Penulis: Farodisatul Insaniyah*
Pemikiran Ibnu Sina tentang eksistensi Tuhan didasarkan pada argumen kosmologis dan teologis. Ibnu Sina percaya bahwa dengan menggunakan penalaran logis, kita dapat mencapai keyakinan akan keberadaan Tuhan. Ibnu Sina ialah seorang filosof muslim yang lahir di Afsyana dekat dengan kawasan Bukhara pada tahun 370 H atau 970 M.
Nama asli Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Husain Bin Abdullah Bin Sina, dan di dunia Barat ia lebih dikenal dengan sebutan nama Avicena karena penyerapan dari bahasa Spanyol-Latin.
Ibnu Sina menganggap bawa Tuhan sebagai entitas yang benar-benar ada secara mutlak (murni), dan yang menjadi penyebab dari semua keberadaan di alam semesta ini. Beliau menggabungkan perspektif Aristotelian dan Platonis tentang teologi Islam dalam studi filosofisnya yang sangat berhubungan. Corak dari gagasan Ibnu Sina adalah memadukan antara agama dan filsafat.
Ibnu Sina sangat rasional dan tidak mengesampingkan Alqur’an dan Hadits. Ia mengembangkan gagasan dengan caranya sendiri untuk mencari sesuatu. Maka dapat dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki kombinasi yang harmonis antara aqli dan naqli.
Ibnu Sina percaya bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Dalam penafsiran Alquran atau hadis, Ibnu Sina menggunakan pendekatan filosofis dan dari ketidaktahuan menjadi tahu untuk menggali makna yang lebih mendalam dari ajaran agama.
Berdasarkan argumen kosmologis, Ibnu Sina untuk membuktikan keberadaan Tuhan, Ia berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini memiliki sebab atau penyebab yang menjadi asalnya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa ada sebuah penyebab pertama yang menjadi sumber bagi semua keberadaan ini.
Ibnu Sina menyebutnya sebagai “Wajib al-Wujud” atau “Necessary Existent”, yaitu Tuhan yang merupakan entitas yang benar-benar ada secara mutlak dan tidak bergantung pada apapun.
Pencapaian Ibnu Sina dalam menemukan kebenaran hakiki pengetahuan patut mendapat perhatian. Persepsinya tentang realitas dan pemikirannya berputar di sekitar Tuhan.
Ibnu Sina percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai melalui refleksi dan pemikiran rasional. Ia percaya bahwa melalui penalaran logis, manusia dapat memahami sifat-sifat Tuhan, seperti keberadaan-Nya yang mutlak, kebijaksanaan-Nya, dan kekuasaan-Nya. Dalam hal ini, alam semesta itu sendiri dapat dilihat sebagai contoh konkrit dan nyata yang mendukung konsep dari falsafah Al-Wujud Ibnu Sina ini.
Pandangan tentang keberadaan Tuhan adalah wujud wajib (wajib al-wujūd) atau Tuhan yang tidak mungkin “tidak ada” karena sifat dan wujud-Nya adalah sama. Bentuk adalah esensi-Nya dan esensi adalah sifat independen-Nya. Alam semesta dan segala isinya adalah bentuk yang mungkin dan secara metafisik bergantung pada makhluk yang diperlukan.
Wujud yang abadi menurut Ibnu Sina, terbagi menjadi tiga jenis yaitu;
- Kecerdasan (Aql) benar-benar terpisah dari materi dan potensi.
- Jiwa (Nafs), meskipun terpisah dari materi, membutuhkan tubuh untuk berfungsi.
- Tubuh (Jism), yang dapat dibagi dan memiliki panjang dan lebar, sehingga dimungkinkan untuk membagi unsur-unsur alam semesta ini menjadi tiga unsur.
Pemikiran Ibnu Sina tentang eksistensi Tuhan memiliki pengaruh yang signifikan dalam sejarah filsafat dan teologi. Karya-karyanya, seperti “Kitab Al Shifa” (The Book of Healing) dan “Al Isharat wa Al Tanbihat” (Remarks and Admonitions), menjadi acuan penting bagi pemikiran filosofis dan teologis di dunia Muslim dan Eropa pada masa berikutnya.
Melalui filsafat wujud, Ibnu Sina mampu membangkitkan kembali citra positif manusia yang mampu menjangkau esensi dalam akal dan mempersepsikan bentuk-bentuk di luar akal manusia. Karena kreativitas pemikiran Ibnu Sina membuatnya menjadi sosok yang disegani pada masanya hingga sampai sekarang. Jejak pemikiran Ibnu Sina terus menjadi inspirasi bagi setiap pemikir muslim yang menyadari ruang lingkup akal manusia yang tak terbatas.
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.