Tak bisa dipungkiri, bahwa harus dikatakan, kaum Stoik kuno tampak sangat tidak peduli mengenai bunuh diri. Kelihatannya mereka meyakini bahwa boleh-boleh saja merenggut nyawa kita kapan pun hidup terasa tak tertahankan atau tidak nyaman. Itu sebabnya, Seneca pernah menulis, “Kalau kamu suka, hiduplah. Kalau tidak suka, kembalilah ke asalmu.”
Akan tetapi, apakah kita punya hak untuk mencabut nyawa sendiri? Jika punya, dalam keadaan bagaimana? Bukankah memilih mati berarti menolak keadaan yang diberikan Tuhan untuk kita jalani dan karena itu menjadi dosa Stoik? Beginilah persisnya posisi Socrates dalam Phaedo.
Tak hanya itu, dia mengatakan manusia adalah “milik Tuhan” dan karena itu, kita tidak berhak mencabut nyawa sendiri: “Orang harus menunggu dan jangan mencabut nyawanya sampai Tuhan memanggil dia, seperti sekarang Dia memanggilku.”
Socrates tidak menganggap kematiannya sebagai bunuh diri. Justru dia diperintahkan untuk minum racun oleh Kota Athena maka dia mematuhinya. Itu eksekusi. Akan tetapi, tentu saja dalam cara tertentu Socrates memilih mati sebab dia tidak kabur dari Athena seperti desakan teman- temannya.
Dia mematuhi “panggilan Tuhan untuk mati”, katanya. Golongan Stoik juga membela bunuh diri jika Tuhan tampaknya “memanggil” kita untuk mati. Kita harus menunggu, seperti kata Marcus Aurelius, “Bagaikan serdadu menanti sinyal untuk mundur dari medan perang kehidupan.”
Akan tetapi juga, bagaimana kita tahu Tuhan memanggil? Seorang penderita depresi mungkin yakin Tuhan memanggilnya enam kali sehari. Jika satu jari kaki yang patah saja dianggap sebagai panggilan dari Tuhan, siapa di antara kita yang akan bisa mencapai usia dewasa
Pembelaan Kaum Stoik
Yang jelas, pembelaan kaum Stoik soal bunuh diri seperti itu berdampak mendalam pada hukum Romawi, yang menyatakan upaya memilih jalan kematian adalah hak seseorang dan membungkam hak itu lebih buruk daripada membunuh. Penerimaan legal atas bunuh diri ini berlanjut pada abad-abad awal Kekristenan.
Lagi pula, Alkitab tidak mengutuk bunuh diri secara gamblang. Walaupun kebanyakan dari tujuh bunuh diri dalam Alkitab terjadi pada “orang jahat” (yang paling parah Judas Iskariot), tidak semuanya bersifat buruk.
Misalnya, Samson masih dianggap pahlawan Judaisme dan Kekristenan walaupun melakukan bunuh diri. Barulah ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi, ada upaya hukum untuk menentang bunuh diri.
Larangan bunuh diri dalam agama Kristen dimulai oleh Santo Agustinus pada abad keempat sebelum Masehi, yang kembali pada pesan asli Socrates bahwa kita milik Tuhan; karena itu, nyawa kita bukan hak kita. Pada abad keenam, Gereja Katolik mulai menentang bunuh diri, melarang para pendeta memimpin misa untuk orang yang bunuh diri, atau menguburkan mereka di tanah suci.
Berbeda ketika memasuki abad kedua belas. Teolog abad pertengahan sering membahas kembali masalah bunuh diri dan menerangkan mengapa hal itu dianggap dosa. Dalam hal ini, mereka cekcok dengan golongan Stoik. Memang, kata “suicide” berasal dari kalogisme Latin, suicidium, kali pertama dicantumkan dalam suatu pamflet keagamaan abad kedua belas yang ditulis untuk menentang posisi Seneca dalam bunuh diri.
