Gus Ulil ngaji al-iqtishad fi al-i’tiqad: kebijaksanaan tindakan Tuhan mungkinkah? Kita tahu bahwa tindakan-tindakan Tuhan (af’alullah) adalah tindakan yang langsung berhubungan dengan manusia. Kenapa demikian? Karena wujud konkrit dari tindakan Tuhan adalah seluruh peristiwa di alam raya ini.
Dengan kata lain, kita meyakini, bahwa tidak mungkin sesuatu di alam raya berjalan dengan sendirinya, melainkan karena ada tindakan-tindakan Tuhan di dalamnya. Tentu saja, kata Gus Ulil, yang demikian itu adalah kepercayaan orang beriman (percaya Tuhan); tidak bagi orang atheis.
Misalnya, alam raya ada (wujud) karena sebab ada tindakan-tindakan Tuhan. Bahkan di dalam Alqur’an surat Hud ayat 6 difirmankan:
وَمَا مِنْ دَآبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَ يَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi ini melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS. Hud [11]: 6).
Kata Gus Ulil, memberi rezeki adalah tindakan. Jadi, segala hal yang ada di alam raya ini dalam keyakinan kita adalah tindakan Tuhan. Sama sekali tidak luput dari tindakan Tuhan. Allah SWT berfirman dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 255:
اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْحَـيُّ الْقَيُّوْمُ ۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌ ۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗۤ اِلَّا بِاِذْنِهٖ ۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ ۚ وَلَا يَــئُوْدُهٗ حِفْظُهُمَا ۚ وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255).
Jadi Tuhan tak pernah ngantuk apalagi tidur. Artinya, gerak alam raya ini seluruhnya di dalam pen-tadbiran Tuhan (diselenggarakan Tuhan). Tuhan terlibat secara aktif melalui tindakannya di dalam alam raya.
Keyakinan seperti ini berbeda dengan keyakinan orang-orang deis. Kita tahu, bahwa deisme adalah pandangan ketuhanan yang menganggap Tuhan tidak terlibat langsung di dalam alam raya. Hubungan Tuhan dengan alam raya seperti hubungan antara tukang jam dengan jam yang dibuatnya.
Ketika jam sudah dibuat, maka ia bergerak melalui proses mekanik di dalamnya (mesinnya bergerak sendiri). Akhirnya tukang atau pembuat jamnya istirahat dan membuat jam lagi
Nah, jam yang sudah dibuat dan berjalan dengan proses mekanik itu merupakan entitas independen. Demikian juga dengan pabrikan mobil. Setelah mobil jadi maka ia akan berjalan dengan sendirinya. Ia beroperasi sesuai hukum mesin. Beginilah pandangan orang-orang deisme. Di era kemajuan sains dan teknologi, tentu saja pandangan yang demikian ini banyak diikuti.
Kata Gus Ulil, pandangan sainstisme modern umumnya, kalau tidak atheis, terutama di Barat, maka sudah pasti minimal deis. Mereka berpandangan bahwa Tuhan tidak seperti yang dibayangkan dalam metafisika atau pandangan teologi lama, seperti dalam pandangan Alqur’an, Bibel, Torah dan seterusnya. Dalam hal ini, Islam, Yahudi dan Kristen secara substansi dalam pandangan agama dan ketuhanannya sama.
Alih-alih kemajuan sainstisme, kata Gus Ulil, Tuhan terlibat langsung di dalam penyelenggaraan alam. Tak seperti pabrikan mobil yang setelah produknya dibuat ia istirahat dan tidak mempunyai hubungan dengan produknya. Akan tetapi Tuhan selalu mengawasi dan bertindak di alam raya.
Penting juga dikatakan, bahwa Tuhan bertindak secara bebas (tindakan-tindakan Tuhan bersifat jaiz). Tindakannya bukan karena suatu paksaan entitas di luar Tuhan. Berbeda dengan manusia yang tindakannya sebagian melalui paksaan; baik paksaan yang kasar dan halus yang dalam bahasa sikologi disebut kondisioning (pengkondisian). Artinya, ia bisa dikondisikan dengan cara tertentu.
Seperti dalam hal periklanan. Orang didorong, dikondisikan dan diarahkan untuk membeli produk tertentu. Memang kelihatannya suka rela, akan tetapi sebetulnya ia dipaksa dan berada dalam keterpaksaan. Inilah paksaan yang sifatnya halus (subtil), sehingga pelakunya tidak merasa dipaksa.
Anda membeli produk yang diiklankan TikTok seolah-olah hasil dari keputusan bebas. Tetapi sebetulnya tidak semuanya bebas. Karena Anda masuk dalam jebakan kondisioning. Namun tidak dengan tindakan Tuhan. Karena tindakan Tuhan adalah otonom, mandiri dan bebas sebebas-bebasnya. Tidak ada sesuatu pun di luar Tuhan yang memaksanya untuk bertindak dengan cara tertentu.
Kata Gus Ulil, bukankah sifat Tuhan iradah-muridun (kehendak bebas). Dalam Alqur’an surat Yasin ayat 82 Allah SWT berfirman:
اِنَّمَاۤ اَمْرُهٗۤ اِذَاۤ اَرَادَ شَیْئًـا اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Artinya: “Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin [36]: 82).
Komentar kelompok Islam
Kita tahu sebagian kelompok-kelompok di dalam Islam mempunyai pandangan yang berbeda dengan kelompok Asy’ariyah. Mereka berpandangan bahwa Tuhan wajib melakukan hal-hal tertentu, seperti pandangannya orang Muktazilah.
Kata Muktazilah, tidak seluruhnya tindakan-tindakan Tuhan itu jaiz, melainkan ada sebagian tindakan Tuhan yang wajib. Misalnya, Tuhan wajib melakukan sesuatu yang terbaik kepada makhluknya. Tidak mungkin Tuhan berbuat jahat.
Di sini kita masuk kepada teodisi yang menjelaskan bagaimana Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Tahu dan Maha Baik bisa berdampingan dengan kejahatan (berbuat jahat kepada makhluknya). Ini adalah perdebatan yang alot dalam teologi semua agama.
Pertanyaan yang muncuk dalam teodisi ini adalah jika Tuhan Maha Adil lalu kenapa ada kejahatan-kajahatan di dunia ini? Kenapa masih ada bencana yang kadang-kadang tidak masuk akal? Kenapa ada tsunami yang memakan ribuan korban? Tentu ada orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban tsunami ini. Kenapa Tuhan tega melakukan hal-hal yang menurut akal dan nalar manusia itu jahat?
Asy’ariyah dalam teodisi berpendapat bahwa, semua tindakan Tuhan itu baik, apapun itu bentuknya. Dalam pengertian Tuhan bertindak apapun itu bebas dan tidak ada yang minta pertanggungjawaban di luar diri Tuhan, karena Tuhan di atas segalanya. Sebagaimana dalam konteks kenegaraan kita tidak lembaga di atas MPR. Demikianlah Tuhan.
Dalam Alqur’an surat Al-Anbiya ayat 23 Allah SWR berfirman:
لَا يُسْـئَـلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْئَــلُوْنَ
Artinya: “Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya.” (QS. Al-Anbiya [21]: 23).
Karena itu, semua tindakan Tuhan baik, dalam pengertian tidak bisa dinilai baik dan buruk dalam pengertian manusia. Tindakan manusia disebut baik dan buruk karena ada parameter eksternal (norma objektif) untuk mengukur dan menghakimi tindakannya.
Lalu siapa yang bisa menghakimi Tuhan? Bukankah Tuhan hakim yang paling agung? Karena itu, kita tak bisa mengatakan bahwa tindakan Tuhan itu baik dan buruk dalam pengertian manusia.
Sekali lagi, kata Gus Ulil, kita hanya bisa mengatakan bahwa tindakan Tuhan semuanya baik dalam pengertian Tuhan tidak mungkin dimintai tanggung jawab. Tidak ada parameter di luar dirinya Tuhan yang bisa menghakiminya.
Namun demikian, pandangan ini bagi orang-orang rasionalis tidak mungkin diterima. Akan tetapi, pandangan ini kata Gus Ulil satu sisi jauh lebih masuk akal. Kenapa demikian? Karena dengan mengikuti pendapat Asy’ariyah kita bisa bersikap husnudhan dan positive thingking terhadap Tuhan (bahwa apapun tindakan Tuhan itu adalah baik).
Tentang istilah hikmah (kebijaksanaan)
Syahdan. Istilah hikmah (kebijaksanaan) sejenis pengetahuan dan mencakup makna. Pertama, mengetahui secara menyeluruh, murni (sifatnya abstrak) dan teratur segala perkara-perkara dan makna yang besar dan kecil serta menghukumi atau memberikan penilaian kepada satu perkara. Kedua, tertambahkan atau terlekatkan hukum untuk menciptakan ketertiban dan menyempurnakan ketertiban.
Seperti pengetahuan bahwa alam raya teratur (pagi terbit dan sore terbenam matahari). Nah, pengetahuan bahwa alam raya teratur dan bisa diprediksi ini adalah hikmah. Akan tetapi, jika Anda menciptakan sesuatu secara teratur dan sistematis, maka itu disebut hikmah dalam pengertian ihkam. Dan Tuhan adalah hakim dalam hal keduanya, hikmah dan ihkam.
Tiga kesalahan sesat pikir
Ada tiga keyakinan yang salah (sesat pikir) tentang sifat Allah SWT. Jika Anda tahu tentang keyakinan-keyakinan ini, Anda akan dapat menghindari keyakinan-keyakinan yang menyebabkan kekeliruan akidah.
Pertama, sesat pikir karena manusia tidak menyadari bahwa sifatnya adalah cinta terhadap dirinya sendiri, atau narsis, atau dunia yang mengelilingi dirinya. Akibatnya, dia tidak dapat menilai sesuatu secara menyeluruh, karena apa yang dia anggap buruk belum tentu buruk bagi orang lain.
Sebenarnya, tindakan seseorang hanya dapat dinilai baik atau buruk berdasarkan pandangan dan tujuan dirinya sendiri. Meskipun demikian, tindakan-tindakan yang menghakiminya hanyalah representasi dirinya sendiri.
Jika seseorang percaya bahwa ada orang lain yang tidak setuju dengan pendapatnya, orang itu akan berpendapat buruk hanya karena perasaannya, bukan karena substansinya. Sebaliknya, dia benar-benar menganggap dirinya buruk secara keseluruhan.
Sederhananya kata Gus Ulil, penyebab sesat pikir yang pertama adalah karena seseorang tidak memperhatikan pengalaman orang lain (al-adam iltifat ila al-ghair). Seringkali kita menganggap apa sudah kita pikirkan seolah paling top-markotop, sementara pikiran-pikiran orang lain tidak penting. Dengan kata lain, menganggap pengalaman satu manusia mewakili pengalaman seluruh manusia. Inilah tragedi dari pengetahuan modern yang banyak dikritik oleh para ilmuwan.
Kedua, sesat pikir karena berlawanan dengan tujuan manusia dalam semua keadaan, kecuali dalam kebutuhan yang langka, di mana seseorang menilai sesuatu secara total karena lupa bahwa kebutuhan langka itu terjadi, dan keadaan yang umum lebih kuat menguasai dirinya.
Misalnya, dia percaya bahwa kebohongan adalah hal yang buruk dalam semua situasi. Meskipun demikian, ada situasi yang tidak biasa di mana berbohong dapat diterima dan benar (boleh berbohong demi keselamatan jiwa).
Jelasnya, kata Gus Ulil, sesat pikir kedua adalah menerapkan parameter keadaan normal untuk seluruh keadaan, padahal ada keadaan perkecualian. Artinya, pandangan orang tersebut tidak komprehensif sehingga tidak bisa melihat kekecualian karena keadaan khusus.
Sebenarnya, tindakan berbohong itu sesungguhnya buruk dan jahatnya tindakan berbohong itu sendiri juga buruk secara total tanpa mengetahui bahwa ada tambahan perkecualian dalam situasi khusus. Karena itu, perlu dipahami rujukannya untuk bisa mengetahui kekhususannya.
Jika pemahaman normal tersebut sudah kuat dan tidak pernah bertemu dengan situasi khusus, maka dia akan pukul rata semua tindakan bohong di semua situasi itu buruk dan tidak mampu menerima bahwa berbohong dalam situasi tertentu yang mengancam nyawa itu dibenarkan. Memang sulit untuk menerima situasi yang memungkinkan kebohongan karena karakter manusia tidak menyukai kebohongan.
Mereka diajarkan oleh gurunya bahwa berbohong itu sendiri adalah perilaku yang buruk, jahat, dan dapat terjadi di mana saja. Berbohong dapat menjadi tidak buruk atau jahat dalam hal menjaga nyawa atau keselamatan jiwa. Tentu situasi seperti ini tidak biasa. Akan tetapi, karena seseorang terbiasa dan terdidik untuk tidak berbohong dalam situasi apa pun, maka dia menjadi sesat pikir.
Ketiga, sesat pikir akibat kebingungan (kesalahpahaman) yang muncul dari asumsi terbalik. Misalnya, jika seseorang melihat sesuatu berkaitan dengan hal lain, otomatis ia akan cenderung mengira bahwa hal tersebut selalu berkaitan, tanpa mempertimbangkan bahwa hal yang lebih spesifik sering kali terkait dengan hal yang lebih umum. Akan tetapi, hal yang lebih umum tidak harus selalu terkait dengan hal yang lebih spesifik.
Seperti seseorang yang pernah digigit ular akan takut pada tali yang berwarna belang. Kenapa demikian? Sebabnya adalah karena ia pernah melihat bahaya dalam bentuk sesuatu yang berbentuk dan berpola seperti tali belang itu.
Jadi, ketika melihat tali, pikirannya langsung menarik kesimpulan terbalik dan menganggap tali itu sebagai sesuatu yang berbahaya. Akibatnya, nalurinya seseorang akan bereaksi dengan ketakutan karena mengikuti asumsi dan imajinasi, meskipun akalnya menyadari bahwa hal itu tidak benar.
Kekuatan persepsi atau waham (persepsi awal yang salah), bisa membuat orang menarik kesimpulan atau kesan negatif meskipun akal sebenarnya menolak kesimpulan itu. Misalnya, warna atau nama tertentu bisa memberikan persepsi negatif hanya karena telah diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Demikian juga seseorang merasa enggan memakan hidangan manis berwarna kuning hanya karena mirip dengan kotoran manusia. Bisa saja ia muntah ketika ada yang mengatakan itu adalah kotoran, dan menjadi sulit baginya untuk memakannya meskipun akalnya menolak hal tersebut.
Tentu saja, ini adalah karena disebabkan oleh persepsi awal (waham) yang menganggapnya sebaliknya; ia merasakan sesuatu yang menjijikkan karena warna kuning yang basah. Karena itu, ketika ia melihat sesuatu yang basah dan berwarna kuning, ia akan langsung menyimpulkan bahwa itu adalah menjijikkan. Wallahu a’lam bisshawab.