Penulis: Aisyah Ramadhani Anshory, Mahasiswa Prodi Tasawuf dan Psikoterapi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, email: aisyah.ransh@gmail.com
Singkat cerita mengenai perpecahan dua sekte besar Syi’ah yang akan membentuk dinasti-dinasti kecil dimasa Ummayah dan Abbasiyah masih hidup saling menjaga batasan, dahulu kaum Syi’ah Ismailiyah muncul karena perselisihan paham dengan Syi’ah Imamiyah Ithna Ashariyah tentang imam yang menggantikan Imam Ja’far al-Shadiq.
Menurut kaum Imamiyah Ithna Ashariyah, terdapat sosok Musa Al-Kazim yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan, menyebabkan Syi’ah terpecah menjadi dua cabang. Sedangkan lainnya mempercayai Isma’il Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh, yang mana akan diberi nama Syi’ah Ismailiyah sesuai penisbatan kepada imam yang mereka anut.
Dinasti Fatimiyah yang pemimpinnya merupakan penerus Syi’ah Ismailiyah ini adalah satu-satunya dinasti Syi’ah dalam Islam sekaligus termasyhur dalam sejarah Syi’ah. Sekitar pertengahan abad kesembilan hingga awal abad sepuluh masehi, dikala benua Eropa masih tenggelam dalam zaman kegelapan yang mana pada era itu kejayaan wilayah Mesir dan sekitarnya di bawah kepemimpinan dinasti Fatimiyah sedang menduduki masa gemilang mereka.
Dinasti yang berdiri selama dua setengah abad ini masih sejalan dengan nasab keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fatimah binti Rasulillah atau masih bisa dikatakan sebagai cucu Nabi Muhammad SAW. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada 909 M oleh Sa’id ibn Husyan.
Menurut mereka, Sa’id merupakan cucu Isma’il Ibn Ja’far al-Shadiq. Sedang Isma’il merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh. Keberhasilan gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Abú ‘Abdullah al-Husayn al-Syi’i, seorang terpercaya sekte ini yang ditunjuk langsung untuk menjadi pemimpin Syi’ah Ismailiyah selanjutnya oleh Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M sebelum kematiannya, la adalah seorang penduduk asli Shan’a Yaman, yang menjelang awal abad ke-9 memproklaim dirinya sebagai wakil al-Mahdi.
Ia menyebrang ke Afrika Utara dan menyebarkan hasutan serta propagandanya berhasil menarik simpatisan suku Berber, khususnya suku Kitamah yang saat itu menjadi pengikut setia. Perkenalannya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di Mekkah.
Wilayah Afrika Kecil Tunisia dan Afrika Utara yang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, yakni Ibrahim Ibn Muhammad, berusaha menekan gerakan Ismailiyah ini, namun usahanya sia-sia.
Ziyadatullah (903-909 M) yang saat itu menjadi penguasa dan sekaligus pengganti Ibrahim Ibn Muhammad pun tidak berhasil memukul mundur gerakan Syi’ah ini. Disisi lain kesuksesan gemilang yang diraih oleh al-Syi’i di wilayah asing mendorong Sa’id untuk meninggalkan markas besar Ismailiyah di Salamiyah, dan pergi sambil menyamar sebagai pedagang menuju barat laut Afrika.
Sayangnya ia terlempar ke penjara bawah tanah di Sijilmasah atas perintah penguasa Dinasti Aglabiyah saat itu dan ditengah kegundahan yang dialaminya, Sa’id berhasil ditolong oleh al-Syi’i, Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn Al-Siyi’i menulis surat kepada Imam Ismailiyyah yakni Sa’id Ibn Husayn al-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Isma’iliyyah.
Sa’id mengabulkan undangan tersebut, dan ia juga memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib. Kemudian pada 909 M, Sai’id berhasil menghancurkan Dinasti Aglabiyah yang telah berkuasa selama beberapa abad, dan mengusir keturunan penguasa terakhir yang juga dulu pernah memenjarakan dirinya, yakni Ziyâdatullah untuk keluar dari negeri itu.
Dinasti Aglabiyah merupakan kubu terakhir kekuatan Islam-Sunni di Afrika. Tak selang lama, Sa’id kemudian memproklamirkan dirinya sebagai imam dengan julukan ‘Ubaydullah al-Mahdi dan ia juga mengklaim diri sebagai keturunan Fatimah melalui al-Husayn, dan Ismå’il.
Awalnya Dinasti yang didirikannya ini sering disebut sebagai Dinasti al-‘Ubaydiyah, khususnya oleh mereka yang tidak memercayainya sebagai keturunan Fatimah. Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.
Sumber : Hitti, Philip K. History of the Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013.
Editor: Adis Setiawan