Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban |
Beberapa sahabat bertanya tentang hukum menghidupkan malam Nishfu (pertengahan) Sya’ban. Untuk menjawab pertanyaan itu kita akan sarikan sebuah risalah yang ditulis oleh Syekh Abdullah bin Shiddiq Al-Ghumari rahimahullah yang berjudul Husnul Bayan fi Lailah an-Nishf min Sya’ban.
***
Yang pertama kali menghidupkan malam Nishfu Sya’ban adalah beberapa ulama dari kalangan tabi’in Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul dan Luqman bin Amir rahimahumullah. Ini diikuti oleh sekelompok ahli ibadah dari Bashrah. Sementara itu, beberapa ulama Hijaz mengingkari hal ini dan menganggapnya sebagai sesuatu yang bid’ah, seperti ‘Atha` bin Abi Rabah, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqaha Madinah dan lain-lain.
Suatu kali ada orang berkata pada Ibnu Abi Mulaikah: “Sesungguhnya Ziyad an-Numairi mengatakan bahwa pahala malam Nishfu Sya’ban itu sama dengan pahala Lailatul Qadar.” Mendengar hal itu, Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Seandainya aku mendengar langsung ia mengatakan itu dan di tanganku ada tongkat pasti aku akan pukul ia.” Ziyad ini adalah seorang qash (orang yang biasa menyampaikan cerita dan hikayat yang melembutkan hati).
***
Para ulama yang berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban adalah sesuatu yang baik, juga berbeda pendapat tentang bagaimana cara menghidupkannya. Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin Amir berpendapat bahwa menghidupkan malam itu dianjurkan dilakukan secara berjamaah dan di masjid. Imam Ishaq bin Rahuyah, seorang ulama hadits terkenal, juga berpendapat demikian.
Ulama lain berpendapat makruh hukumnya menghidupkan malam itu secara berjamaah, tapi tidak makruh kalau dilakukan secara indivudual. Ini juga pendapat Imam Al-Awza’i.
***
Muncul pertanyaan, sebenarnya apakah ada hadis yang secara spesifik berbicara tentang keutamaan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban? Jawabannya ada. Akan tetapi sebagian atau bahkan seluruh hadis itu tak luput dari kelemahan dari segi sanad. Bahkan Imam Abu Bakar bin Al-‘Arabi Al-Ma’afiri berkata: “Tak ada satupun hadis yang layak didengar tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban.”
Tentu saja pendapat Ibnu Al-‘Arabi ini tidak disetujui oleh ulama hadis yang lain. Karena meskipun tidak sampai ke derajat shahih, sebenarnya ada beberapa hadis yang setidaknya memiliki derajat jayyid yang bisa diamalkan untuk fadhail a’mal.
Diantara hadis yang menjelaskan tentang keutamaan menghidupkan malam nishfu Sya’ban adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar dan Al-Baihaqi dari sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَنْزِلُ اللهُ إِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِكُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ لِرَجُلٍ مُشْرِكٍ أَوْ رَجُلٍ فِى قَلْبِهِ شَحْنَاءُ
“Allah subhanahu wa ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban lalu mengampuni setiap makhluk, kecuali orang yang musyrik atau orang yang di dalam hatinya ada permusuhan.”
Imam Al-Mundziri mengomentari Hadis ini: “Sanadnya tidak ada masalah.”
Hadis yang lain diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Makhul dari Katsir bin Murrah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فىِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ اللهُ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلاَّ مُشْرِكًا أَوْ مُشَاحِنًا
“Di malam Nishfu Sya’ban Allah akan mengampuni penduduk bumi kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
Setelah meriwayatkan hadis ini Imam Al-Baihaqi berkomentar: “Hadis ini mursal jayyid.”
***
Apakah ada shalat khusus yang dianjurkan untuk dilakukan di malam ini ?
Tidak ada hadis shahih bahkan dhaif yang menganjurkan shalat di malam ini. Yang ada justru hadis-hadis maudhu’ (palsu), seperti hadis :
مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً يَقْرَأُ فىِ كُلِّ رَكْعَةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً لَمْ يَخْرُجْ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ
“Siapa yang shalat di malam Nishfu Sya’ban sebanyak dua belas rakaat, di setiap rakaat ia membaca qulhuwallahu ahad tiga puluh kali, niscaya ia tidak akan keluar (meninggalkan dunia ini) sebelum ia melihat posisinya di surga nanti.”
Hadis ini dihukumi palsu oleh Imam Ibnu Al-Jauzi dan Imam As-Suyuthi rahimahumallah.
