Pendahuluan
Saat membaca Al-Qur’an, kita biasanya fokus pada apa yang disampaikan: nilai moral, kisah para nabi, dan petunjuk hidup. Namun ada sisi lain yang sering luput dari perhatian, bagaimana pesan itu disampaikan. Setiap kata, susunan kalimat, irama, dan keseimbangan lafaz-makna dalam Al-Qur’an membentuk satu kesatuan yang sangat khas. Dari sinilah lahir konsep i‘jaz al-Qur’an, yaitu keajaiban dan ketidaktertandingan Al-Qur’an dari sisi bahasanya.
Jika kita mengakui bahwa Al-Qur’an memiliki kekuatan bahasa yang luar biasa, muncul pertanyaan berikutnya: apa yang membuatnya begitu unik? Bagaimana ia mampu “menantang akal dan pena” manusia? Dan dalam era modern, ketika akses teks begitu mudah namun pemahaman sering terpecah, bagaimana kita bisa menangkap sisi keajaiban ini dengan lebih utuh?
Pengertian dan Ruang Lingkup I‘jāz Bahasa dalam Al-Qur’an
Secara bahasa, i‘jāz berasal dari akar kata Arab jaza yang berarti “tidak mampu”. Dalam konteks Al-Qur’an, istilah ini menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk menciptakan ucapan yang setara dengan kualitas bahasa Al-Qur’an. Para pakar balaghah klasik seperti ‘Abd al-Qahir al-Jurjani dalam Dala’il al-I‘jaz menegaskan bahwa keunikan Al-Qur’an tidak hanya terletak pada makna yang dikandungnya, tetapi juga pada keindahan struktur serta hubungan antara lafaz dan makna.
Bahasa yang Menantang Akal dan Pena
1. Bentuk Sastra yang Sulit Diklasifikasikan
Pada masa pra-Islam, karya sastra Arab umumnya terbagi menjadi dua: puisi dengan pattern metrum-rima yang ketat, dan prosa bebas tanpa aturan musikal. Al-Qur’an hadir dengan format yang tidak bisa digolongkan sebagai puisi sepenuhnya, namun juga tidak bisa disebut prosa biasa, melainkan sebuah perpaduan yang unik, sehingga banyak peneliti menyebutnya “neither prose nor poetry, but a unique fusion” (tidak lalu puisi, tidak kemudian prosa). Ia tampil sebagai bentuk baru yang memadukan keindahan ritmis dengan ketegasan makna, sebuah gaya yang belum pernah ada sebelumnya.
Karena bentuknya tidak mengikuti pola sastra yang dikenal masyarakat Arab saat itu, para ahli bahasa dan penyair yang sangat terlatih pun kesulitan meniru atau menandinginya. Inilah salah satu bukti kuat i‘jaz bahasa Al-Qur’an.
2. Pilihan Kata dan Struktur Kalimat yang Tidak Lazim, namun Tepat
Kajian linguistik modern menemukan bahwa Al-Qur’an menggunakan kosakata familiar bagi bangsa Arab, tetapi menyusunnya dalam pola yang tidak biasa (bahkan baru) untuk zaman itu. Mulai dari perpindahan sudut pandang secara tiba-tiba, perubahan posisi subjek-objek, penggunaan huruf tertentu untuk efek bunyi, sampai pengurangan kata yang justru memperdalam makna.
Keanehan yang indah ini membuat pembacanya berpikir: manusia bisa merangkai kata, tetapi bagaimana mungkin susunan kata yang sederhana bisa melahirkan makna berlapis-lapis sekaligus tetap indah secara estetik? Di sinilah “akal dan pena” manusia seolah mencapai batasnya.
3. Tantangan Terbuka untuk Menandingi
Salah satu aspek paling menarik dari i‘jaz adalah adanya tantangan langsung dalam Al-Qur’an: jika manusia meragukan keasliannya, mereka dipersilakan untuk membuat satu surah saja yang sepadan dengannya (QS. 2:23). Tantangan ini bukan kiasan, bukan pula rahasia tertutup, ia bersifat publik dan terbuka.
Hingga kini, tidak ada satu pun karya yang diakui sepadan dengan Al-Qur’an, baik dari sisi balaghah, struktur, makna, maupun kekuatan pesannya. Fakta ini semakin menguatkan bahwa bahasa Al-Qur’an memiliki kualitas yang melampaui kemampuan manusia.
Refleksi bagi Kita di Zaman Kini
Di era sekarang, ketika terjemahan Al-Qur’an tersedia di mana-mana dan akses digital semakin luas, muncul pertanyaan penting: bagaimana kita bisa menangkap keajaiban i‘jaz bahasa Al-Qur’an? Beberapa refleksi ini dapat membantu kita melihat relevansinya bagi kehidupan modern.
