Hukum Pay Later di Marketplace; Bagi Penjual dan Pelanggan
Pendahuluan
KULIAHALISLAM.COM – Kita
tentu harus berhati-hati terhadap setiap transaksi daring yang sekarang telah
menjadi tren di era digital sekarang ini. Salah satunya adalah layanan Pay
Later yang disediakan oleh berbagai platform marketplace berbentuk online
shop.
Sebelum membahas hukum syariatnya, apakah sistem seperti ini
diperbolehkan secara syariat baik oleh pembeli, customer dan juga penjual, merchant, mari setidaknya
kita menelaah beberapa hal yang menyebabkan fitur Pay Later ini menuntut
kewaspadaan bagi setiap pelanggannya.
Pertama tentu, sebagai manusia
normal, kita akan mudah tertarik. Kita hanya perlu mengambil gawai, tanpa butuh
waktu lama, Kita bisa mendapatkan barang/jasa yang sedang kita butuhkan meski
saat ini kita sedang tidak memiliki dana.
Belum lagi, layanan ini tidak hanya menawarkan kemudahan dan kecepatan, tetapi juga semakin
menggiurkan kita ketika layanan bayar nanti ini menyediakan fitur cash back yang lebih besar, diskon yang lebih besar dan
potongan khusus, bahkan promo barang yang lebih memikat dibandingkan dengan
yang ditawarkan transaksi lainnya seperti Cash on Delivery (COD) atau
pembayaran transfer kontan.
Di sinilah, kemampuan
memanajemen keuangan kita diuji dengan keinginan manusiawi yang cenderung boros,
sehingga rela berhutang demi fantasi kepemilikan. Hidup yang menyeret kita pada
kerentanan untuk royal, berlebih-lebih, konsumtif, porah, ini lah yang menjadi
temannya Setan.
Bukankah Nabi SAW juga telah mengajarkan ummatnya doa untuk
melindungi diri dari jeratan hutang dan perbudakan? Sebagaimana yang dikabarkan oleh Abu Umamah
mengamalkan doa tersebut lepaslah dia dari kebingungan dan dimudahkan dalam
melunasi utang-utangnya.
“Setelah membaca do’a tersebut,
Allah berkenan menghilangkan kebingunganku dan membayarkan lunas
hutangku.” (HR Abu Dawud 4/353)
Doa perlindugan dari jeratan hutang
dan perbudakan:
“Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku
berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau
dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan
kesewenang-wenangan manusia.”
Selain
alasan menghindari sifat boros di atas, sebagai Ummat Islam kita juga
semestinya taat terhadap hukum syariat dalam setiap transaksi ekonomi yang kita lakukan. Sebagai manusia yang sadar
tentang konsekuensi dunia dan akhirat, kita perlu menyelediki terlebih dahulu
potensi dosa dan syubhat yang terdapat dalam fitur Pay Later ini.
Hukum Sebagai Pembeli, Customer, Buyer dalam Fitur Pay
Later di Platform Marketplace
Kebanyakan Fitur Pay Later yang disediakan
platform market place sekarang ini menjerat umat islam ke dalam praktek
ribawi. Secara teknis ketika kita
bertransaksi jual beli di sebuah platform marketplace, akad dalam
layanan bayar nanti bukanlah sekedar transaksi jual beli secara utang/atau pun
angsuran, tetapi akad utamanya
adalah pemberian pinjaman/ utang dari
pihak platform untuk membeli suatu
barang/jasa yang dibayarkan secara kontan kepada penjual (merchant).
Lalu
setelahnya karena kita mendapat pinjaman,
maka kita membayar pinjaman tersebut secara menyicil yang tentu saja diikuti
dengan bunga sekian persen. Sederhananya, kita berhutang kepada marketplace
untuk membeli barang/jasa yang kita inginkan, lalu kita diharuskan membayar
hutang tersebut dengan cicilan berbunga.
Ini hampir mirip dengan sistem kartu
kredit yang ada pada fitur perbankan; dimana perusahaan digital akan menalangi
pembayaran terlebih dahulu dan konsumen bisa membayarnya sesuai tanggal sebelum
jatuh tempo.