Imam Al-‘Iraqi dalam kitabnya Al-Mughni (takhrij hadis-hadis dalam Ihya` Ulumuddin) mengatakan :
حديث صلاة نصف شعبان حديث باطل
“Hadis shalat Nishfu Sya’ban adalah batil.”
Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ menulis :
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلى بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب وإحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فإن كل ذلك باطل ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الأئمة فصنف ورقات في استحبابهما فإنه غالط في ذلك وقد صنف الشيخ الإمام أبو محمد عبد الرحمن بن إسماعيل المقدسي كتابا نفيسا في إبطالهما فأحسن فيه وأجاد رحمه الله
“Shalat yang dikenal dengan sebutan shalat raghaib yaitu dua belas rakaat yang dikerjakan antara Maghrib dan Isya di malam Jumat pertama bulan Rajab, dan juga shalat Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat ; kedua shalat ini adalah bid’ah yang buruk sekali. Jangan sampai terkecoh (untuk melakukannya) hanya karena ia disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin serta hadis yang terdapat di dalamnya karena semua itu batil. Jangan sampai terkecoh pula dengan penjelasan sebagian ulama yang mengatakan itu sunnah karena semua itu keliru. Imam Abu Abdurrahman bin Isma’il Al-Maqdisi sudah mengarang satu kitab yang sangat bagus untuk membatalkan kedua jenis shalat itu.”
Imam Ibnu Shalah juga berpendapat senada :
أما الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب فهي بدعة وحديثها موضوع وما حدث إلا بعد الأربعمائة من الهجرة
“Adapun shalat yang dikenal dengan shalat raghaib, ini adalah bid’ah dan hadisnya maudhu’. Praktik shalat ini baru terjadi empat ratus tahun setelah hijrah.”
Namun demikian, untuk malam Nishfu Sya’ban, Ibnu Shalah sepakat dengan para ulama yang mengatakan bahwa menghidupkannya adalah dianjurkan:
وأما ليلة النصف من شعبان فلها فضيلة وإحياؤها بالعبادة مستحب ولكن على الانفراد من غير جماعة
“Adapun malam Nishfu Sya’ban, ia memiliki keutamaan dan menghidupkannya adalah sunnah, tetapi dilakukan secara sendiri-sendiri, bukan berjamaah.”
***
Bagaimana menghidupkan malam Nishfu Sya’ban? Menghidupkannya adalah dengan cara tilawah Al-Quran, berdzikir dan berdoa.
Diantara doa yang baik dibaca adalah :
أَعُوْذُ بِعَفْوِكَ مِنْ عِقَابِكَ وَأَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ جَلَّ وَجْهُكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلىَ نَفْسِكَ
“Aku berlindung dengan kemaafan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu. Aku berlindung dengan-Mu dari-Mu. Maha agung Dzat-Mu. Tidak aku hinggakan pujian terhadap-Mu. Engkau sebagaimana pujian-Mu terhadap Dzat-Mu.”
***
Sebagai catatan tambahan, Imam Ibnu Shalah yang awalnya memfatwakan bid’ah melakukan shalat di malam Nishfu Sya’ban, setelah itu rujuk dari fatwanya tersebut dan kemudian mengatakan bahwa shalat di malam Nishfu Sya’ban itu adalah sesuatu yang dianjurkan.
Tapi ia tetap berpendapat bahwa hadis-hadis tentang shalat di malam tersebut adalah palsu. Ini bukti bahwa palsunya sebuah hadis tidak serta merta berarti bahwa amal yang dijelaskan oleh hadis itu menjadi bid’ah untuk dilakukan, karena boleh jadi kesunnahan amal itu diambilkan dari dalil-dalil yang lain.
Namun demikian pendapat Ibnu Shalah ini dibantah oleh Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam. Tidak hanya itu. Murid-murid Ibnu Shalah sendiri juga ikut membantah gurunya dalam masalah ini, seperti Imam Abu Syamah dan Imam Nawawi.
Ini juga menjadi bukti bahwa bermazhab tidak berarti fanatik pada seluruh pendapat guru. Yang menjadi standar tetaplah dalil, terutama Al-Quran dan Sunnah. Ulama lain yang juga sependapat dengan Imam Izzudin tentang bid’ahnya shalat Nishfu Sya’ban adalah Imam Taqiyyuddin As-Subki.
***
Sebagai kesimpulan :
Pertama: malam Nishfu Sya’ban memang memiliki fadhilah (kelebihan) dan menghidupkannya dengan ibadah adalah sesuatu yang dianjurkan.
Kedua: tidak ada shalat khusus yang dianjurkan pada malam itu.
Ketiga : menghidupkan malam itu adalah dengan memperbanyak tilawah Quran, dzikir dan berdoa.
والله تعالى أعلم وأحكم
Oleh: Ustaz Yendri Junaidi