Sudah mafhum bahwa sebenarnya, ada aturan yang jelas untuk kepemimpinan, yang harus ada. Namun, dalam sejarah, banyak pemimpin yang telah melakukan apa pun untuk menjadi pemimpin. Dunia politik penuh dengan “trik” kotor untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Elit politik memiliki banyak kepentingan yang berbeda dari berbagai golongan, kelompok, dan parpol. Jika tidak ada kesepakatan, konflik akan muncul dan seringkali berujung pada penyelesaian kekerasan. Dalam berpolitik secara manusiawi dan beradab, standar moral sering disebutkan. Namun, itu hanya merupakan aspek retorika politik.
Itu sebabnya, tak heran jika Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa sejatinya perihal politik (imamah: sang pemimpin politik) sangat tidak penting, dan juga tidak masuk dalam bagian akidah. Lebih dari itu, sering kali pembahasan soal politik akan menimbulkan sikap fanatisme buta (al-Matsar li al-ashabiyah).
Karena itu, ketika membahas soal politik ada baiknya tidak terlalu mendalam. Sebab, watak politik akan selalu melibatkan emosial yang pada akhirnya bisa menimbulkan kebencian antar sesama. Itulah watak imamah.
Anda tahu! Sistem politik setelah nabi wafat ditegakkan dan dipilih secara demokrasi. Bukan berdasarkan al-nas al-dhiny (teks agama) yang menunjukkan secara eksplisit bahwa yang berhak menjadi pemimpin setelah nabi wafat adalah si A, B atau C.
Tentu saja berbeda dengan pandangan Syiah. Masalah imamah di nas di dalam agama (manshushun alaiha). Artinya, nabi sendiri secara eksplisit mewasiatkan siapa yang akan menggantikannya, yaitu Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Pertanyaannya adalah lalu siapa imam yang berhak dipilih? Adalah orang yang memenuhi syarat. Diantaranya adalah beragama Islam, laki-laki, adil, mempunyai kemampuan, keturunan quraisy dan seterusnya. Ini adalah syarat yang dibuat oleh ulama sesuai dengan konteks zamannya. Tentu saja, jika diterapkan zaman sekarang maka harus dipahami ulang karena konteks zaman berbeda.
Tak hanya itu, termasuk syarat menjadi pemimpin juga harus ditaati. Sebab, tujuan pemimpin dipilih adalah untuk menciptakan harmoni sosial. Dengan demikian, jika seorang pemimpin tidak bisa menciptakan keamanan dan stabilitas keutuhan masyarakat, lalu apa gunanya jadi pemimpin?
Yang tak kalah pentingnya untuk dikatakan adalah seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan (terutama keislaman) yang bisa mengatasi berbagai masalah di dalam negara. Bahwa hubungan antara politik sebagai satu-satunya cara untuk menjamin ketaatan universal terhadap rencana Islam sebagai sistem yang menyeluruh untuk menata kehidupan manusia.
Bagaimana jika ada pemimpin yang tidak terlalu alim?
Syahdan. Seseorang bertanya kepada Al-Ghazali, “Kalau seandainya ada seseorang dipilih jadi pemimpin tetapi ia tidak terlalu mempunyai pengetahuan (alim), namun ia mempunyai tim untuk memberikan nasehat, apakah boleh?” Al-Ghazali menjawab, “Boleh-boleh saja, dengan catatan bisa mencegah kerusakan sosial dan lainnya.”
Sontak sang lawan debat mengatakan, “Kalau Anda (Al-Ghazali) kompromi dalam soal prinsip, maka Anda akan kompromi terhadap prinsip-prinsip yang lain. Secara tidak langsung Anda juga membolehkan seorang fasik jahat menjadi pemimpin karena dia mampu menciptakan keamanan sosial.”
Gus Ulil mengatakan, bahwa pertanyaan seperti ini sangat relevan. Sebab, dalam setiap zaman, terkadang terlalu sulit mencari pemimpin ideal seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Mereka sangat alim, shaleh, wara’ dan mempunyai kompetensi.
Sifat-sifat seperti itu amat jarang sekali kita temukan dalam kepribadian seseorang. Ada seseorang yang memiliki 3 dari 5 syarat menjadi pemimpin, namun dia tidak memiliki 2 yang lainnya. Begitu juga sebaliknya.
Masih tentang dialog pemimpin. Al-Ghazali kemudian mengatakan lagi, “Ini bukan soal kompromi, akan tetapi karena darurat. Karena sangat sulit untuk mencari pemimpin yang sangat ideal.” Ada orang yang sangat alim dan shaleh tapi tidak mau menjadi pemimpin (tidak mempunyai leadership). Alih-alih menjadi pemimpin, yang terjadi malah perpecahan sosial. Tidak mampu mengontrol keadaan.
Sama dengan penceramah. Ada orang yang sangat alim dan shaleh, akan tetapi ketika berceramah (pemimpin) ia tidak mampu menguasai sikologi massa (yang dipimpin), hingga akhirnya audien ngobrol sesama teman karena merasa bosan. Sebaliknya, ada orang yang biasa-biasa saja, tetapi ketika berceramah audien bisa terpukau dengan penyampaiannya.
Iya! Masalah imamah tidak sederhana (minus malum). Kadang-kadang kita dihadapakan pada pilihan untuk memilih yang terbaik. Justru sebaliknya, terkadang juga kita akan dihadapkan pada pilihan yang jelek sekali dan jelek “agak” moderat. Kata Gus Ulil, jika dihadapakan pada pilihan ini, maka pilihan terbaik adalah jelek moderat. Tidak terlalu ekstrem. Inilah prinsip fikih.
Akhiran, dalam hal hubungan politik, seorang pemimpin harus mematuhi perintah Allah SWT. dan menjauhi larangan-Nya. Sementara dalam hubungan horizontal, seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas rakyatnya, sehingga masyarakat yang adil dan makmur dapat dicapai dengan moralitas yang didukung agama. Wallahu a’lam bisshawab.