Dalam islam, adanya unsur ziyadah
(tambahan) yang disyaratkan/ disepakati di awal transaksi oleh baik pihak
peminjam dan atau pemberi pinjaman; dalam hal ini antara penerbit Pay Later
kepada customernya, adalah riba. Meskipun bunganya ringan, maka tetap
haram dilaksanakan.
Selain itu imam Ibnu Khudamah dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa setiap
pinjaman yang disepakati adanya persyaratan, tambahan dari dalam pinjaman
tersebut, maka pinjaman tersebut adalah riba, ini tidak ada perpedaan pendapat
di kalalangan ulama.
Selain alasan riba tadi, terdapat 3 unsur
lainnya yang menyebabkan fitur ini tidak layak dilaksanakan oleh pelanggan
muslim, Yaitu:
Pertama, sistem denda. kebanyakan marketplace
bahkan mensyaratkan persenan denda jika customer terlambat membayar di tanggal
tertentu di setiap cicilannya. Unsur ziyadah yang kedua ini juga haram
dilakukan karena denda ini termasuk riba. Denda ini termasuk riba karena denda
ini menjadi manfaat yang diterima oleh Platform marketplace atas jasa
pinjaman yang diberikan kepada customer.
Sementara dalam penetapan denda
seharusnya merujuk pada standar syariah internasional AAOIFI dan Fatwa Nomor 17
/DSN-MUI/IX/2000; dimana denda/ sanksi berupa uang itu diperbolehkan dengan
ketentuan berikut.
a)
Bertujuan agar mitra menerapkan kedisiplinan
dalam melaksanakan kewajibannya.
b)
Dikenakan bagi pihak yang mampu
membayar, tetapi sengaja menunda-nunda pembayaran.
Sebagaimana juga dengan hadist Rasulullah Saw,
“Menunda-nunda pembayaran utang
yang dilakukan oleh orang mampu merupakan suatu kezaliman.” (HR. Jama’ah).
c)
Denda yang telah dibayarkan nantinya
dimanfaatkan sebagai dana sosial.
Kedua, sistem biaya admin. Selain unsur ziyadah
denda dan bunga, beberapa platform juga meminta persenan biaya admin dalam
transaksi tersebut. Persenan biaya admin seperti ini jelas keharamannya. Karena
jasa pembayaran admin dengan persenan yang disesuaikan dengan harga barang/jasa
itu akan menyebabkan fluktuasi nilai yang berbeda-beda.
Upah relatif ini disebut mazhul dalam terminologi hukum
Islam. Kecuali bila biaya admin ini ditentukan sebagai akad jasa (izaroh) yang dibayarkan dalam wujud
nominal yang tetap; bukan persenan. Maka transaksi yang diikuti pembayaran jasa
admin seperti ini masih boleh dilakukan.
Ketiga, teknis awal aktivasi fitur Pay Later. Sistem persyaratan permulaan inilah menyebabkan fitur ini semakin sulit kita
terima. Secara teknis sebelum seorang pelanggan diizinkan menggunakan layanan bayar nanti, pihak
platform biasanya mensyaratkan agar customer membeli barang/ jasa secara
rutin di marketplace tersebut.
Ketentuan ini berlaku berdasarkan sistem
algoritma yang menentukan kurun waktu
maupun kadar nilai nominal barang/ jasa yang diwajibkan dibeli oleh kita. Seolah
penyedia service platform Pay Later ini mengatakan bahwa “saya baru akan
membantu/ meminjamkan anda jika anda mau membeli barang/jasa di platform kami
terlebih dahulu secara rutin dan sesui besaran nominal yang telah kami
tentukan.”
Melihat teknis aktivasi tersebut, pihak
platform marketplace mendapatkan manfaat dari jual beli itu agar bisa
menerapkan akad pinjaman kepada pelanggannya. Dengan sistem aktivasi Pay
Later ini maka kegiatan jual beli ini juga menjadi haram karena jelas telah
menggabungkan akad jual beli dengan pinjaman. Syarat seperti ini tentu
diharamkan sesuai dengan apa yang telah telah dikabarkan oleh Amr ibnu Syu’aib,
“Sesungguhnya tidak boleh dua syarat dalam
jual beli dan tidak boleh jual beli (digabung) dengan pinjaman.”
