Artikel

Ilmu Munasabah Dalam Ilmu Al-Qur’an

6 Mins read

Munasabah artinya
adalah berdekatan,bertalian darah;berserikat. Munasabah secara diartikan sebagai mencari hubungan atau keterkaitan antara sesuatu dengan yang
lainnya. Istilah ini dipakai dalam Ushul Fiqih dan ilmu tafsir Qur’an dalam
pengertian yang sama. Dalam Ilmu Ushul Fiqih, munasabah dilihat pada hubungan
suatu kasus dan makna yang dikandung oleh nas (ayat atau hadis) sehingga
hukumnya dapat ditentukan. Istilah Munasabah muncul ketika para ahli Ushul
Fiqih membicarakan konsep maslahat. Misalnya, Imam Abu Hamid Al-Ghazali
(450-505 H/1058-111 M) mengatakan bahwa kemaslahatan yang dapat diterima harus
terkait dengan tujuan syariat secara umum agar dapat memelihara kebutuhan pokok
manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

 Kata munasabah dalam hubungan ini tetap
diartikan sebagai keterikatan antara sesuatu dan yang lainnya. Dalam ilmu
tafsir, munasabah didefiniskan dengan keterkaitan antara suatu ayat dengan ayat
lain atau satu surah dan surah lain karena ada hubungannya antara satu dengan
yang lain  yang umum dan yang khusus,
yang kongkrit dan abstrak atau adanya hubungan sebab akibat, adanya hubungan
keseimbangan, adanya hubungan berlawanan atau adanya segi-segi keserasian informasi
Al-Qur’an dalam bentuk kalimat berita tentng alam semesta.

Para Ulama Tafsir Qur’an
mengelompokan hubungan di atas ke dalam dua kelompok besar yaitu hubungan dalam
bentuk keterkaitan redaksi dan hubungan dalam bentuk keterkaitan makna
(kandungan) ayat atau surah. Karena pembahasan munasabah dianggap sebagai
bagian penting dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, maka para Mufasir
menjadikannya sebagai ilmu tersendiri dalam cakupan-cakupan ilmu-ilmu
Al-Qur’an.

Munasabah merupakan ilmu baru
dibandingan ilmu Al-Qur’an yang lainnya. Tidak banyak Mufassir yang menggunakan
ilmu ini di dalam kitab tafsir mereka karena ilmu ini dipandang sulit dan
rumit. Selain itu, ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan. Orang yang
pertama kali mengembangkan ilmu ini adalah Abu Ja’far bin Zubair, ahli ilmu-ilmu
Al-Qur’an abad ke 3-4 H. Kemudian diikuti oleh Fakhruddin ar-Razi (543-606
H/1149-1209 M) dalam tafsirnya Mafatih Al-Gaib (Pembuka Yang Gaib).

Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuti
(849 H/1445 M-911 H/1505 M), ilmu ini pertama kali dikembangkan oleh Imam Abu
Bakar an-Naisaburi (wafat 324H) di Baghdad, Irak. Buku yang dianggap terlengkap
membicarakan ilmu Munasabah Al-Qur’an adalah “Nazm ad-Durar fi tanasub
al-Ayat wa as-surar
” karya Ibrahim bin Umar al-Biqa’i. Buku ini secara
khusus membahas keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya di dalam
Al-Qur’an. Tidak semua Ulama sepakat dengan adanya munasabah dalam Al-Qur’an
karena penemuan terhadap munasabah itu merupakan masalah Ijtihadi
(masalah yang dihasilkan melalui pengerahan kemampuan intelektual bukan dari
ayat atau hadis. Karena itu tidak semua bentuk munasabah terdapat dan ditemukan
dalam Al-Qur’an.

Imam Izz bin Abd Sallam (577-660 H),
misalnya mengatakan bahwa munasabah merupakan satu cabang ilmu yang baik tetapi
untuk menentukan adanya hubungan dan jalinan antara satu dan ayat lainnya dalam
Al-Qur’an amat sulit karena konteks ayat itu berbeda-beda, jika konteksnya
berbeda, maka munasabah tidak boleh dipaksakan hingga antara satu ayat dengan
ayat yang lain atau antara satu surah dengan surah lainnya yang saling
berkaitan. Orang yang mencari keterkaitan antara satu ayat dengan ayat lainnya
berarti menyiksa diri sendiri.Karena selain berbeda konteks, ayat itu
berbeda-beda sebab-sebab turunnya. Di samping itu Al-Qur’an sendiri diturunkan
Allah dalam bentuk rentang waktu yang begitu panjang dengan kasus dan hukum
yang berbeda. Oleh sebab itu ketidaktersusunan dan tidak adanya hubungan antara
ayat yang berbeda-beda itu wajar terjadi.

Akan tetapi mayoritas Ulama
membantah pendapat Imam Izz bin Abdusallam ini. Mereka mengatakan bahwa sudah
menjadi kesepakatan seluruh umat Islam bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan perantaraan Malaikat
Jibril adalah Al-Qur’an yang sama dengan yang terdapat di Lauh Mahfuz. Oleh
karena itu ayat-ayat dan surah-surahnya telah tersusun rapi. Tugas para Mufasir
adalah meneliti dan membahas dengan cermat keterkaitan antara satu ayat dengan
ayat lainnya atau satu surah dengan surah lainnya.

Hanya saja menurut Al-Biqa’i, setiap
orang memiliki kelebihan dan kelemahan. Demikan halnya para Mufasir. Mereka
juga mempunyai keterbatasan sehingga tidak perlu memaksakan diri untuk
mencari-cari munasabah ayat atau surah. Dalam kaitan ini para Mufasir membuat
kaidah “Al-munasabah amr ma’qul izza ‘arada ‘ala-uqul talaqqathu bi al-qabul
(munasabah adalah perkara rasional bila didasarkan pada logika yang benar, akal
akan menerimanya)”.

Imam Az-zarkasyi dalam bukunya “Al-Burhan
Fi Ulum Al-Qur
’an (Pedoman Dalam Ilmu-Ilmu Al-Qur’an) menyebutkan ada tujuh
macam munasabah. Pertama, munasabah satu surah antara satu surah dengan surah
berikutnya. Misalnya, surah Al-Fatihah berkaitan erat dengan surah Al-Baqarah
ayat 152-186, Kedua, munasabah antara akhir satu surah dan awal surah
berikutnya. Misalnya, akhir surah Al-Fatihah berkaitan erat dengan surah
Al-Baqarah. Jika akhir surah Al-Fatihah mengandung doa agar umat Islam diberi
jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat, maka surah Al-Baqarah
menjawab doa tersebut dengan petunjuk agar umat Islam berpedoman pada Al-Qur’an
sebagai pedoman hidupnya akan mendapat nikmat Allah dan tidak dimurkai Allah.

Ketiga, munasabah antara pembuka dan
kandungan sebuah surah, seperti surah Qaf yang mayoritas ayatnya menggunakan
huruf  Qaf. Sebagai contoh Al-qaul
(perkataan), Al-qurb (dekat), Al-qalb (hati) dan Al-Qur’an.
Demikian juga dalam surah ar-ra’d yang dimulai dengan kalimat Alif,
lam, ra seperti kata al-arsy, al-qamar (bulan), as-samarat
(buah-buahan), al-ard (bumi), at-turab (tanah) dan an-nar(nereka), al-arham
(hubungan silaturahmi). An-nahr (sungai) dan ar-ra’d (guruh).

Keempat, munasabah antara awal dan
akhir sebuah surah. Awal surah Al-Qasas menceritakan perjuangan Nabi Musa dalam
melawan kekuasan Fir’aun dan usahanya untuk keluar dari Mesir atas perintah dan
bantuan Allah. Adapun pada akhir surah tersebut Allah menyampaikan kabar
gembira kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan
menjanjikan akan mengembalikan beliau ke Mekah setelah sebelumnya melakukan
hijrah ke Madinah karena adanya tekanan dan siksaan dari kafir Quraisy Mekah.
Pada awal surah itu diceritakan juga bahwa Nabi Musa tidak akan menolong
orang-orang yang berbuat dosa, sementara pada akhir surah itu juga Allah
melarang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam untuk menolong orang-orang
kafir.

Kelima, munasabah antara nama dan
isi sebuah surah. Misalnya, surah Al-Fatihah memiliki banyak nama diantaranya Fatihah al-Kitab (Pembuka
Kitab), Umm Al-Qur’an  (Induk
Al-Qur’an), Sab’ al-Masani (Tujuh Ayat yang Diulang-Ulang dalam Salat), al-Kanz
(Perbendarahaan) dan al-Asas (Fondasi). Nama-nama ini sesuai dengan
kandungan yang ada dalam surah Al-Fatihah itu; nama satu surah menggambarkan
isi surah atau isi mendominasi surah tersebut.

Keenam, munasabah antara satu ayat
dan ayat lainnya dalam sebuah surah. Misalnya, surah Al-Baqarah ayat 1-20.
Kedua puluh ayat ini membicarakan tiga kelompok sosial yaitu orang mukmnin
(ayat 1-5), orang-orang kafir (ayat 6 dan 7) dan orang-orang munafik (ayat
8-20). Pada setiap  kelompok dibicarakan
pula sifat-sifat ketiga kelompok tersebut. Jika suatu surah cukup pendek, maka
seluruh ayatnya saling mendukung. Misalnya, surah Al-Ikhlas yang terdiri dari
ayat 4 ayat. Keterkaitan antara keempat ayat itu sangat terlihat dan semuanya
saling mendukung.

