KULIAHALISLAM.COM – Nama asli Syekh Abdul Qadir Al Jailani adalah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Musa Zangi Dausat bin Abu Abdilah bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa Al-Jauni bin Abdillah Al-Mahadh Al Jailani. Silsilah nasabnya bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir di daerah Jailan yang terletak di Tabaristan pada tahun 470 H.
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani meninggalkan daerahnya Jailan dan masuk Baghdad pada tahun 488 H, sementara usianya baru menginjak delapan belas tahun. Di Baghdad, Abdul Qadir Al Jailani bertemu dengan sejumlah ulama terkemuka dan menimba ilmu pada mereka. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang ulama yang zuhud, makrifat dan menjadi teladan, dia adalah syekhul Islam dan ilmu para wali.”
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah berkata: “Syekh Abdul Qadir Al Jailani termasuk guru paling agung kredibilitasnya pada zamannya sebab mematuhi syariat, melaksanakan amar makruf nahi mungkar, mendahulukan dzauq dan qadar, dia adalah guru paling agung sebab meninggalkan hawa nafsu dan keinginan.” Ibnu Taimiyah juga berkata: “Syekh Abdul Qadir Al Jailani dan para guru-gurunya yang lain adalah ahlu istiqamah dan orang yang berjalan menuju Allah.”
Metodologi dalam Menjelaskan Akidah
Syekh Abdul Qadir Al Jailani telah menguraikan akidahnya dengan jelas. Ibnu Rajab dalam kitabnya “Dzail Thabaqat Al Hanabilah” menyebutkan bahwa Syekh Abdul Qadir Al Jailani senantiasa berkata dalam ceramah-ceramahnya: “Akidahku adalah akidah Salafus Shaleh dan akidah yang dianut Sahabat Nabi Muhammad SAW.”
Dalam mendefinisikan iman, Syekh Abdul Qadir Al Jailani berkata: “Aku berkeyakinan, iman adalah perkataan yang diucapkan lisan, diyakini kalbu dan diamalkan anggota badan.” Selanjutnya, Syekh Abdul Qadir Al Jailani menolak takwil kaum Mutakallimin.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani mengutip perkataan Imam Ahmad yang mengatakan: “Aku bukanlah pengikut ilmu kalam dan aku tidak melihat celah sedikit pun untuk membahas urusan ini, kecuali keterangan yang disebutkan Allah dalam kitab suci-Nya atau Hadis yang bersumber dari Nabi, keterangan yang bersumber dari para sahabat Nabi atau dari Tabi’in.”
Mengenai takwil, Syekh Abdul Qadir berkata dalam kitabya “Al Ghunyah” : “Hendaklah memutlakan sifat istiwa’ tanpa mentakwilkannya. Sesungguhnya ia adalah istiwa’ Dzat di al-‘urdh (not fisik), bukan duduk dan terjadi kontak yang saling persinggungan seperti takwil yang dikatakan kaum Mujassimah dan Al Karamiyah, dan bukan pula menguasai seperti dikatakan takwil kaum Mu’tazilah, karena syariat tidak menyebutkan penjelasan yang demikian itu.”
Syarat-Syarat Ibadah Diterima Allah SWT
Syekh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan bahwa sekedar mengucapkan kalimat Tauhid yang tidak diiringi dengan mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka ia tidak diterima dan manusia tidak dapat mengambil manfaat dari ucapannya.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani juga mengatakan bahwa: “Amal-amal ibadah yang dilaksanakan akan diterima Allah jika dilaksanakan dengan ikhlas dan harus mengikuti Sunnah Rasulullah serta menjauhi meninggalkan beramal karena manusia sebab Al Fudhail bin Iyadh berkata “meninggalkan beramal karena manusia adalah riya’ dan beramal karena manusia adalah syrik.”
Syekh Abdul Qadir Al Jailani juga mengingatkan dalam kitabnya “Futuhul Ghaib” agar beramal hendaknya mengikuti aturan syariat dan jangan menciptakan bid’ah dalam urusan agama dan wajib bagi orang beriman mengikuti “Sunnah” dan “Jamaah”. Adapun Sunnah adalah segala sesuatu yang dilaksanakan Rasulullah, sedangkan jamaah adalah segala sesuatu yang disepakati para sahabat Rasulullah.”
Tasawuf Menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani
Syekh Abdul Qadir Al Jailani melegalkan metodologi tasawuf terintegrasi yang menggabungkan antara syariat yang didasarkan atas kitab Allah dan Sunnah Rasulullah dan praktik dalam bahasa perbuatan dan mematuhi syariat.”
Syekh Abdul Qadir Al Jailani mengatakan tasawuf adalah berperilaku jujur bersama Allah yang haq dan berakhlak mulia bersama makhluk, serta mematuhi syariat. Orang tasawuf berwajah ramah, gemar menolong orang kesusahan, memelihara kehormatan guru, menjauhi dendam, ringan tangan membantu urusan agama dan urusan dunia, bermuamalah bersama teman dengan baik, serta meninggalkan permusuhan.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani memberikan perhatian khusus untuk memperbaiki tasawuf dan mengembalikannya kepada konsep zuhud, kemudian menggunakannya untuk memainkan peranannya dalam melayani Islam dan memperbaiki masyarakat.
Membersihkan Tasawuf dari Perkara-Perkara Baru
Perkara-perkara yang baru tersebut adalah penyimpangan dalam pemikiran dan praktik, kemudian mengembalikannya ke tugas aslinya sebagai madrasah pendidikan dengan tujuan utamanya adalah menanamkan nilai-nilai keikhlasan yang murni dan zuhud yang benar. Dua kitabnya “Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haqq dan Futuhul Ghaib” merupakan kesimpulan pemikirannya dalam bidang ini.
Kitab yang kedua diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah dalam juz kesepuluh dari kitab Al-Fatawa yang dinamakan dengan kitab As-Suluk. Syekh Abdul Qadir menyusunnya sebagai contoh zuhud yang didorong oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya, Syekh Abdul Qadir memberikan kritikan terhadap kelompok Sufi yang ekstrem yang memakai baju tasawuf namun mencoreng maknanya. Syekh Abdul Qadir berkata: “Sesungguhnya tasawuf datang dengan kejujuran dalam mencari Allah, zuhud di dunia dan menjauhkan diri dari menyembah selain Allah.” Syekh Abdul Qadir juga mengkrtitik kelompok Sufi yang mendengarkan nyanyian dan syair yang tidak sesuai dengan Kitabullah dan As-Sunnah.
Kritikan Terhadap Ulama dan Penguasa
Kebanyakan para ulama pada zaman Syekh Abdul Qadir Al Jailani saling bersaing untuk menempati mimbar-mimbar ceramah di tempat yang masyhur, saling memfitnah di antara satu dengan yang lain di hadapan Khalifah, para Menteri dan pejabat negara.
Diantara mereka ada yang dikenal dengan akhlak yang buruk dan ada yang sibuk dengan permusuhan-permusuhan mazhab.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan kepada ulama seperti itu: “Wahai para pengambil dunia dari tangan-tangan para pemiliknya dengan jalan akhirat, wahai orang-orang yang bodoh akan kebenaran, kalian lebih patut bertaubat daripada orang-orang awam, tidak ada kebaikan atas kalian.”
Selanjutnya pada 09 Rajab 546 H/1151 M, Syekh Abdul Qadir Al Jailani berkata dalam ceramahnya: “Jika kamu memiliki buah ilmu dan berkah-berkahnya, maka kamu tidak akan pergi ke pintu para Sultan untuk memenuhi syahwat-syahwatmu. Seorang alim tidak memiliki dua kaki yang ia gunakan untuk bejalan menuju pintu-pintu makhluk, orang yang zuhud tidak memiliki dua tangan yang ia gunakan untuk mengambil harta manusia.”
Syekh Abdul Qadir Al Jailani juga mengkritik orang yang fanatik terhadap mazhab. Beliau mengatakan: “Diamlah dari kata-kata yang tidak ada manfaatnya, tinggalkanlah sikap fanatik terhadap mazab dan sibuklah dengan sesuatu yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratmu.”
Tidak hanya mengkritik para ulama, Syekh Abdul Qadir Al Jailani juga mengkritik para penguasa yang zalim. Pada tahun 541 H, Khalifah Al-Muqtafi mengangkat Yahya bin Said yang dikenal dengan Ibnu Al-Marjam sebagai Hakim. Hakim ini menganiaya rakyat dan menerima suap.