(Al-Mu’jam al-Ausath 1498).
Lalu, ada lagi hadis Amr ibnu Syu’aib, “Tidak halal pinjaman dengan jual beli.” (HR an-Nasa’i 4611).
Selain hadis tersebut, Standar AAOIFI Nomor 19
tentang Qardh juga menegaskan: “Tidak boleh mensyaratkan jual beli, akad
sewa, atau akad mu’awadhah, lainnya yang digabung dengan pinjaman.”
Hukum Sebagai Penjual, Merchant, Seller dalam Fitur Pay
Later di Platform Marketplace
Berdasarkan unsur-unsur tadi, maka transaksi daring
dengan model Pay Later seperti ini adalah haram. Lalu bagaimana dengan
pihak penjual, merchant yang menjual barang dan atau jasa di dalam
platform marketplace yang menyediakan fitur Pay Later ini?
Pertama pada dasarnya hukum asalnya adalah
boleh karena sebagai mercant niatnya hanya
menjual di marketplace tersebut. Tetapi karena
akhirnya menjerumuskan customer/ pembeli untuk terlibat dalam praktik
ribawi, maka hukumnya menjadi haram.
Hukum yang diterapkan untuk masalah ini disesuaikan dengan kaidah “wasilah yang menjadikan sesuatu perkara
kepda yang haram, maka wasilat tersebut juga haram.”
Jadi,
perbuatan apa pun yang dapat mengantarkan pelakunya kepada perkara haram, maka
perbuatan tersebut menjadi haram juga. Ini seperti apa yang dijelaskan oleh
Syaikh Zakariya bin Ghulam Al Bakistani yang menjelaskan:
“Sebagaimana
seandainya seorang melakukan shalat sunah yang membuat tertinggalnya shalat
wajib. Seperti seorang yang shalat malam begitu lama, namun dia tertidur dari
shalat subuhnya. Atau melaksanakan perbuatan mubah yang mengantarkannya kepada
perbuatan haram, seperti seseorang yang menyepi sendirian lalu dia melakukan
perbuatan yang diharamkan, maka tidak disyariatkan dia menyendiri jika hal itu
menjadi sebab terjatuhnya pada perbuatan haram, atau menghayalkan
perkara yang haram maka itu juga haram.”
Ketentuan
ini juga sesuai dengan kaidah fiqh jual beli yang menentukan bahwa setiap jual
beli yang mendukung perkara maksiat. Maka jual beli tersebut haram. Jadi, sebagai penjual, merchant kita pilih
saja sistem penjualan yang tidak melalui fitur Pay Later.
Namun
apabila tidak memungkinkan bagi kita sebagai penjual untuk mengetahui apakah
barang/ jasa yang kita jual memanfaatkan
sistem Pay Later atau tidak. Maka ini posisinya menjadi tidak jelas/ syubhat.
Sebagai ummat yang taat sebaiknya kita menjauhi perkara yang syubhat
sebagai yang dikabarkan oleh An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh
kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat,
maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.
Barangsiapa yang
terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.
Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah
larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah
larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.”
(HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)
Saran
Di akhir pembahasan ini, izinkan penulis
memberikan saran kepada pemilik platform untuk lebih banyak memahami islam
syariat. Karena sementara kebanyakan customer di Indonesia adalah ummat
islam yang sudah mulai melek syariah muamalah, maka sebaiknya setiap marketplace
mulai mempertimbangkan layanan yang disediakannya.
Terkhusus Layanan Pay
Later ini agar disesuaikan dengan hukum syariat Islam. Dengan
disesuaikannya layanan ini, maka tentu akan berujung pada peningkatan customer
pelanggan yang menggunakan platform jual beli yang Anda tawarkan.
Juga saran kepada Pelaksanan kebijakan
terkhusus para pengawas di OJK (otoritas Jasa Keuangan) agar mulai
mempertimbangkan dan memasukkan syari’at Islam sebagai norma ketika mengawasi platform transaksi online seperti marketplace terkhusus yang menerapkan
layanan Pay Later yang penggunanya tentu sangat banyak dari kalangan
muslim. Sekian. Wallahu A’lam Bishawab…