Ketujuh, munasabah antara penutup
satu ayat dan isi ayat itu sendiri. Misalnya, surah as-Sajadah ayat 26 artinya
: “ Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat
sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di
tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Maka apakah mereka tidak mendengarkan
(memperhatikannya) ?”.

Dalam ayat itu Allah mempertanyakan
hukuman yang diberikan-Nya kepada umat-umat sebelumnya yang tidak mematuhi
perintah-Nya tidak menjadi petunjuk bagi ummat Nabi Muhammad shallallahu alaihi
wasallam. Hal itu ditegaskan kembali pada akhir ayat. Berdasarkan beberapa
riwayat dari Rasulullah yang berkaitan dengan susunan ayat Al-Qur’an terkait
bahwa susunan ayat itu bersifat Tauqifi (atas petunjuk Allah dan Rasull-Nya).
Adapun yang berkaitan dengan susunan surah Al-Qur’an terdapat tiga pendapat.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa
susunan surah juga bersifat tauqifi. Pendapat ini dianut mayoritas Ulama
tafsir. Pendapat kedua mengatakan bahwa susunan surah dalam Al-Qur’an bersifat
Ijtihadi. Pendapat ketiga mengatakan bahwa sebagian susunan surah bersifat
Tauqifi dan sebagian lainnya bersifat Ijtihadi. Terlepas dari perbedaan
pendapat di atas, para ahli tafsir memberikan petunjuk bagaimana cara
mengetahui munasabah antara satu surah dan surah lainnya atau satu ayat dan
ayat lainnya.

Abdul Qadir Ahmad Ata, Ulama tafsir
dalam bukunya yang berjudul “Dirasah fih 
al-Wahdah al-Maudu’iyyah li Al-Qur’an (Pembahasan tentang kesatuan topik
Al-Qur’an) mengemukakan cara mengetahui munasabah tersebut. Pertama, melihat
tema sentral dari surah-surah. Kedua, mencari premis-premis yang diperlukan
untuk mendukung tema sentral itu. Ketiga, mengadakan pengelompokan terhadap
premis-premis itu. Keempat, melihat pertanyaan-pernyataan yang saling mendukung
antara yang satu dan yang lainnya.

Di samping keempat langkah tersebut
sebagai petunjuk umum, untuk mengetahui munasabah harus didukung pula dengan
berbagai pengetahuan lain mengenai Al-Qur’an, terutama pengetahuan Zauq
Adabi
(rasa bahasa). Dalam kaitan ini para Mufasir mengatakan bahwa urutan
turunan ayat dan sebab turun ayat tidak sejalan, tidak selalu menjadi
pertimbangan dalam mencari munasabah. Ilmu asbab an-nuzul (sebab-sebab
turunnya ayat Al-Qur’an) merupakan salah satu faktor pendukung dalam mengetahui
munasabah ayat atau surah.

Bagi para Mufasir, ilmu munasabah
lebih penting daripada ilmu asbab an-nuzul. Subhi as-Salih, Ulama tafsir
mengatakan ; wajar jika penjelasan tentang munasabah didahulukan dari asbab
an-nuzul karena begitu banyak yang timbul dari munasabah.Apalagi kaidah tafsir
mengatakan : Patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum
bukan penyebab tutunnya ayat yang bersifat khusus (al-‘ibrah bi umum
al-lafzi la bi khusus as-sabab
).

Sumber : Ensiklopedia Islam

2362 posts

About author
http://kuliahalislam.com
Articles
Related posts
Artikel

Jawaban Jika Anak Bertanya Bolehkah Bermain dengan Orang Yang Beragama Kristen?

2 Mins read
Jawaban jika anak bertanya bolehkah bermain dengan orang yang beragama Kristen? Ibu saya berpesan jangan bermain dengan teman-temanmu yang beragama Kristen? Apakah…
Artikel

Anak Bertanya, Berperang Demi ISIS Apakah Perintah Tuhan?

3 Mins read
Anak bertanya, berperang demi ISIS apakah perintah Tuhan? Suatu ketika, Irma bertanya kepada Ibunya, “Ibu kenapa ya di Televisi itu banyak berita…
Artikel

Jawaban Jika Anak Bertanya Apakah Kita Mendapat Pahala Jika Membantu Non-Muslim?

2 Mins read
Jawaban jika anak bertanya apakah kita mendapat pahala jika membantu non-muslim? Hakikatnya hubungan antara seorang Muslim dan non-Muslim tidak didasarkan pada kebencian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights