KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad: Di Akhirat Akan Melihat Tuhan

3 Mins read

Dalam ilmu kalam, pertanyaan tentang “apakah manusia akan dapat melihat Allah SWT di akhirat” masih menjadi perdebatan. Dalam hal ini, mazhab Asy’ariyah berpendapat bahwa orang mukmin dapat melihat Allah SWT di akhirat. Sebaliknya, mazhab Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat di akhirat.

​Secara logika akal sehat, argumen yang dipegang oleh pengikut mazhab Mu’tazilah sepintas tampak lebih masuk akal dibandingkan argumen Asy’ariyah. Alasannya, karena Allah SWT tidak memiliki bentuk fisik, sedangkan lazimnya hal-hal yang dapat dilihat harus memiliki bentuk fisik.

​Namun, Asy’ariyah tidak berpendapat demikian karena mereka bersandar pada dalil Al-Qur’an. Salah satunya ditemukan dalam surah Al-Qiyamah. Allah SWT berfirman:

​وُجُوْهٌ يَّوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ. اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

​Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23).

​Di ayat yang lain dinyatakan juga:

​لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌۗ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌۗ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

​Artinya: “Bagi orang-orang yang berbuat baik (ada pahala) yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Wajah-wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula diliputi) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus [10]: 26).

​Sederhananya, pemahaman kaum Asy’ariyah berdasarkan Al-Qur’an adalah wajah manusia akan bersinar dan dapat melihat Allah SWT di akhirat. Oleh karena itu, perbedaan antara melihat Allah di dunia dan di akhirat terletak pada hakikat penglihatannya.

​Pendapat Asy’ariyah ini dipertahankan oleh Al-Ghazali

​Gus Ulil menegaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat tidak selalu harus berupa benda fisik. Hakikatnya, proses melihat terjadi ketika ada alat untuk melihat dan sasaran untuk dilihat. Menurut Al-Ghazali, tindakan melihat tidak selalu membutuhkan dan mengharuskan penggunaan mata fisik.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Doktrin Politik Sunni (Imamah)

​Meskipun pengertian umum “melihat” adalah menggunakan mata, Gus Ulil menjelaskan bahwa menurut Al-Ghazali kita juga bisa melihat tanpa mata, yaitu dengan menggunakan pikiran dan hati. Sesuatu disebut “melihat” jika ada objek yang dilihat. Pertanyaannya, apakah objek yang dilihat harus berupa benda yang memiliki bentuk fisik?

​Menurut Al-Ghazali, bentuk fisik tidak harus ada. Sebagai contoh, sebuah HP yang awalnya berada di depan kita kemudian dibuang atau disembunyikan, membuat mata tidak dapat melihatnya lagi. Meskipun HP telah hilang dari pandangan, bayangannya masih tertanam dalam ingatan kita (al-quwwah al-khayaliyah). Kita masih dapat membayangkan bentuk HP tersebut saat ini. Kita melakukan tindakan sadar ketika membayangkan wujud HP itu.

​Contoh tambahan adalah ketika kita menonton televisi. Di layar kaca terlihat lapangan bola, rumput, penonton, dan elemen lainnya. Apakah benda-benda itu benar-benar ada di dalam TV? Tentu tidak ada; kita hanya melihat gambarnya. Jadi, kita tahu bahwa melihat sesuatu tidak harus melihat wujud fisiknya secara langsung, karena kita hanya melihat sinyal cahaya yang direfleksikan ke layar TV.

​Mengenai konsep “al-khayali” (imajinasi/bayangan), indera dapat mengingat sesuatu meskipun bendanya telah hilang. Dengan kata lain, selama gambar dalam pikiran masih ada, wujud itu akan tetap tergambar. Misalnya, kita pernah melihat taman; ketika waktu berlalu, kita masih bisa mengingat taman tersebut seolah-olah kita memiliki kemampuan untuk melihatnya kembali. Wujud khayali memiliki kemampuan untuk menghadirkan realitas ke dalam pikiran kita.

​Al-Ghazali menggunakan analogi ini dalam konteks melihat Allah SWT. Di dunia ini, kita tidak dapat melihat Allah SWT secara langsung (secara visual). Pengetahuan kita tentang Allah saat ini mungkin masih dalam tahap seperti “melihat melalui bayangan” atau pemahaman akal, bukan penglihatan mata kepala.

Baca...  Peran Psikologi Agama dalam Membentuk Kesejahteraan Spiritual dan Mental

​Setelah kita meninggal, kita akan mengalami keadaan baru yang tidak pernah terjadi di dunia, yaitu kemampuan untuk melihat Allah SWT. Dalam hal ini, penglihatan kita kepada Allah SWT di akhirat akan mengonfirmasi pengetahuan kita di dunia—sama halnya ketika kita melihat sesuatu secara langsung yang mengonfirmasi ingatan kita tentang sesuatu tersebut. Dengan kata lain, melihat realitas sesuatu (rukyah) lebih tinggi tingkatan kejelasannya daripada hanya membayangkannya. Ini adalah tesis Al-Ghazali.

​Menurut Gus Ulil, kita dapat mengetahui Allah SWT dengan akal kita. Meskipun demikian, kita tidak dapat memvisualisasikan-Nya dalam fantasi kita, karena Allah SWT bukan entitas fisik (materi). Allah SWT tidak dapat digambarkan dengan ingatan visual karena kita tidak pernah melihat-Nya; namun, akal kita dapat memahami keberadaan-Nya.

​Kesempatan Melihat Allah SWT di Akhirat

​Menurut Al-Ghazali, selama masih terikat pada kehidupan dunia, jiwa manusia seolah tertutup oleh badan sehingga tidak dapat melihat Allah SWT secara penuh. Badan (materi) seringkali menjadi hijab, seperti kelopak mata yang menutup mata. Dalam surah Qaf, Allah SWT berfirman:

​لَّقَدْ كُنتَ فِى غَفْلَةٍ مِّنْ هَٰذَا فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَآءَكَ فَبَصَرُكَ ٱلْيَوْمَ حَدِيدٌ

​Artinya: “Sungguh, kamu dahulu lalai tentang (peristiwa) ini, maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (QS. Qaf [50]: 22).

​Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Manusia itu sedang tertidur. Ketika mereka mati, barulah mereka terbangun.” Ini menunjukkan bahwa manusia sering kali dalam keadaan “tidak sadar” ketika mereka terjaga di dunia. Orang-orang di dunia ini kerap menganggap harta, jabatan, dan relasi sosial sebagai hal yang paling penting. Namun, pada akhirnya nanti, mereka baru akan menyadari bahwa ibadah (seperti salat) adalah hal yang paling substansial.

Baca...  Gus Ulil Ngaji Ihya’ Ulumuddin: Keutamaan Sifat Al-Sakha (Kedermawanan)

​Hadis ini sangat terkenal di kalangan para sufi. Fakta menarik lainnya, hadis ini ditulis di batu nisan Annemarie Schimmel, seorang sarjana Jerman yang ahli dalam tasawuf Islam. Ia berwasiat agar hadis Nabi Muhammad SAW tersebut ditulis di makamnya: “An-naasuniyaam, fa idza maatuu intabahuu” (Sesungguhnya manusia itu tertidur, dan ketika mereka mati, maka mereka terbangun).

​Annemarie Schimmel terkenal dengan analisisnya yang mendalam serta sering menyampaikan sisi artistik dan ideologis budaya Islam kepada pembaca Eropa dan Amerika. Ia juga menaruh perhatian besar pada isu kesetaraan gender dan telah menulis sekitar 105 buku bertemakan Islam. Wallahu a’lam bisshawab.

179 posts

About author
Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Amtsal Al-Qur’an dan Memahami Faedahnya

5 Mins read
Amtsal Al-Qur’an dan memahami faedahnya. Al-Qur’an, dengan segala keindahan dan keajaibannya, tidak pernah habis untuk dikaji dan dinikmati kandungannya. Ibarat samudra luas…
Keislaman

Ilmu Munasabah: Analisis Konsep Munasabah Sebagai Perangkat Studi Ulumul Qur’an

3 Mins read
Ilmu munasabah merupakan cabang ilmu yang membahas hubungan serta keterkaitan antara berbagai bagian dalam Al-Qur’an. Istilah munasabah sendiri memiliki makna kecocokan atau…
Keislaman

Gus Ulil: Adat Istiadat Kritikal Pada Masa Al-Ghazali (2)

3 Mins read
Kita tahu, pada masa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, serta masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in (abad ketiga Hijriyah), para ulama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
KeislamanTafsir

Amtsal Al-Qur’an dan Memahami Faedahnya

Verified by MonsterInsights