Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas kehidupan modern tahun 2025, hukum Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Isu-isu seperti keabsahan fatwa yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan (AI), etika keuangan digital berbasis syariah yang bersinggungan dengan pinjaman online predator, hingga perdebatan sengit tentang penistaan agama di ruang siber, menjadi percakapan viral sehari-hari.
Permasalahan ini tidak bisa lagi dijawab hanya dengan merujuk secara harfiah pada kitab-kitab klasik. Di sinilah urgensi filsafat hukum Islam menyeruak; ia bukan lagi sekadar disiplin akademis yang terkurung di menara gading, melainkan menjadi alat bedah esensial untuk memastikan hukum Islam tetap relevan, adil, dan membawa kemaslahatan.
Penerapan hukum yang kaku dan tekstual seringkali gagap dalam menghadapi realitas yang dinamis. Tanpa pisau analisis filsafat, hukum Islam berisiko menjadi beku, kehilangan ruh dan tujuannya. Filsafat mengajak kita untuk tidak berhenti pada “apa” yang tertulis, tetapi menggali “mengapa” dan “untuk apa” sebuah hukum disyariatkan. Ia adalah jantung yang memompa darah kehidupan ke dalam tubuh hukum Islam, membuatnya mampu beradaptasi seraya tetap memegang teguh prinsip-prinsip universalnya.
Fungsi Filsafat: Dari Teks Menuju Konteks
Filsafat hukum Islam bukanlah upaya untuk mengubah Al-Qur’an dan Sunnah, melainkan sebuah metodologi berpikir untuk memahami pesan ilahi secara lebih mendalam dan kontekstual. Fungsinya dapat diurai dalam beberapa pendekatan vital:
Menemukan Kembali Ruh Maqasid al-Shari’ah (Tujuan Luhur Hukum)
Maqasid al-Shari’ah adalah teori tentang tujuan-tujuan fundamental di balik setiap hukum Islam, yang secara umum terangkum dalam lima pilar: perlindungan terhadap agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal). Filsafat membantu mengangkat maqasid dari sekadar konsep teoretis menjadi alat analisis praktis.
seperti yang sedang sering terjadi yakni Maraknya kasus penipuan investasi syariah bodong yang viral di media sosial. Pendekatan fikih klasik mungkin hanya fokus pada keabsahan akadnya secara formal. Namun, dengan kacamata maqasid, kita akan bertanya: Apakah praktik ini melindungi harta (hifz al-mal) masyarakat? Jelas tidak. Filsafat hukum Islam akan mendorong lahirnya regulasi yang lebih ketat dan edukasi masif, karena tujuan utama hukum adalah melindungi harta umat, bukan sekadar melegalkan transaksi yang cacat substansi.
Menghidupkan Prinsip Maslahah (Kemaslahatan Umum)
Prinsip maslahah (kepentingan publik) memungkinkan para ahli hukum untuk merumuskan kebijakan yang membawa kebaikan terbesar, bahkan untuk hal-hal yang tidak diatur secara eksplisit oleh nas. Filsafat mempertajam kemampuan kita untuk mengidentifikasi mana maslahah yang hakiki dan mana yang semu.
Kebijakan pemerintah terkait murur (melintas) di Muzdalifah sebagai pengganti mabit (bermalam) bagi jemaah haji lanjut usia dan berisiko tinggi, seperti yang dirasionalisasikan oleh PBNU. Secara tekstual, mabit adalah bagian dari ritual. Namun, filsafat maslahah akan menganalisis: jika memaksakan mabit justru membahayakan jiwa (hifz al-nafs) dan menyebabkan kesulitan ekstrem, maka kebijakan yang lebih ringan dan menjaga keselamatan jemaah adalah pilihan yang lebih sesuai dengan semangat syariat itu sendiri. Ini adalah contoh bagaimana kemaslahatan umum diutamakan untuk mencapai tujuan hukum yang lebih tinggi.
Hermeneutika sebagai Jembatan Pemahaman Lintas Waktu
Hermeneutika adalah ilmu tentang interpretasi. Dalam konteks hukum Islam, ia berfungsi sebagai jembatan untuk memahami teks-teks suci yang turun 15 abad lalu dalam realitas Indonesia abad ke-21. Filsafat menawarkan perangkat hermeneutika untuk “berdialog” dengan teks, memahami konteks historisnya, dan menangkap pesan universalnya untuk diterapkan pada konteks kekinian.
Seperti yang pernah terjadi yakni debat mengenai hukum penistaan agama yang kerap menjerat individu karena ekspresi di media sosial. Pendekatan literal bisa dengan mudah menghakimi. Namun, pendekatan hermeneutis akan bertanya: Apa substansi dari larangan penistaan? Apakah untuk melindungi Tuhan, atau untuk menjaga harmoni sosial (hifz al-din dalam konteks sosial)? Filsafat akan mengarahkan penerapan hukum ini secara lebih bijak, membedakan antara kritik yang membangun, ekspresi yang tidak disengaja, dengan ujaran kebencian yang nyata-nyata merusak tatanan sosial di negara majemuk seperti Indonesia.
Konteks Indonesia dan Relevansi Pendidikan Filsafat
Di Indonesia, filsafat hukum Islam memiliki peran strategis. Ia membantu merumuskan fikih yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga saleh secara sosial dan kebangsaan. Filsafat memungkinkan hukum Islam untuk berdialog secara konstruktif dengan Pancasila, hukum positif, dan kearifan lokal (‘urf), menjadikannya sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu, apakah jurusan filsafat masih penting di dunia pendidikan? Sangat penting. Kemampuan untuk melakukan analisis maqasid, menimbang maslahah, dan menggunakan pendekatan hermeneutika yang canggih tidak datang dari ruang hampa. Ia ditempa melalui pendidikan filsafat yang sistematis.
Masyarakat yang gamang menghadapi isu-isu hukum kontemporer adalah cerminan dari kurangnya nalar kritis dan filosofis dalam pendidikan. Menganggap jurusan filsafat tidak relevan dengan pasar kerja adalah pandangan yang sempit. Justru, lulusan filsafat yang terlatih berpikir secara jernih, logis, mendalam, dan etis adalah sumber daya manusia yang paling dibutuhkan untuk menjadi hakim, legislator, ahli hukum, dan pembuat kebijakan yang mampu menjawab tantangan zaman. Tanpa institusi yang mencetak para pemikir, kita hanya akan menjadi bangsa konsumen fatwa yang gagap menghadapi masa depan kita sendiri.
Pada akhirnya, filsafat adalah ruh yang memastikan hukum Islam tidak menjadi fosil sejarah, melainkan tetap menjadi kompas moral yang hidup dan relevan bagi peradaban.