Syekh Abdul Qadir Al Jailani berceramah di Masjid yang disitu ada Khalifah, Beliau berkata: “Kamu mengangkat pejabat yang zalim terhadap kaum Muslimin. Apa jawabanmu besok disisi Tuhan semesta alam ?”. Khalifah pun memecat hakim tersebut.
Ikut Serta di Bidang Politik
Syekh Abdul Qadir Al Jailani banyak mendirikan madrasah, diantaranya adalah Madrasah Al-Qadiriyah. Madrasah Al-Qadiriyah memainkan peranan penting dalam mengkader para pemuda yang meninggalkan wilayah-wilayah yang diduduki pasukan Salib. Syekh Abdul Qadir Al Jailani bekerja sama dengan Daulah Zankiyah untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Salib di negeri Syam.
Daulah Zankiyah mengirim para siswa ke madrasah milik Syekh Abdul Qadir Al Jailani untuk dijadikan pemuda-pemuda yang tangguh, pemuda yang mencintai Allah dan Rasul dan pemuda yang menjadi panglima perang. Selain pengkaderan para pemuda, Syekh Abdul Qadir Al Jailani juga mengirim Ibnu Naja Al-Wa’izh kepada Syekh Utsman bin Marzuq Al-Quraisy yang merupakan pemimpin perlawanan Suni di Mesir.
Ibnu Naja memainkan peranan penting untuk membuka konspirasi Daulah Fatimiyah terhadap Salahuddin Al Ayubi. Suatu hal yang banyak masyarakat muslim abaikan adalah peran besar Madrasah Syekh Abdul Qadir Al Jailani dalam membantu Daulah Zankiyah dan mempersiapkan kader-kader terbaik umat Muslim untuk membebaskan Syam khususnya Masjidil Aqsa dari pasukan Salib dan Dinasti Fatimiyah di Mesir.
Sifat-Sifat Syekh Abdul Qadir Al Jailani dan Wafatnya
Muwaffaquddin Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyifati Syekh Abdul Qadir Al Jailani dengan mengatakan: “Syekh Abdul Qadir Al Jailani memiliki badan yang kurus, perawakan yang sedang, dada yang lebar, jenggot yang besar dan panjang, suara yang keras dan berwibawa.”
Diamnya lebih banyak daripada bicaranya, jika berbicara maka perkatannya tentang lintasan-lintasan hati, ia selalu ceria, pemalu dan perhatian terhadap orang fakir dan miskin. Ia tidak pernah menyentuh emas. Jika seseorang memberinya emas maka ia meminta si pemberi untuk meletakannya di bawah sajadahnya dan setelah itu Syekh Abdul Qadir Al Jailani menyuruh pembantunya untuk memberikan emas itu kepada tukang roti dan tukang sayur.
Para sejarawan telah sepakat bahwa Syekh Abdul Qadir Al Jailani wafat pada tahun 561 H. Ia hidup selama 91 tahun. Ia mengalami sakit. Anaknya Syekh Abdul Jabbar bertanya padanya: “Apa yang sakit kamu rasakan ?”. Ia menjawab :“Semua tubuhku sakit kecuali hatiku, hatiku bersama Allah”. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan: “Aku meminta pertolongan dengan kalimat Laa Ilaha Illallah, Maha suci Dzat yang mulia”, Ia kemudian wafat.
Jenazahnya dimakamkan pada malam hari karena siang hari sulit untuk memakamkannya sebab penduduk kota Baghdad berdesak-desakan untuk menghadiri pemakamannya. Ia dikarunia 49 anak dengan 27 anak laki-laki dan 4 orang istri. Imam Adz Dzahabi berkata: “Tidak ada satupun Syekh besar yang memiliki banyak karamah melebihi Syekh Abdul Qadir, akan tetapi banyak karamah-karamah itu yang tidak benar dan sebagian ada yang mustahil.
Sumber; Prof. Dr Ali Muhammad Ash Shalabi dalam buku ‘Bangkit dan Runtuhnya Daulah Zankiyah terbitan Pustaka Al Kautsar”