KULIAHALISLAM.COM– Fenomena kekinian yang sedang mengguncang masyarakat kita, tidak bisa dilepaskan dari letupan kemarahan akibat fleksing gaya hidup hedonis para elit dan artis. Kerlip kemewahan dipamerkan di media sosial tanpa henti, justru membuat sebuah jurang empati yang semakin dalam antara mereka dengan kehidupan masyarakat kebanyakan. Hilangnya empati ini ibarat api yang menyulut bara kemarahan rakyat, yang lama-kelamaan beralih menjadi anarki — sebuah gerakan pemberontakan terhadap tatanan sosial yang ada.
Dr. Arief Budiman, seorang akademisi sosial, menegaskan bahwa empati adalah kemampuan yang mendasari solidaritas dan kemanusiaan. Ketika empati terkikis oleh sikap egois dan pamer kekayaan, maka masyarakat yang dulunya bisa diajak dialog kini berubah menjadi medan konflik. Ia berkata, “Ketika empati hilang, tinggal egoisme dan kepentingan pribadi yang menguasai panggung sosial” (Budiman, 2018).
Bila kita menilik sejarah sebagai cermin — akar gerakan anarki sejatinya berawal dari Revolusi Perancis abad ke-18, ketika rakyat bangkit menolak tirani dan ketidakadilan monarki absolut. Semangat kebebasan tersebut menular ke Rusia dalam Revolusi Bolshevik dan membuahkan gelombang anarko di Ukraina yang menolak otoritas sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang dianggap menindas. Dr. Noam Chomsky, cendekiawan dan aktivis sosial, menyatakan bahwa “Anarki adalah penolakan terhadap otoritas yang dirasa tidak adil, sebuah reaksi atas penindasan dan ketidaksetaraan” (Chomsky, 2013).
Pengamatan ini mengerucut pada fenomena sekarang: apabila kekayaan pameran tanpa empati oleh elit sosial terus berlanjut, masyarakat yang tersakiti bisa dengan sangat mudah tergoda untuk mengambil tindakan anarki sebagai bentuk perlawanan. Tapi, bagaimana pandangan agama dalam hal ini?
Dalam perspektif Islam, pamer kekayaan adalah perbuatan yang dikecam. Imam Al-Ghazali menegaskan, “Pamer harta hanya menimbulkan kesombongan yang mengantarkan pada kehancuran” (Al-Ghazali, 2005). Islam mengajarkan supaya kita bersikap sederhana dan rendah hati, menjauhi riya dan sombong yang merusak hubungan sosial. Apalagi tindakan anarki yang berujung pada penjarahan dan perompakan, jelas-jelas haram dan bertentangan dengan prinsip keadilan dan keamanan dalam masyarakat. Dr. Yusuf al-Qaradawi dengan tegas berujar, “Anarki dan penjarahan adalah kerusakan yang sangat dilarang dalam Islam karena merusak tatanan dan menimbulkan penderitaan bagi sesama” (al-Qaradawi, 2011).
Maka dari itu, situasi krisis ini menuntut kita semua untuk bersama-sama intropeksi dan merenung. Bagi mereka yang telah kehilangan harta akibat anarki, inilah saatnya bermuhasabah dan memahami betul arti kerugian itu. Bagi yang berbuat anarki dan penjarahan, sudah saatnya bertaubat nasuha, berhenti menebar kerusakan yang membawa derita. Untuk yang masih pamer tanpa kehilangan, bijaksanalah; ingatlah bahwa kekayaan bukan segalanya dan pamer hanya menambah luka sosial. Dan bagi yang tengah merencanakan anarki, tahanlah diri, sebab kerusakan yang ditimbulkan tak hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri dan masa depan bangsa.
Akhirnya, kita diajak untuk membangun masyarakat yang tidak hanya makmur secara materi, tapi juga kaya akan empati dan solidaritas. Karena tanpa empati, tidak akan ada keadilan, dan tanpa keadilan, anarki dan kekacauan akan terus mengintai. Ada baiknya kita mengingat perkataan dibawah ini:
“Penindasan tidak hanya berupa tindakan fisik, tapi juga berupa hilangnya kemampuan untuk berempati dan memahami sesama.”- Paulo Freire.
Billahi fisabil Haq, Fastabiqul khairat.
Nasrun Minnalahi wa fathun qarib