Setidaknya, di sini kita melihat ketegangan antara kaum Stoik dan Kristen terkait kemunculan kembali bunuh diri selama era Renaisans, saat Seneca kembali menjadi sangat populer. Pidato paling sohor dalam sastra Inggris, dari Hamlet karya Shakespeare, “Ada atau tiada, begitu masalahnya; Lebih mulia yang mana: Sudi menderita dihujani batu dan panah oleh terpaan nasib nahas, atau berontak menentang selaut kesulitan, sampai akhir melawan?”
Pada abad ke-18, ketika agama Kristen tidak lagi menjadi kekuatan budaya di Eropa dan keyakinan orang-orang terhadap yang supernatural mulai melemah, para filsuf dan penulis berani menyuarakan dukungan pada hak manusia untuk bunuh diri, andai hidup menjadi tak tertanggungkan.
David Hume, contohnya, lewat esai berjudul On Suicide, ditulis pada 1755, berusaha untuk “mengembalikan manusia pada kebebasan asal mereka dengan menunjukkan bahwa (bunuh diri) bebas dari segala serangan rasa bersalah, atau tudingan, menurut perasaan para filsuf kuno”. Hume mendebat bahwa “kematian alami kita yang menakutkan tidak ada orang yang pernah meninggalkan kehidupan jika masih perlu dipertahankan”.
Akan tetapi, Hume tidak berani memublikasikan pembelaannya atas bunuh diri semasa hidup esainya diterbitkan setelah dia tiada pada 1783. Debat berlanjut pada masa kita: ketika aku menulis ini, sebuah komisi di Inggris baru merekomendasikan pemerintah untuk melegalkan “bunuh diri dengan bantuan”.
Argumen masih terbagi antara pembelaan kaum Stoik dan Epicurean tentang hak memilih kematian dan kebersikukuhan Kristen dan Platonis tentang kesucian hidup. Mungkin golongan Stoik menang karena generasi baby-boom merengkuh ide kematian sebagai pilihan gaya hidup yang utama.
Lalu apa yang menunggu kita setelah mati?
Apakah jiwa kita terbang ke istana bersinar terang untuk dihakimi dan diutus ke raga yang lain? Atau apakah kesadaran kita terkikis habis dan tubuh kita kembali membusuk menjadi campuran atom? Atau terjadi hal lain sesuatu yang benar-benar berbeda dari bayangan kita?
Rupanya, para filsuf modern cenderung mengasumsikan kematian sebagai akhir. Aku tahu beberapa filsuf Barat masa kini yang serius membela keyakinan akan hidup sesudah mati. Ketika mengetuai Society of Physical Research, William James, filsuf dan psikolog (juga saudara novelis Henry James), pun berusaha melakukannya dan meluangkan banyak waktu untuk menyelidiki medium spiritual dan pengalaman nyaris mati.
Kalangan akademisi biasanya memandang aspek riset ini sebagai hobi yang mengesalkan, jangan sampai tertukar dengan karya akademisnya yang lebih serius. Namun, alasanku menganggap William James sebagai pemikir yang mengesankan adalah dia terbuka pada keragaman pengalaman manusia.
Dia tidak mengecualikan pengalaman mana pun karena dianggap tidak layak diperhatikan atau diselidiki, dan bersikeras menyatakan filsafat dan psikologi harus mempertimbangkan segala data yang ada-objektif dan subjektif.
Sebagian pengalaman orang cukup ganjil. Ada pengalaman keluar dari raga, nyaris mati, prakognisi dan koneksi telepati, visi kelebatan inspirasi, mimpi penuh pesan, ingatan akan dapan masa lalu pengalaman seperti ini mungkin imajiner, tampak penting bagi orang-orang yang mengalaminya, dan akademisi yang waras pun mengalaminya, walaupun kadang jarang mengakuinya dalam pertemuan umum. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Penulis juga kontributor tetap di E-Harian Aula digital daily news Jatim.