kuat sehingga mampu menghadapi ancaman bahaya kedaulatan yang dilakukan oleh Romawi. Imam Ali Bin Abi Thalib tidak hanya berpikir tentang Bani Hasyim apalagi tentang dirinya. Dia harus memikirkan Islam dan persatuan umat Islam serta masa depan umat Islam.
Pidato Pelantikan
Setelah selesai di baiat, Ali Bin Abi Thalib menyampaikan pidato. Setelah mengucapkan puji dan syukur kepada Allah antara lain ia berkata : “ Allah telah menurunkan Al-qur’an sebagai petunjuk yang jelas mana yang baik dan mana yang buruk. Ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Laksanakanlah segala kewajiban pada Allah yang akan menghantarkan kalian kepada surga. Bagi kalian sudah jelas segala yang diharamkan oleh Allah dan ini merupakan suatu kehormatan bagi setiap muslim. Laksanakanlah dengan ikhlas dan Bersatulah. Seorang muslim ialah yang dapat menyelamatkan orang lain dengan lidah atau tangannya atas dasar kebenaran dan tak boleh mengganggu muslim yang lain.
Utamakan kepentingan umum, takutlah kalian kepada Allah mengenai hak-hak manusia dan negerinya. Sampai ke soal sejengkal tanah dan binatang pun kalian harus ikut bertanggung jawab dihadapan Allah. Taatlah kalian kepada Allah dan jangan melanggar perintah-Nya. Bila kalian melihat yang baik Ambillah dan bila melihat yang buruk Tinggalkanlah”.
Kemudian Ali bin Abi Thalib membacakan Al-qur’an surat al-Anfal ayat 26 :
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُو أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya : “Ingatlah ketika kamu (umat Islam) masih (berjumlah) sedikit lagi tertindas di bumi (Makkah). (Saat itu) kamu takut bahwa orang-orang akan menculikmu lalu Dia memberimu tempat menetap (Madinah), menjadikanmu kuat dengan pertolongan-Nya, dan memberimu rezeki yang baik agar kamu bersyukur”.
Ali bin Abi Thalib berpendapat hanya ada dua pilihan bagi Amirul Mukminin. Pertama, memerintah di bawah seorang Imam dengan segala konsekuensinya sebagai syarat kekhalifahan yakni harus bertakwa menjauhkan diri dari segala perbuatan dosa, kuat dan berwibawa.
Kedua, pemerintahan di bawah seorang raja dengan segala kemewahan kemegahan dan kekuasaan cenderung sewenang-wenang.Baginya penggabungan keduanya tidak akan bertemu. Sebaliknya, hanya akan berakibat fatal, akan menimbulkan bencana sebagai tragedi yang dialami oleh khalifah Utsman bin Affan.
Sumber : Ali bin Abi Thalib karya Ali Audah