Penulis: Septhiana Lutfia Hajar*
Banyaknya mualaf yang semula beragama Nasrani beralih memeluk agama Islam, banyak pula ilmuwan yang dahulu merupakan ahli kitab yang masuk Islam.
Mereka ikut menafsirkan Alqur’an dengan cerita-cerita yang mereka kuasai yang berasal dari kitab suci mereka dahulu, yaitu kitab Injil dan taurat. Hal tersebut disebabkan karena mereka masih memegang erat cerita dan tradisi agama mereka dahulu. Cerita-cerita inilah yang disebut sebagai israiliyat.
Banyak perbedaan diksi dan penekanan oleh pandangan para ulama yang mengemukakan definisi israiliyat tetapi sebenarnya memiliki inti yang sama, yaitu adanya penafsiran kitab suci Alqur’an dengan cerita-cerita dari agama lain seperti Yahudi dan Nasrani, tetapi lebih dominan dari Yahudi. Salah satu ulama yang menuturkan definisi israiliyat menurut pandangannya adalah Adz-Dzahabi.
Definisi dan Lembagian Israiliyat dalam Perspektif Adz-Dzahabi
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi, yang lebih dikenal sebagai Al-Imam Adz-Dzahabi lahir pada tahun 673 H di Damaskus. Ia merupakan ulama Sunni yang berasal dari bani Tamim. Adz-Dzahabi dikenal sebagai ulama dengan daya hafalan, kecerdasan, dan kezuhudan yang tinggi serta kelurusan akidah dan kefasihan lisannya.
Menurut Husein Adz-Dzahabi sendiri, perkataan israiliyat pada mulanya menunjukkan kisah-kisah yang diriwayatkan dari sumber Yahudi. Israiliyat adalah semua cerita lama yang masuk ke dalam tafsir dan hadis yang bersumber dari dua kebudayaan, Yahudi dan Nasrani.
Dalam kesempatan lain, Adz-Dzahabi mengungkapkan israiliyat adalah pengetahuan orang Yahudi dan orang Nasrani sekitar Injil beserta penjelasannya, sejarah para rasul dan lain-lainnya. Menurut nya, dinamai israiliyat karena pengetahuan tersebut sebagian besar merupakan kebudayaan Bani Israil, berasal dari kitab-kitabnya, dongeng-dongeng mereka atau kebohongan mereka. (Muhammad Husain Adz-Dzahabi, al-Israiliyat fi al-Tafsir wa al-Hadis)
Adz-Dzahabi dan para ulama lainnya mengklasifikasikan tiga sudut pandang dalam mengelompokkan israiliyat: yang pertama sudut pandang berdasarkan shahih atau dhoif cerita itu, yang kedua sudut pandang berdasarkan sesuai atau tidaknya cerita tersebut dengan ajaran Islam, dan yang ketiga sudut pandang berdasarkan materi. (Raihanah, Israiliyat dan Pengaruhnya Terhadap Tafsir Alqur’an)
Yang pertama, sifat sahih atau dhoif suatu cerita dapat disesuaikan dengan nash yang ada. Jika memang tertera dalam nash Alqur’an maupun hadis maka cerita tersebut dapat dimasukkan dalam golongan sahih. Namun jika tidak tertera dalam nash manapun, maka cerita tersebut layak untuk ditelisik lebih jauh kebenarannya.
Yang kedua, sesuai atau tidaknya cerita israiliyat dengan ajaran Islam dapat dilihat dari segi isi yang kemudian dapat dibagi menjadi tiga bagian: pertama, yaitu yang sesuai dengan syariat kita, dalam hal ini Israiliyat dapat diterima. Kedua, yaitu yang bertentangan dengan syariat, semua hal yang bertentangan dengan syariat tentu akan menerima penolakan. Ketiga, yaitu yang didiamkan yakni tidak terdapat di dalam syariat kita alasan yang memperkuatnya dan tidak ada pula alasan yang menyatakan melemahkannya.
Yang ketiga, berdasarkan materi dari cerita tersebut kemudian dapat dibagi menjadi tiga yaitu israiliyat yang berhubungan dengan akidah, israiliyat yang berkaitan dengan penerapan hukum, dan israiliyat yang berhubungan dengan kisah-kisah.
Israiliyat masuk dalam dunia tafsir ketika masa tabi’in, saat itu mufassirin antusias dengan eksistensi israiliyat. Ketika mereka ingin mengetahui sesuatu tentang sebab-sebab banyak hal maka mereka akan bertanya pada ahli kitab yang mana ahli kitab tersebut pada zaman dahulu merupakan ahli Taurat bangsa Yahudi dan Nasrani. Dari sana tafsir Alqur’an banyak dipenuhi dengan kutipan-kutipan yang dinisbatkan kepada kaum Yahudi.
Sikap Adz-Dzahabi terhadap Israiliyat
Adanya Israiliyat dalam tafsir tentu menimbulkan polemik tersendiri bagi kalangan umat muslim, terdapat pro dan kontra yang menyelimutinya.
Menurut Adz-Dzahabi, alasan para ulama menolak adanya israiliyat didasari firman Allah QS. Al-Maidah ayat 13 yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah, menambah, dan mengurangi kandungan kitab suci mereka. Sebagaimana penggalan ayat yang berbunyi:
يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ ۙ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ ۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ….
“Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad), senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat).”
Selanjutnya sikap Adz-Dzahabi terhadap israiliyat ditunjukkan dengan dirinya sendiri yang tidak langsung menerima israiliyat secara utuh. Ia menetapkan kriteria, yaitu Israiliyat yang diketahui kesahihannya karena adanya konfirmasi dan sabda rasul atau dikuatkan oleh syariat maka israiliyat bentuk ini dapat diterima sebagai wawasan keilmuan, tidak sampai dijadikan sandaran dalam hal apapun.
Jika israiliyat yang diketahui kebohongannya karena pertentangannya dengan ajaran Islam atau tidak sesuai dengan akal sehat maka bentuk ini tidak boleh diterima dan tidak boleh diriwayatkannya.
Sedangkan jika tidak termasuk kedua bentuk di atas maka harus bersikap tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak mendustakan), tetapi tetap boleh meriwayatkannya. (Muhammad Husain Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun)
Pada intinya, menurut Adz-Dzahabi bahwa hukum menukilkan sesuatu dari kalangan Yahudi dan Nasrani tidak dibenarkan dan tidak juga didustakannya dengan catatan bukan dijadikan sebagai sandaran melainkan sebatas pengetahuan.
Wallahu A’lam
*) Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan