Penulis: Fadjrul Umroh*
KULIAHALISLAM.COM – Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan mental seorang individu tidak luput dari adanya sejarah yang melatarbelakanginya termasuk para pemikir muslim juga turut membincangkan persoalan mengenai status jiwa.
Terlebih pada masa abad pertengahan, manusia dianggap sebagai pusat dari segala hal yang ada di muka bumi ini, sehingga memunculkan banyaknya karya yang membahas mengenai konsep psikologi jiwa dilihat dari sisi Keislaman.
Tokoh yang berpengaruh dalam hal ini salah satunya adalah Abu Ali al-Husain bin ‘Abd Allah ibn ‘Abd Allah ibn ‘Ali ibn Sina atau yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina. Bapaknya bernama ‘Abdullah, terlahir dari Balkh yang kemudian menikah dengan seorang wanita yang bernama Sarah atau Sitarah.
Ibnu sina merupakan seorang yang dikaruniai kecerdasan yang luar biasa hingga pernah menjadi salah satu penguasa Dinasti Samaniah yang lahir pada tahun 370 H/ 980 M di Afshahna, yang merupakan sebuah desa kecil dekat Bukhara dan wafat di Hamdan, 428 H/1037 M. (Arroisi, 2022: 54)
Dalam ilmu pengetahuan, Ibnu Sina telah menguasai pengetahuan medis kontemporer termasuk didalamnya mengenai ilmu jiwa. Menurutnya jiwa adalah kesempurnaan awal karena dengannya spesies menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata.
Jiwa diciptakan ketika tubuh telah sempurna dan bersedia digunakan sebagai alat oleh jiwa. Jiwa dicipta ketika sel benih yang telah menyatu dalam bentuk al-nutfah yang telah memenuhi persyaratan untuk menerimanya. Ibnu sina berpandangan bahwa jiwa memiliki sifat yang kekal.
Selain itu, menurutnya jiwa dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu jiwa nabati, jiwa hewani, dan jiwa rasional. Dimana jiwa nabati mengandung tiga kekuatan yang dapat mengolah dan memproses seluruh unsur-unsur makanan yang berada dalam tubuh sehingga mampu membentuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh secara baik diantaranya daya nutrisi, daya pertumbuhan, daya generatif.
Hal ini sesuai dengan perspektif psikologi agama yang mengatakan bahwa jiwa keagamaan manusia akan berkembang dengan menyesuaikan tingkat periodisasi perkembangan manusia yang terbagi menjadi tujuh masa: masa prenatal, masa bayi, masa kanak-kanak, masa prepubertas, masa pubertas (remaja), masa dewasa dan masa usia lanjut. Selanjutnya jiwa hewani terdiri atas dua daya yang mempengaruhi yaitu daya penggerak dan daya persepsi. Serta jiwa rasional yang fungsinya berkaitan dengan akal.
Menurut teori psikoanalisis Sigmund Freud dalam piramida kepribadian, manusia memliki tiga tingkat atau bagiannya, id, ego dan superego yang juga ada kaitannya terhadap konsep ibnu sina. Namun menjadi sebuah nilai tambahan ketika ibnu sina tetap bersandar pada al-qur’an dan hadits dan juga memperhatikan aspek-aspek kognitif maupun fisiologis manusia. (Wantini, 2023: 19)
Hal yang sama terjadi pada perkembangan kognitif yang mana setiap individu akan mengalami perkembangan aspek intelektual yang pesat seiring dengan bertambahnya usia. Perkembangan aspek ini akan mencapai kematangan pada periode tertentu dan setelah itu akan mengalami penurunan secara bertahap. Contohnya, pada umur 18 tahun perkembangan kapasitas intelektual telah mencapai kematangan dan cenderung menurun. (Kartikowati, et al., 2016: 4)
Dalam pembuktian adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat argumen, yakni argumen psikofisik, argument aku, argument kontinuitas, serta argument manusia terbang di udara. Menurut Ibnu Sina, argument pertama dapat dibuktikan dengan adanya gerak. Gerak yang dimaksud tersebut ialah gerak terpaksa (gerak yang didorong oleh faktor eksternal), dan gerak tidak terpaksa (sesuai dengan hukum alam).
Kemudian argumen kedua dapat dibuktikan dengan membedakan antara aku dan jiwa. Bagi Ibnu Sina, aku bukan merupakan fenomena fisik akan tetapi jiwa dan kekuatannya. Lalu argumen ketiga (kontinuitas), Ibnu Sina membuktikan dengan adanya daya ingat pada seorang individu. Karena daya ingat yang dimiliki dapat mengakibatkan manusia ingat pada setiap peristiwa yang dialaminya di masa lalu. Dan, argumen keempat untuk membuktikan bahwa jiwa diperoleh dari sumber yang tidak ada hubungannya dengan badan. (Aizid, 2018: 120)
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan pada hubungan antara jiwa dan raga, seperti dalam buku pertamanya mengenai psikologi al-syifa yang mengatakan bahwa dalam jiwa manusia itu terletak kekuatan berfikir, memahami dan membedakan sesuatu.
Ibnu Sina juga membagi teorinya tentang akal menjadi dua yaitu akal teoretikal dan praktikal. Menurutnya intelek teoretikal melibatkan pendidikan karakter, sedangkan intelek praktikal mencakup imajinasi, fantasi, serta penghayatan. (Sukandar & Hori, 2020: 59-60)
*) Profil singkat penulis: Saya merupakan seorang mahasiswa psikologi Islam semester 6 dari Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
1 Comment