Gharar: Jual Beli Yang Dilarang Oleh Islam
Oleh: Adilah Hasanah
Apakah kalian tau apa itu gharar didalam jual beli? Atau mungkin pernah mendengar kata gharar di dalam jual beli? Nah, jika kalian belum mengetahui apa itu gharar, yuk simak penjelasannya dibawah ini. Kata gharar berasal dari Bahasa arab Al-khatr yang artinya penipuan tetapi juga bearti risiko.
Gharar adalah transaksi jual beli yang mengandung ketidakjelasan bagi para pihak, baik dari segi kuantitas, fisik, kualitas, bahkan objek transaksinya kemungkinan masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar prinsip syariah yang idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
Maka dari itu, agama Islam memandang bahwa gharar adalah hal yang merugikan para pihak, terutama pembeli. Hal ini karena jika pembeli sudah membayar terlebih dahulu tanpa melihat objek transaksi, dan ternyata barang tersebut tidak sesuai keinginannya, tentu akan menimbulkan konflik atau kerugian.
Konsep gharar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu, pertama, adalah unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas dan ketidakpastian secara dominan. Kedua, unsur meragukan yang berhubungan dengan penipuan atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lainnya.
Didalam Alquran pun telah dijelaskan dengan tegas melarang semua transaksi jual beli yang mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lainnya dalam segala bentuk penipuan, atau memperoleh keuntungan dengan tidak sewajarnya yang menuju ketidakpastian didalam suatu jual beli dan sejenisnya.
Allah telah menjelaskan melalui firmannya di dalam Alquran QS. Al-An’am 6:152 yang berbunyi:
وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ
Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS. Al-An’am [6]: 152).
Gharar dilarang dalam agama Islam, maka dari itu melakukan transaksi atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya hukumnya dilarang seperti didalam hadist Rasulullah SAW bersabda yang berbunyi Rasulullah SAW, melarang jual beli yang mengandung unsur gharar. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka dari itu kita perlu mengantisipasinya dengan cara mengetahui macam-macam gharar berikut ini:
Jual Beli Benda yang Belum Ada
Contoh dari jual beli gharar adalah ketika benda yang dijual belum ada. Contohnya, seseorang ingin membeli anak sapi yang masih ada didalam perut induknya tetapi tidak menginginkan induknya juga.
Dari contoh tersebut dapat diliat adanya ketidakpastian kemampuan penjual untuk menyerahkan objek transaksi. Namun akan beda lagi jika barang sudah pasti dapat diperoleh seperti jual beli ikan di kolam pribadi dan langsung dilakukan proses penangkapannya maka itu tidak termasuk gharar.
Jual Beli Benda yang Sifatnya Tidak Jelas
Yaitu transaksi tanpa kejelasan sifat objek. Contohnya yang ada disekitar kita adalah menjual buah jeruk yang masih berada dipohonnya dengan mengatakan bahwa rasa buah jeruknya manis. Padahal, penjual belum memetik dan mencobanya.
Jual Beli Benda yang Tidak Diserahterimakan
Dapat dilihat gharar adalah keberadaan objek transaksi, walaupun kedua belah pihak mengetahui wujud benda yang akan diserahkan. Namun pada saat akad akan dilakukan, penjual tidak sedang membawa barang tersebut, serta penjual juga tidak mengetahui kapan ia bisa menyerahkan objek transaksi kepada pembeli.
Contohnya adalah jual beli motor yang tidak sedang dikuasai pemiliknya karena dicuri.
Jual Beli Benda yang Tidak Jelas Harganya
Pada jenis ini, unsur gharar adalah pada nominal harga objek transaksi. Misalnya, hari ini, sepasang sepatu merek Z dijual Rp1.7 juta apabila dibayar lunas. Namun jika Anda membeli besok, harganya naik menjadi Rp 2 juta per pasang.
Meskipun gharar adalah salah satu hal yang dilarang dalam jual beli. Akan tetapi pada situasi-situasi tertentu agama Islam tetap memperbolehkan agar lebih mengerti yuk simak penjelasan berikut:
Gharar dalam Jumlah Sedikit Tetap Diperbolehkan
Jika didalam suatu transaksi jual beli terjadi gharar dalam akad, akan tetapi ghararnya sedikit maka hal tersebut tidak masalah (boleh). Jadi dapat disimpulkan bahwa yang tidak diperbolehkan yang ghararnya banyak, jika ghararnya sedikit maka diperbolehkan.
Kemudian bagaimana cara kita mengitung ghararnya banyak atau sedikit? Salah satu ulama mazhab Maliki yaitu Ad-Dasuqi mengatakan ukuran gharar yang sedikit itu adalah yang dimaklumi oleh orang-orang pada umumnya.
Contohnya seperti ongkos taksi yang di mana penumpangnya tidak tahu berapa nominalnya pada saat naik melainkan baru diketahui setelah sampai di tujuan.
Di sini ada gharar dalam harga, akan tetapi ghararnya sedikit dan tidak dipermasalahkan dan penumpang pun tidak merasa dirugikan.
Sebab ongkosnya tidak ditetapkan semaunya oleh supir taksi, tetapi sesuai dengan perhitungan argo yang sudah ada standar hitungan perkilometernya.
Gharar dalam Akad Tabarru’ Tidak Dilarang
Akad tabarru’ adalah akad sosial serta tidak terjadi pertukaran harta secara dua arah dan pelaku akad tidak mengharapkan keuntungan materi, melainkan untuk tujuan kebaikan. Seperti akad hibah, hadiah dan lain-lainnya.
Contohnya hadiah yang dibungkus kertas kado yang di mana pada saat diberikan, penerima hadiah tidak tahu apa isi di kado tersebut. Di sini terjadi adanya gharar. Tetapi karena akadnya adalah hadiah, maka tidak menjadi haram. Penerima hadiah tidak akan merasa dirugikan, sebab hadiah itu gratis.
Gharar Bukan Dalam Inti Objek Akad
Gharar ini tidak dilarang karena ketidak jelasannya hanya terletak pada pelengkapannya. Contohnya, jual beli pohon yang berbuah, yang mana buahnya masih belum matang.
Jika yang dibeli adalah pohonnya, maka hukumnya boleh meskipun buahnya belum matang. Sebab yang menjadi objek akadnya adalah pohon, buah hanya pelengkap/pengikut.
Adilah Hasanah, asal dari Kalimantan Timur. Seorang mahasiswa semester 4 Psikologi Islam di UIN Sayyid Ali Rahmatullah.