1. Menghidupkan Apresiasi terhadap Bahasa Asli
Al-Qur’an bukan sekadar teks yang bisa kita pahami lewat terjemahan. Ada kekayaan khas dalam bahasa Arabnya yaitu pilihan kata, susunan kalimat, dan kekuatan retorika yang tidak dapat dipindahkan secara sempurna ke bahasa lain. Menyadari hal ini membuat kita lebih menghargai bahwa terjemahan hanyalah jembatan, bukan gambaran utuh dari keindahan dan kedalaman Al-Qur’an.
Kita mungkin tidak menjadi ahli balaghah atau pakar bahasa Arab, tetapi memiliki kesadaran bahwa “ada kualitas luar biasa dalam bahasa aslinya” dapat mengubah cara kita membaca. Kita membaca bukan sekadar mengulang, tetapi dengan rasa takjub dan penghargaan.
2. Tantangan di Era Terjemahan dan Globalisasi
Keunikan Al-Qur’an yang melekat pada bentuk aslinya membuat proses penerjemahan selalu mengandung pengurangan: ritme, irama, rima, serta keindahan bunyi tidak bisa sepenuhnya dibawa ke bahasa lain. Lalu bagaimana kita tetap bisa menikmati keistimewaan itu?
Caranya adalah dengan mendekati teks secara bertahap: membaca terjemahan sebagai pintu awal, mempelajari tafsir untuk memperkaya pemahaman, serta mendengarkan bacaan Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tartil. Jadi, meskipun terjemahan membantu, ia bukan satu-satunya pengalaman yang perlu kita andalkan.
3. Nilai Spiritual dan Intelektual
Pemahaman tentang i‘jāz bukan hanya menambah wawasan, tetapi juga menghadirkan perubahan sikap. Kita diajak membaca Al-Qur’an dengan hati yang lebih lembut, pikiran yang lebih terbuka, dan kesediaan untuk merenung lebih dalam.
Secara spiritual, kita belajar menangkap keindahan cara Allah berbicara kepada manusia. Secara intelektual, kita terdorong untuk terus belajar menyelami bahasa, retorika, dan khazanah keilmuan Islam. Banyak penelitian menunjukkan bahwa keindahan Al-Qur’an mampu menyentuh pembaca dari berbagai tingkat: baik ulama maupun pembaca awam, karena gaya bahasanya yang dinamis dan tidak monoton, sesuai dengan kebutuhan jiwa manusia.
Kesimpulan
Bahasa Al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah “keajaiban dalam tutur kata”. Ia bukan hanya menyampaikan nilai moral dan pesan spiritual, tetapi juga memperlihatkan kekuatan bahasa yang melampaui kemampuan akal dan sulit ditandingi oleh karya manusia mana pun. Melalui konsep i‘jāz, kita diajak melihat Al-Qur’an dari dua sisi sekaligus: sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan, dan sebagai ucapan ilahi yang perlu direnungi keindahan bahasanya.
Di masa modern ini, muncul pertanyaan penting: apakah kita sudah menghargai keunikan bahasa Al-Qur’an? Ataukah kita hanya menjadikannya bacaan rutin, tanpa menyentuh lapisan terdalam dari bentuk dan gaya bahasa Arab-nya? Membaca terjemahan memang membantu, namun tidak pernah menggantikan pengalaman menyelami teks aslinya.
Karena itu, membaca Al-Qur’an sebaiknya kita perlakukan sebagai sebuah dialog—bukan sekadar aktivitas membaca. Sebuah pertemuan antara diri kita dan sebuah teks yang luar biasa. Kita tidak hanya mendengar “apa yang dikatakan”, tetapi juga merasakan “bagaimana ia dikatakan”. Dari sini, keajaiban bahasa itu tidak berhenti pada rasa kagum, tetapi dapat berubah menjadi kesadaran, kepekaan, dan bahkan transformasi batin.
Referensi
Meraj Ahmad Meraj, Literary Miracle of the Quran, International Journal of Humanities & Social Science Studies (IJHSSS) A Peer-Reviewed Bi-monthly Bi-lingual Research Journal, Volume-III, Issue-III, 2016.
Sulaiman, I’jaz Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Ilmu Bahasa, JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH:Media Kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits Multi Perspektif, Vol. 18, No. 2, 2021.
Thonthowi dkk, I’jaz Al-Quran in Linguistic Perspective and it’s Impact on the Readers, Insyirah:Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi IslamVol. 7, No. 1, 2024.
Idris Siregar dkk, Ijaz Al-Quran dalam Pandangan Muktazilah, Intellektika: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Volume. 2 No. 4, 2024.

